Ulama NU Kisahkan Walisongo yang Tak Lakukan Arabisasi saat Berdakwah
- Istimewa
VIVA – Meskipun Islam datang dari tanah Arab, namun para Walisongo tidak mentah-mentah mengajarkan Islam sebagaimana Islam di Arab.
Menurut Ulama Nahdatul Ulama (NU) KH Taufik Damas, pada abad 15 dan 16, Walisongo menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Caranya adalah dengan lebih mengedepankan unsur budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Inilah yang justru dijadikan sebagai piranti dalam menyebarkan Islam.
“Islam hadir memang dari tanah Arab. Namun dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, Wali Songo termasuk Sunan Ampel, selalu beradaptasi dengan kebudayaan lokal sesuai dengan kondisi sosial politik masyarakat setempat,” kata Kiai Taufik.
Dia mengatakan itu saat mengisi Ngabuburit Bersama Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan (PDIP), yang dilaksanakan jelang berbuka puasa, Rabu, 5 Mei. Acara itu dipandu host Sekretaris BKNP PDIP, Rano Karno, yang juga Anggota DPR RI.
Menurut Wakil Khatib Syuriah PWNU DKI Jakarta itu, pemahaman soal hal tersebut penting dan kontekstual pada saat ini. Metode dakwah seperti yang yang digunakan Sunan Ampel perlu ditiru. Kalaupun dimodifikasi sesuai kekinian, namun substansi pendekatan budayanya, seharusnya tak berubah.
Bahwa dalam berdakwah itu tidak hanya mengajarkan masyarakat untuk mengerti betul tentang agama Islam. Tetapi juga harus memiliki sikap kebijaksanaan.
"Karena kebijaksanaan merupakan proses berdakwah dengan penuh santun dan lebih mengedepankan ketenangan hati kepada masyarakat," urainya.
"Sikap inilah yang penting untuk dikembangkan seorang da’i dalam berdakwah, sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Sunan Ampel," tambah Kiai Taufik.
Berdasarkan pendalaman ilmu yang dilakukannya, diketahui bahwa Walisongo datang ke Indonesia dengan kesadaran bahwa Nusantara memiliki banyak kebudayaan yang beragam. Maka ketika berdakwah, para Walisongo menyesuaikan metodenya dengan fakta yang ada dan tengah berkembang saat itu.
"Para Walisongo sangat mengerti betul bahwa karakter dan budaya orang Arab sangat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pola-pola ajaran keislaman yang berkembang di Arab berdasarkan budayanya, ini tidak bisa serta merta diajarkan mentah-mentah kepada masyarakat Indonesia," jelasnya.
"Misalnya, karakter orang Arab yang keras dan egoistik. Sementara rakyat Indonesia lebih mengedepankan karakter ‘ngejawi’-nya. Maka pola dan strategi dalam berdakwah tidak bisa disamakan," bebernya lagi.
Itulah sebabnya pola komunikasi yang digunakan Walisongo tidak menganggap budaya setempat harus diubah. Sebaliknya, Walisongo justru sangat mengapresiasi budaya yang berkembang yang kemudian ditambah nilai nilai keislaman.
Maka, pola seperti inilah yang ditempuh oleh Sunan Ampel dalam menyebarkan agama Islam di Nusanatara.
“Sosok Sunan Ampel memang memiliki pemahaman sufistik yang bijaksana, maka ia sadar betul dengan kebudayaan yang sangat beragam, bisa dilihat dari pembuatan tembang lir-ilir yang merupakan apresiasi terhadap musik yang sudah ada sejak dahulu. Begitu juga dengan pakaian santri yang tetap diadaptasikan dengan cara berpakaian orang Indonesia,” urai dia.
Dari situ, dia berharap para dai dan pendakwah masa kini bisa memahami. Bahwa kunci utama dalam berdakwah adalah bagaimana memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
“Kerap kali tradisi dibenturkan dengan agama. Padahal tradisi diperbolehkan dalam Islam asalkan tidak mengandung mudharat. Malah apabila kebudayaan mengandung nilai positif, budaya atau tradisi bisa digunakan sebagai media dakwah,” pungkas Taufik.
Program Ngabuburit BKNP PDIP dengan tema besar ‘Mata Air Kearifan Walisongo’ hadir setiap hari pada bulan Ramadhan pukul 17.00 WIB. Sementara sebelum sahur, ditampilkan program sejenis juga. Semuanya dapat diikuti melalui kanal YouTube: BKNP PDI Perjuangan, Instagram: BKNPusat dan Facebook: Badan Kebudayaan Nasional Pusat.
Baca juga: Sejarawan: Belajar dari Dakwah Sunan Giri, Merangkul Bukan Memukul