Dilan Corner dan Hari Dilan Tuai Kritik
- VIVA/ Aiz Budhi
VIVA – Dilan Corner yang belum lama ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, di kawasan Bandung, Jawa Barat, menuai banyak reaksi. Ada yang turut berbangga, ada pula yang mengkritik.
Dalam sambutannya, Ridwan Kamil mengatakan, sudut itu akan jadi tempat untuk mengekspresikan nilai sastra, sebab menurutnya, film Dilan mengekspesikan nilai sastra itu sendiri. Tak hanya itu, tanggal 24 Februari yang merupakan tanggal perilisan film Dilan 1991 juga ditetapkan sebagai Hari Dilan untuk para penggemarnya.
Menanggapi kontroversi Dilan Corner dan Hari Dilan, kritikus sastra, Maman S Mahayana turut angkat bicara. Menurutnya, pembangunan 'monumen' dan peringatan Hari Dilan itu hanya terpengaruh oleh situasi sesaat, di mana film Dilan memang sedang digandrungi berbagai kalangan pada saat ini.
"Saya kira yang menentukan hari-hari seperti itu melupakan sejarah. Dia terpengaruh oleh situasi yang sesaat, heboh sesaat, itu model-model kebudayaan populer, itu cenderung seperti itu. Heboh, kemudian latah ngikutin macam-macam, termasuklah membuat perayaan hari yang bersangkutan (Hari Dilan)," ujarnya saat dihubungi VIVA, 27 Februari 2019.
Maman juga menuturkan jika pembangunan tersebut tidak memiliki kontribusi apapun terhadap masyarakat Jawa Barat.
"Itu termasuk kebudayaan populer yang merasuki masyarakat dan para pejabat kita. Kalau memang mau sistemnya seperti itu, pertama, apa kontribusinya bagi masyarakat. Kalau sekadar heboh-hebohan seperti itu, itu namanya pengkarbitan, ikut heboh yang sebetulnya kontribusinya itu belum jelas," kata dia.
Maman mengusulkan agar orang nomor satu di Jawa Barat itu mempertimbangkan apakah sosok yang diusulkan memiliki kontribusi bagi bangsa Indonesia atau tidak. Bahkan, Maman menyebutkan jika hal itu sangat berbahaya dampaknya, terutama bagi masyarakat.
"Kalau kemudian pemerintah atau siapapun membuat nama-nama yang belum jelas kontribusinya itu naif. Pelajari dulu lah sejarah atau cari orang-orang yang memang pantas. Itu sangat berbahaya," serunya.
"Kalau pejabat melakukan seperti itu nanti akan ditiru oleh masyarakat. Itu orang tuna sejarah itu, latah dan ikut heboh pada sesuatu yang tidak jelas. Naif itu," lanjut Maman.
Banyak dikatakan jika novel Dilan karya Pidi Baiq tersebut belum layak untuk dijadikan simbol kesastraan, Maman mengungkapkan jika hal itu memang perlu dikaji lebih jauh.
"Ya kita harus pelajari dulu novelnya layak atau tidak, seperti yang sudah jelas ya, karya maestro kita punya Pram (Pramoedya Ananta Toer), itu jelas kontribusinya dan itu sudah diterjemahkan berbagai bahasa harusnya itu yang diangkat," tutur Maman.
Ia pun berpesan agar pembangunan seperti itu mengangkat sosok yang berkualitas serta layak, terutama bagi pengetahuan masyarakat.
"Enggak usah ikutan latah lah pelajari dulu sejarah, cari orang yang memang benar berjasa. Cari nama jalan, nama gedung (berkaitan dengan sosok yang berjasa bagi Indonesia), kemudian masyarakat akan bertanya dan mencari sehingga akan ada spirit untuk mengangkat bangsa ini ke tingkat internasional. Bahaya buat saya bahaya karena berpengaruh terhadap publik," kata dia. (fin)