The Darkest Minds, Kurang Bikin Emosional
- 20th Century Fox
VIVA – "Dia adalah teman sekelasku yang pertama meninggal dan kemudian, separuh anak-anak di kelasku ikut tiada," narasi mengerikan itu berganti dengan kepanikan warga atas wabah aneh yang melenyapkan sebagian besar anak-anak dalam film The Darkest Minds.
Pemerintah terlihat sibuk, berusaha mencari solusinya, orangtua ketakutan, nyawa anak-anak pun jadi taruhan. Adegan mendebarkan sekaligus pilu itu mengawali film, membuat penonton mengantisipasi nuansa kelam penuh ketegangan.
The Darkest Minds menambah daftar film adaptasi novel dewasa muda dengan genre fiksi ilmiah dan thriller, seperti yang tercantum pada laman IMDb. Novel dengan judul yang sama itu merupakan trilogi yang dikarang oleh Alexandra Bracken. Di bawah payung 20th Century Fox, film The Darkest Minds disutradarai oleh Jennifer Yuh Nelson yang pernah menggarap Kung Fu Panda 3.
Film ini menceritakan tentang anak-anak berkekuatan unik, bawaan dari lahir, yang dianggap ancaman oleh pemerintah. Kekuatan mereka itu digolongkan ke dalam sejumlah warna. Hijau inteligensi tinggi, Biru telekinesis, Emas manipulasi listrik, Merah penghancur, dan Oranye pengontrol pikiran.
Mereka dipusatkan dalam sebuah camp khusus, diawasi, dan diteliti agar tak membahayakan. Namun, banyak di antara mereka memberontak, demi mendapat kebebasan dan tempat tinggal yang normal untuk hidup bahagia. Ceritanya tak asing, mirip-mirip dengan film distopia sejenis, seperti Divergent, The Hunger Games, dan The Maze Runner.
Mengidentitaskan diri sebagai film fiksi ilmiah dan thriller, nyatanya, The Darkest Minds lebih dipenuhi dengan drama remaja. Alih-alih memunculkan adegan-adegan keren adu kekuatan, para karakternya malah lebih sering terlihat galau, sayangnya lagi, tidak menguras emosi.
Misalnya, film ini ingin menonjolkan kisah dramatis hubungan Liam (Harris Dickinson) dan Ruby (Amandla Stenberg). Tapi, chemistry mereka kurang kuat untuk bisa membuat penonton ikut larut dalam suasana romantis. Atau ketika ingin menunjukkan eratnya persahabatan antara Liam, Ruby, Chubs (Skylan Brooks), dan Zu (Miya Cech). Adegan dan konflik-konflik kecil yang bisa membangun kedekatan mereka, kurang dieksplorasi. Emosi penonton tidak dimainkan, tak seperti yang terlihat di tiga film distopia sebelumnya, sehingga klimaksnya, terasa kurang dramatis dan emosional.
Kedekatan mereka rasanya terlalu instan, bukan pelan-pelan yang bikin penasaran. Datar, terlalu buru-buru, sehingga chemistry-nya terasa hambar. Film ini jadi seperti mengabaikan emosi penonton yang ingin dibuat deg-degan, tegang, dan penasaran dengan kehebatan mereka, seperti pada trailer dan sinopsis yang dipromosikan.
Namun, jangan lupa, The Darkest Minds memang menargetkan remaja sebagai penonton utama. Beberapa dialog dan adegannya ada juga yang sukses bikin mesem-mesem. Wajah ganteng dan aksi heroik Liam melindungi teman-temannya bisa jadi alasan film ini akan digilai remaja, khususnya, perempuan.
The Darkest Minds juga sarat muatan pesan moral yang diserukan dengan sangat lugas. Arti perbedaan, persatuan, kebersamaan, persahabatan, perjuangan, cinta, keluarga, dan segalanya disampaikan dengan cara yang jelas, tanpa bertele-tele.
Jika Anda penggemar film drama remaja dengan sentuhan fantasi dan agak action, maka film ini recommended untuk ditonton. Selain itu, film ini juga memberi akhir yang cukup bikin penasaran, seperti tipikal film franchise lainnya. Adegan penutup pun tampak sangat menjanjikan. Semoga saja, film keduanya benar-benar tak mengecewakan.
The Darkest Minds tayang di Indonesia mulai 15 Agustus 2018.