The Call of the Wild: Seru di Depan, Haru di Belakang
- Twentieth Century Studios
VIVA – The Call of the Wild jadi salah satu film keluarga yang sedang tayang di bioskop Indonesia. Film ini merupakan adaptasi dari novel legendaris yang diterbitkan pada tahun 1903 dengan judul yang sama, karya Jack London. Novel tersebut sudah diterjemahkan hingga ke lebih 47 bahasa.
Dibintangi Harrison Ford, The Call of the Wild menceritakan tentang seekor anjing bernama Buck yang biasa tinggal di rumah namun harus beradaptasi dengan lingkungan liar setelah diculik dan dijual orang tak dikenal. Bertemu dengan karakter yang diperankan Harrison Ford, Buck pun melakukan petualangan baru yang membawanya pada habitat yang sesungguhnya.
Buck dalam film ini merupakan hasil efek visual CGI yang membuat ekspresinya lebih beragam. Dihadirkan dalam bentuk live-action, ekspresi dan tingkah beragam Buck memang membuat suasananya lebih hidup, lucu, dan menarik.
Namun di satu sisi, terasa terlalu 'komik,' ‘kartun,’ dan buatan. Tatapan mata, raut wajah, hingga perilaku Buck yang begitu ekspresif mengurangi unsur nyata yang alami.
Alur cerita The Call of the Wild ini terasa sangat mengasyikkan di paruh pertama film. Antusiasme penonton dibangun begitu tinggi dari awal hingga ke pertengahan.
Bagi yang belum membaca novelnya, plot pertengahan kedua hingga akhir mungkin terasa antiklimaks. Nuansa seru dari petualangan yang dihadirkan di awal perlahan memudar menuju akhir. Bagian kedua akan lebih mengeksplorasi hubungan Buck dengan pemilik barunya tersebut.
The Call of the Wild menarik untuk para pencinta anjing karena menghadirkan hubungan emosional di antara si pemilik dan peliharaan. Ada keharuan tersendiri ketika melihat chemistry antara Buck dan manusia-manusia yang berkaitan dengannya.
Bonusnya, pemandangan yang jadi latar lokasi cerita film ini memanjakan mata dan asyik dilihat. Kelucuan tingkah Buck dan anjing-anjing lainnya pun jadi poin seru di film ini.
Tertarik? The Call of the Wild masih tayang di bioskop Indonesia.