Putri Raja Yogyakarta Kritik Tampilan Sultan Agung di Film
- instagram.com/gkrbendara
VIVA – Gusti Kanjeng Ratu Bendoro, putri dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengkritik penampilan Sultan Agung dalam sebuah film yang tak disebutkan judulnya. Dalam unggahan Instagramnya di akun @gkrbendara, Sang Putri merasa sedih, karena penggunaan motif batik untuk Sang Raja di film ini tidak tepat.
"Aduuuh duh duh... hancur hati ku... yg memerankan Sultan Agung kok ya pake parang yg kecil dan warna nya biru pula ... padahal yg membuat Parang Barong adalah Ibu beliau. Malah yg memerankan Abdi dalem di belakangnya yg pake Parang lbh besar," tulis wanita bernama asli Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni tersebut.
Masih lewat akun Instagramnya, GKR Bendoro juga menjelaskan larangan motif-motif tertentu di dalam Keraton yang tercantum dalam Rojksblad atau pranatan dalem.
"Pengunaan Parang hanya boleh untuk kerabat Kraton. Yg berukuran 12 cm hanya diperuntukan Raja, yg berukuran 8 cm untuk Permaisuri dan yg lebih kecil lagi unt putri dan Pangeran," katanya menyertakan akun sumber @kratonjogja.
Senada dengan GKR Bendoro, Sulistyo Tirtokusumo, Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda dan anggota tim penilai Anugerah Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud menerangkan, memang penggunaan motif parang rusak barong hanya diperuntukkan bagi Raja.
"Kalau sampai parang rusak barong Gusti dipakai selain Raja, itu menyalahi, karena tiap masuk Kraton sampai sekarang ini, tidak seorang pun yang boleh memakai parang rusak barong, kecuali (Gusti Raja)," ujar Sulistyo, saat dihubungi VIVA, Kamis 8 Maret 2018.
Terkait warna biru-putih yang dipakai, Sulistyo menduga, salah satu referensi filmmaker dalam menggambarkan Sultan Agung ini adalah buku berjudul Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung karya Dr. H.J. De. Graaf, seorang ahli jawa dari Belanda yang banyak meneliti tentang kerajaan di Jawa.
Dalam buku tersebut tertulis, "Pakaian Raja juga menarik perhatian: pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian orang-orang Jawa lainnya, dengan kopiah dari kain linen di kepala, dengan kain di badannya yang dilukis dan dibuat di negaranya, berwarna putih-biru, dengan keris di badan bagian depan dan ikat pinggang dari emas yang disebut sabuk."
Menurutnya, jika penggambaran Sultan Agung seperti dalam buku tersebut, seharusnya, prajuritnya juga berkain seperti itu.
"Artinya, biru, jangan ada yang lain. Karena kemungkinan besar, batik pada zaman Sultan Agung belum secanggih sekarang," katanya lagi.
Namun, dalam laporan ditulis oleh orang Belanda tersebut, memang tidak disertakan motifnya apa.
"Tapi saya, karena melihat dari sekarang, yang dipakai Raja-raja, Sultan-sultan Yogya ini yang dipakai parang rusak barong," katanya lagi.