Cerita di Balik Ramainya Film Berbahasa Jawa
- Instagram/@Starvisionplus
Lelaki yang mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu menekankan bahwa penting baginya untuk membuat film yang dekat dengan dirinya, karena membuatnya paham seluruh elemen; seperti dialog, peristiwa, konflik dan tempat, dengan lebih baik.
"Dan ketika saya tahu dan paham apa yang mau saya buat, filmnya akan jadi lebih utuh, lebih bagus. Kalau saya memfilmkan cerita yang jauh-jauh, yang saya tidak pahami, takutnya jadi setengah-setengah, tidak orijinal."
Film Lembusura yang disutradarai Wregas, tayang di salah satu festival film paling bergengsi di dunia, Festival Film Berlin, 2015 lalu.
Arus Yogyakarta
Ramainya film-film berbahasa Jawa, tidak terlepas dari `kebangkitan` sineas Yogyakarta, yang film mereka akhir-akhir ini menggeliat di berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Para sineas Yogyakarta merentang dari yang gaek, seperti Garin Nugroho (Opera Jawa, Setan Jawa), Ifa Isfansyah (Pendekar Tongkat Emas, Sang Penari), Edi Cahyono (Siti), hingga rekan sepantaran Wregas, Yosep Anggi Noen (Istirahatlah Kata-kata, Kisah Cinta yang Asu).
"Meskipun sineasnya banyak, tapi Yogya itu sempit. Kami sering dipertemukan di ruang-ruang putar, seperti Taman Budaya, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Lembaga Indonesia Prancis," cerita Wregas.
Kedekatan membuat para pembuat film di Yogyakarta, baik yang tua maupun yang muda, saling berbagi ide cerita, memberikan komentar dan berdiskusi. "Jadi ruang yang sangat asik bagi tumbuh perfilman," lanjutnya.