Mulai Tayang di Bioskop, Ini Cerita Film The Science of Fictions

Para pemain Film The Science of Fictions
Sumber :
  • Instagaram @asmaraabigail

VIVA – Film The Science of Fictions tayang di bioskop nasional mulai tayang 10 Desember 2020. Film itu tayang pertama kali pada Locarno Film Festival 2019 di Swiss, kemudian berkeliling ke-15 festival film internasional.

Gandhi Fernando Bawa Film Anak Kunti ke 10 Negara

Film yang disutradarai dan ditulis oleh Yosep Anggi Noen ini dibintangi oleh Gunawan Maryanto, Ecky Lamoh, Yudi Ahmad Tajudin, Lukman Sardi, Rusini, Asmara Abigail, Alex Suhendra, dan Marissa Anita. Deretan penghargaan telah didapatkan oleh The Science of Fictions. 

Film ini juga baru saja memenangkan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik yang diberikan kepada Gunawan Maryanto. Di tempat pemutaran perdananya, film ini diberi Special Mention, 72 Locarno Film Festival, dan Concorso Internazionale 2019.

Film Indonesia Mencuri Perhatian di Hainan Island International Film Festival di China

The Science of Fictions dimulai kisahnya pada tahun 1960-an, di Gumuk Pasir Parangkusumo, Yogyakarta. Siman yang diperankan oleh Gunawan Maryanto, melihat proses shooting pendaratan manusia di bulan oleh kru asing.

Dia tertangkap penjaga dan dipotong lidahnya. Selama puluhan tahun, Siman bergerak pelan menirukan gerakan astronot di luar angkasa untuk membuktikan kebenaran pengalamannya. Sampai akhirnya Siman dianggap gila.

Jadi Sutradara Terbaik Versi FFI 2024, Garin Nugroho Sempat Singgung Dinasti Politik

Mau tahu lebih jauh mengenai cerita film ini, baca kelanjutannya.

Film The Science of Fictions menjanjikan sebuah eksplorasi visual dan penceritaan yang berbeda dari film-film lainnya. Pengalaman sinema ini makin nikmat, jika dirasakan di bioskop.

Dalam film ini, Yosep Anggi Noen yang dalam film ini berkolaborasi bersama sinematografer Teoh Gay Hian menjelaskan, bahwa film ini adalah kisah tentang manusia yang bergerak pelan. Jadi, ada pembicaraan tentang bagaimana seharusnya kamera merekam gerak Siman.

"Film ini direkam dengan banyak jenis kamera, yakni kamera HD, handycam, GoPro, kamera slowspeed, dan drone. Kami juga menunjukkan berbagai jenis kamera di layar, termasuk roll film 16 milimeter," jelas Anggi, Jumat 11 Desember 2020.

Menurut Anggi, konsep ini dirancang sebagai bentuk 'main-main' untuk menunjukkan lintasan teknologi audio visual, yang aksesnya saat ini semakin mudah, ada di setiap tangan manusia, lekat dengan tubuh dan semakin personal.

"Bagi saya di jaman dulu, produksi moving image hanya bisa dilakukan oleh pihak yang punya kuasa. Itu yang mengakibatkan bukti-bukti sejarah seolah hanya bisa dikeluarkan oleh otoritas dan penguasa, serta cenderung propaganda," ungkapnya. 

Saat ini, sejarah ditulis oleh masing-masing manusia, lalu ujian berikutnya adalah soal kebenaran, yakni rekaman siapa yang benar-benar benar. Begini kata sang sutradara.

"Tapi kami bicara ngalor-ngidul sambil ketawa-ketiwi soal konsep-konsep yang nampak rumit ini," ujar Anggi. 

Inspirasi pembuatan film ini datang kepada Yosep Anggi Noen ketika ia melihat sebuah lahan yang mirip dengan permukaan bulan di Parangkusumo, Bantul. Lahan bernama Gumuk Pasir itu memikat sekali secara visual dan lingkungan di sekitar Gumuk jugan menarik baginya. Ada karaoke murahan, ada lokasi manasik haji, ada lokasi tempat persembahan kepada Ratu Laut Selatan, dan ada tempat ibadah, bahkan pada waktu-waktu tertentu ada praktek prostitusi terselubung di sana.

"Saat saya menemukan betapa hiruk-pikuknya sebuah tempat tersebut, saya tergelitik juga untuk mengemas cerita di sana. Saya lalu berangkat dari bulan, bagaimana jika pendaratan manusia di bulan itu ternyata pengambilan gambarnya dilakukan di Gumuk Pasir," urainya. 

Ia kemudian menghubungkan dengan konteks politik di Indonesia tahun 60-an, yang sampai saat ini diketahui ada ruang gelap sejarah saat perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang berdarah-darah sekaligus manipulatif. Pendaratan di bulan sebagai keberhasilan yang dirayakan secara global dan politik yang manipulatif disaksikan oleh Siman, seorang petani biasa, dan manusia yang sederhana yang dibisukan.

Produser Film The Science of Fictions Yulia Evina Bhara mengatakan, ketika disodorkan konsep dan cerita, ia tak ragu dan langsung bersedia terlibat. Pertama, karena cerita Siman buat saya sangat sangat relate dengan kehidupan sehari-hari, dan di saat yang sama juga ia merasa cara tutur film ini belum pernah ditemukan di film Indonesia yang lain.

"Sebuah tantangan berat karena tokoh utama tidak ada dialog selama film, tapi saya yakin dengan visi artistic Anggi dan Gunawan Maryanto yang pasti akan menghidupkan Siman. Yang paling menarik dari film ini untuk film Indonesia adalah film ini memberikan perbendaharaan baru dan cara tutur sinema yang berbeda," kata Yulia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya