Cerita di Balik Ramainya Film Berbahasa Jawa
- Instagram/@Starvisionplus
Kepada BBC Indonesia, Fajar Nugros menyebut larisnya adalah pembuktian bahwa jika komedi dituturkan dengan bahasa yang sangat dekat, maka akan bisa diterima. "Pemainnya bisa lebih karena menggunakan bahasa sehari-hari, khususnya Bayu (Skak) dan Josua (Suherman)."
Film yang ditayangkan dengan terjemahan Bahasa Indonesia ini berkisah tentang Yowis Band, sebuah band asal Malang yang digawangi Bayu (Bayu Skak) dan rekan-rekannya, yang bertekad meraih mimpi untuk menjadi terkenal.
"Film itu bahasa universal. Kita bisa nangis kok melihat film Korea meskipun nggak ngerti dia ngomong apa. Nonton horor Thailand, kita bisa takut kok. Film itu universal," pungkas Fajar.
Namun, mayoritas film berbahasa daerah yang muncul adalah film berbahasa Jawa. Lalu bagaimana dengan film dari daerah lain? Dari Sumatera, Kalimantan, Papua dan lain sebagainya?
Terakhir yang ramai dibicarakan adalah yang berbahasa Bugis-Makassar yang dirilis Agustus 2016 lalu.
Wregas merasa film-film dari daerah lain juga penting untuk muncul "agar kita bisa lebih memahami kebhinekaan dan keberagaman." Dia berharap semangat yang telah mulai muncul di Makassar, lewat film , agar ditiru oleh berbagai daerah lain.
Di sisi lain, Fajar Nugros menganggap cerita dan budaya dari daerah selain Jawa, sebenarnya telah diangkat oleh berbagai film layar lebar negeri ini. Meskipun hanya menggunakan dialek daerah saja, "film si Doel dan Benyamin itu sudah mengangkat budaya Betawi. Kabayan itu budaya Sunda. Nagabonar dari Medan."
Seorang penonton film, Ian Adiwibowo merasa perlu adanya film dari daerah lain lengkap dengan bahasa lokalnya, karena dia penasaran "melihat eksotisme baru, dan cara pandang masyarakat yang berbeda yang diangkat oleh film-film dari daerah berbeda."