Potret Gelap Jerman di Berlinale 2019
- Berlinale
VIVA – "Bukan film untuk mereka dengan hati lemah", seorang pemerhati film menulis di dinding Facebook-nya setelah menyaksikan Der Goldene Handschuh atau The Golden Glove yang diputar perdana pada ajang Berlinale 2019 kategori Kompetisi.
Film besutan sutradara Fatih Akin ini merebut perhatian karena kisah yang diangkat untuk filmnya kali ini agak berbeda dari film-film sebelumnya. Fatih Akin, sutradara terkemuka Jerman keturunan Turki, peraih The Golden Bear Berlinale ke-54 pada tahun 2004 dengan filmnya, Head On (Gegen di Wand), juga telah menyabet Golden Globe award 2017 dengan film Iin The Fade sebagai best foreign language film.
Film Der Goldene Handschuh ini berdasarkan kisah nyata, kasus mutilasi dan pembunuhan 6 PSK di kota Hamburg Jerman pada 1970-an. Kisah ini diangkat dalam novel bertema kriminal oleh Heinz Strunk pada tahun 2016.
Adalah tokoh Fritz Honka, seorang pekerja kasar industri kapal di Hamburg, yang menghabiskan malam malamnya sepulang kerja di sebuah bar redup bernama Zum Goldenen Handschuh (Sarung Tangan Emas) dengan minum minuman keras, membual, dan menggoda para PSK yang tak lagi muda.
Hidup Honka sepi dan kosong tanpa cinta. Saat ia bersentuhan dengan alkohol, ia tak berubah menjadi monster. Perempuan-perempuan tua yang berhasil diajaknya namun yang menolak dirinya, dibunuh dan dimutilasi dalam apartemennya. Sebagian disembunyikan juga dalam apartemen itu.
Nyaris tidak ada keindahan apalagi cinta yang menyentuh sepanjang film ini. Sungguh film yang berat bagi hati yang lemah. Potret sedih Jerman yang sulit dibayangkan namun nyata.
Tokoh Fritz Honka, diperankan gemilang oleh seorang pemain teater aktor muda Jerman berusia 23 tahun, Jonas Dassler. Keahlian tim makeup berhasil mengubahnya menjadi tokoh Honka berumur 40an, Honka digambarkan sebagai pria buruk rupa, bungkuk, berkacamata tebal, rambut berminyak, dan bahasanya amat kasar, seperti juga orang-orang yang berada di lingkungannya.
Bagaimana Honka melakukan kekerasan, memaki, dan membunuh digambarkan dalam film ini. Lagu-lagu pop Jerman yang melankolis dari zaman itu tidak henti mengalun sepanjang film.
Namun dalam konferensi pers di Berlinale, Jonas Dassler mengatakan bahwa ia menolak bila dikatakan film itu merayakan kekerasan.