Ronggeng Kulawu, Kisah Penari Ronggeng di Zaman Penjajahan Jepang
- Istimewa
VIVA – Galeri Indonesia Kaya bersama Maudy Koesnaedi dan Andi Kanemoto mempersembahkan lakon bertajuk Ronggeng Kulawu. Naskah yang ditulis oleh Endah Dinda Jenura dan disutradarai oleh Wawan Sofwan akan mengangkat kisah perjuangan seorang penari ronggeng yang mengorbankan mimpi dan harapannya di masa penjajahan Jepang.
Sosok Maesaroh dalam lakon Ronggeng Kulawu ini, merupakan salah satu gambaran kehidupan perempuan Indonesia di masa penjajahan Jepang. Di mana pada masa itu, banyak perempuan yang dibawa dan dipaksa menjadi seorang wanita penghibur dan diperlakukan secara tidak adil.
“Tidak hanya oleh tentara Jepang, para perempuan ini pun juga dipandang sebelah mata oleh orang-orang sebangsanya sendiri. Mereka hanya dianggap sebagai seorang perempuan yang mengkhianati bangsanya karena hidup bersama para penjajah,” ujar Wawan Sofwan selaku sutradara pementasan Ronggeng Kulawu di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Minggu 26 Agustus 2018.?
Ronggeng Kulawu mengisahkan tentang seorang penari ronggeng dari Dusun Kulawu bernama Maesaroh. Tugas utama seorang ronggeng adalah membuat suasana semarak dan ceria, dan itu merupakan hal yang mudah bagi Maesaroh.
Di dekatnya, orang-orang merasa hangat dan gembira. Hingga suatu ketika tentara Jepang datang, memberikan janji-janji kemerdekaan dan harapan yang baru kepada Indonesia yang sebelumnya dijajah oleh Belanda.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan setelah kedatangan Jepang, kehidupan rupanya tak bertambah mudah. Kemerdekaan tak kunjung datang, Jepang justru semakin merebut apa saja yang dimiliki oleh Indonesia. Kedatangan Jepang justru semakin menambah petaka bagi bangsa ini, termasuk Maesaroh dan juga rombongan ronggeng lainnya.
“Maesaroh merupakan satu dari ratusan perempuan yang menjadi korban kekejaman para penjajah di masa penjajahan Jepang di Indonesia. Banyak hal dan mimpi yang harus ia tinggalkan pada masa itu. Meskipun diperlakukan secara tidak adil, Maesaroh tumbuh menjadi seorang perempuan yang tangguh dan ingin merdeka,” kata Maudy.
Menurutnya, perjuangan Maesaroh tidak hanya untuk melawan para penjajah Jepang, tapi juga untuk bangsanya dan juga untuk dirinya sendiri. Maesaroh atau Mae harus rela dipisahkan dengan Ayahnya dan Kang Uja, lelaki yang berjanji untuk menikahinya setelah Indonesia merdeka.
Mae dan rombongan ronggengnya dibawa secara paksa dan dijadikan wanita penghibur bagi para tentara Jepang. Mae kemudian dibawa pergi dan akhirnya bertemu dengan Kapten Kazuo Ito. Mae dijadikan gundik oleh Kapten Kazuo, bersamanya Mae diperlakukan secara baik, bahkan lembut.
Hidup Mae bersama Kapten Kazuo, jauh lebih baik. Begitupun dengan Kapten Kazuo, Mae mengingatkan dia akan sosok Ibunya yang berada di Jepang. Kisah cinta mereka dipenuhi oleh latar politik dan kekuasaan antara negeri yang terjajah dan penjajah.
“Kami mengajak para penikmat seni untuk menyaksikan perjuangan seorang perempuan untuk merasakan kemerdekaan,” Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Disutradarai oleh sutradara teater kawakan, Wawan Sofwan dan iringan musik oleh Uge Gunara, lakon Ronggeng Kulawu ini diharapkan dapat menjadi pengingat akan perjuangan yang telah dihadapi para pendahulu.