Dilan 1991: Nostalgia, Wawancara Pidi Baiq hingga Kontroversinya
- bbc
Sejak diputar di bioskop pada Februari lalu, film remaja Dilan 1991 dilaporkan telah menyedot penonton hingga 5 juta orang. Mengapa film ini diminati dan dianggap sebagai kebangkitan industri film Indonesia?
Usianya tidak terbilang muda, sekitar 45 tahun. Tetapi Dina - begitulah sapaan perempuan asal Jakarta ini - rela menonton film remaja Dilan 1990 sebanyak 13 kali. Hah! 13 kali?
"Ceritanya (film Dilan 1990) masih nyambung dengan gaya saat saya SMA," ujar ibu satu anak ini, kemudian tersipu, saat ditanya "alasannya" berulang kali menonton film itu.
Lebih dari 25 tahun silam, yaitu di tahun 1990an, Dina adalah siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Seperti remaja seusianya, Dina saat itu mulai tertarik lawan jenis.
Rupanya, film yang meledak di pasaran ini mengingatkan kisah percintaannya di masa-masa itu. Perempuan kelahiran 1971 ini mengaku "gaya" romansa di film Dilan itu mirip yang dilakoninya sekian tahun silam.
"Kalau naksir cowok atau cewek, gimana rasanya nungguin telepon, atau dikirimin surat," ujarnya, masih tersipu. "Jadi senang aja , masa itu pernah ada, lucu, seru!" Tawanya kemudian berderai.
Dan ketika film sekuelnya, Dilan 1991 mulai diputar di bioskop mulai Februari lalu, Dina pun rela antre untuk mendapatkan tiketnya di awal pemutarannya.
"Memang agak berat (ceritanya), tapi masih nyambung juga sih dengan saya waktu remaja dulu." Sampai awal April ini, Dina mengaku sudah dua kali menonton film Dilan 1991.
Hingga Maret tahun lalu, film Dilan 1990 mampu menyedot lebih dari enam juta penonton selama 45 hari diputar di layar bioskop. Film ini kemudian ditahbiskan sebagai film terlaris di 2018.
Dan seperti film pertamanya, film Dilan 1991 pun dibanjiri penonton. Sampai hari ke 17, film hasil adaptasi novel dengan judul sama karya Pidi Baiq - penulis asal kota Bandung.
Cerita dan syuting film yang dilakukan di kota Bandung, membuat salah-seorang warga itu terhibur setelah menontonnya. Widi, ibu satu anak dan warga Kiara Condong, mengaku telah menonton kedua film ini.
"Di film itu, Bandung tempo dulu, dapat banget . Makanya pada baper di (film) Dilan 1990," akunya kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka, untuk BBC News Indonesia.
"Ada embun, jalanan kosong, ada anak sekolah yang jalan dari depan (rumah) sampe sekolah, ada telpon koin... Senang aja ."
Dina dan Widi adalah dua dari ratusan ribu atau jutaan penonton "fanatik" film yang dibintangi Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla ini. Mereka inilah disebut sebaga penonton yang dimotivasi oleh apa yang disebut sebagai daya tarik nostalgia.
"Sekarang lagi musim orang `jualan` nostalgia," kata pengamat industri film serta pengajar jurusan film di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Ekky Imanjaya kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.
Selain faktor nostalgia, masih menurut Ekky, film ini mampu menarik penonton, karena diangkat dari novel yang laris.
"Kalau menurut saya, dia dari novel yang laris ya, novel laris itu mempunyai follower yang besar, dari situ bisa digarap," paparnya.
Jika dibandingkan film Galih dan Ratna versi baru, meski sama-sama menjual nostalgia, namun karena bukan dari novel laris yang memiliki fanbase cukup besar, hasilnya tak seperti film Dilan, katanya menganalisa.
Sang penulis, yaitu Pidi Baiq, mampu mengelola follower-nya sehingga bisa `menggiring` mereka ke bioskop, jelas Ekky.
"Paling tidak 80 persen dari follower nonton film," katanya. Dalam menjual nostalgia ini. Ekky menilai produser, sutradara, dan penulis skenario "sangat lihai".
"Menggabungkan elemen-elemen nostalgia Bandung 1990, 1991, dengan berbagai ikonnya, dari musik, lifestyle , saat itu lagi musim apa, ngapain ," ujarnya.
"Jadi orang-orang yang SMP di zaman 1990 pun nonton (film Dilan). Sementara gayanya yang tidak biasa, gaya merayu, gombal-gombal, romantisnya, nyambung dengan generasi sekarang yang milenial."
"Jadi dua-duanya bersatu, ada dua gelombang besar yang ada di Dilan," paparnya lagi.
Dalam wawancara khusus dengan Julia Alazka untuk BBC News Indonesia, penulis novel Dilan 1990 dan Dilan 1991, Pidi Baiq tidak membantah bahwa karya-karyanya itu dilatari keinginannya untuk `menghidupkan` kisah percintaan ala remaja tahun 1990an.