Voting PBB, Bukti Nyata Trump Miskin Dukungan
- Reuters
VIVA – Klaim Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang dengan gagah mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel, ternyata mendapat perlawanan mayoritas negara di dunia. Melalui pemungutan suara di Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa, mereka menyetujui sebuah resolusi, yaitu menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan meminta Trump menarik kembali dukungannya.
Perlawanan itu ditampakkan pada Kamis 21 Desember 2017, dalam pertemuan Sesi Khusus Darurat Anggota PBB. Di bawah Resolusi tahun 1950, sebuah Sesi Khusus Darurat dapat diminta dilakukan, agar Majelis Umum PBB mempertimbangkan masalah dengan maksud untuk memberikan rekomendasi kepada anggota untuk melakukan tindakan bersama.
Opsi ini bisa dipilih, jika Dewan Keamanan PBB dianggap gagal untuk bertindak. Sejauh ini, hanya 10 sesi sejenis yang pernah diadakan. Terakhir kali Majelis Umum bertemu untuk Sesi Khusus Darurat pada 2008, tentang Yerusalem Timur yang diduduki.
Perlawanan ini memang layak. Sebab, ketika Trump mengumumkan sikap AS yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel, negara itu melakukannya secara sepihak. Padahal, proses perdamaian yang diupayakan antara Palestina dan Israel, selalu mengarah pada solusi dua negara. Dan, Palestina selalu meminta agar Yerusalem Timur menjadi ibu kota mereka di masa depan.
Tetapi, AS dengan arogan menghentikan itu. Dunia bereaksi. Apalagi, AS juga mengatakan akan segera mengalihkan Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Tel Aviv ke Yerusalem. AS sudah berpihak, dan memilih Israel untuk dibela.
Sikap AS ini menuai kecaman keras, dan AS dianggap tak layak lagi memposisikan diri sebagai perantara perdamaian. Apalagi, pada Sidang Dewan Keamanan PBB soal Yerusalem, AS telah melakukan veto. Tindakan veto AS ini, memicu Sesi Khusus Darurat dilakukan.
Berikutnya, Trump kalah telak>>>
Trump kalah telak
Dikutip dari Anadolu, Jumat 22 Desember 2017, sebanyak 193 anggota Majelis Umum PBB melakukan pemungutan suara atas resolusi yang menolak keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel pada 6 Desember lalu.
Hasilnya, 128 anggota mendukung resolusi tersebut. Termasuk, negara yang setuju adalah Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Belgia, Portugal, Swiss, Swedia, Norwegia, Spanyol, dan Yunani. Hanya sembilan negara yang menolak resolusi itu, yaitu Israel, Honduras, Togo, AS, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Naru, dan Guatemala. Sementara itu, 35 negara, termasuk Argentina, Kanada, Bosnia, Republik Chechnya, dan Filipina memutuskan abstain.
Sikap yang diambil oleh 128 negara di dunia itu menunjukkan besarnya perlawanan pada Trump. Ini adalah perlawanan kedua. Sebelumnya, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) sudah lebih dulu melawan Trump.
Melalui pertemuan KTT Luar Biasa OKI yang diadakan di Turki, mereka tegas menolak keputusan Trump. OKI tetap pada keputusan sebelumnya, bahwa solusi dua negara, atau two state sollution adalah keputusan paling akhir untuk perdamaian di Palestina.
Dalam pertemuan KTT itu, OKI juga mengajak semua negara yang memiliki Kedutaan Besar di Tel Aviv, untuk tidak mengikuti keputusan AS yang akan memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem. "OKI bisa menjadi motor untuk menggerakkan dukungan negara yang belum mengakui kemerdekaan Palestina," ujar Presiden RI Joko Widodo yang menghadiri pertemuan tersebut, seperti dikutip dari Voa, 14 Desember 2017.
128 negara yang ikut mendukung resolusi yang menolak keputusan AS itu memilih tetap berpegang pada Hukum Internasional yang mengatakan Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur sebagai "wilayah yang diduduki" dan menganggap semua pemukiman Yahudi yang dibangun di wilayah tersebut adalah ilegal.
Perlawanan itu mungkin membuat AS tak terima. Trump mungkin sudah ‘mencium’ akan ada perlawanan. Itu sebabnya, mereka sempat meradang dan mengancam akan menghentikan berbagai program bantuan dari AS ke negara-negara yang menyokong PBB untuk membuat resolusi melawan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu kota Israel. "Mereka menerima ratusan juta dolar, bahkan miliaran, namun mereka voting dan melawan kita," kata Trump.
Ancaman itu efektif, mereka yang menolak kebanyakan adalah negara-negara yang menerima kucuran dana dari AS. Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley juga mengatakan akan mengingat negara-negara yang memilih resolusi dan mengkritik keputusan AS.
"Di PBB, kami selalu diminta untuk berbuat lebih banyak dan memberi banyak. Jadi, ketika kami membuat keputusan atas kehendak masyarakat Amerika, kami tidak mengharapkan orang-orang membantu kami. Akan ada suara yang mengkritik kami dan akan kami catat," kata Haley.
Selanjutnya, perjuangan Palestina belum usai
Perjuangan Palestina belum usai
Israel menanggapi keputusan PBB itu dengan dingin. Menteri Pertahanan Dalam Negeri Israel, Gilad Eran mengatakan, akan terus membangun Israel, meskipun ada keputusan tersebut. "Respons kami pada kampanye PBB yang dilakukan oleh Mahmoud Abbas dan pendukungnya untuk melawan AS dan Israel, akan semakin menguatkan kedaulatan, keamanan, dan pembangunan di setiap bagian Yerusalem," ujarnya.
Ia juga menegaskan, "Palestina boleh terus mengancam dan PBB bisa melakukan pemungutan suara, tetapi Israel akan terus melanjutkan pembangunan dan penguatan ibu kota kami, Yerusalem."
Palestina menyambut kemenangan resolusi tersebut. "Kami akan melanjutkan usaha kami di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan di semua forum internasional untuk mengakhiri pendudukan ini dan untuk membangun negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya," ujar Nabil Abu Rdainah, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
“Sikap penolakan dari sebagian besar anggota PBB menjadi modal penting bagi organisasi dunia tersebut untuk mendesak AS, menarik segera kebijakannya. Di sisi lain, sikap ini memberikan dukungan diplomatik yang kuat bagi Palestina,” ujar Rofi’ Munawar, wakil ketua Badan Kerja sama Antarparlemen (BKSAP) DPR RI, melalui siaran persnya yang diterima VIVA, Jumat 22 Desember 2017.
Palestina layak membuncah. Setidaknya negara tersebut tahu, ratusan negara berdiri bersamanya untuk tetap konsisten pada Hukum Internasional. Dikutip dari Reuters, 20 Desember 2017, Meski pemungutan suara seperti itu tidak mengikat namun dianggap memiliki bobot politik yang bisa menekan AS.
Apalagi, mereka yang memutuskan mendukung resolusi yang menolak keputusan AS itu tetap pada keputusannya meski Presiden AS, Donald Trump dan Dubes AS di PBB Nikki Haley berulang kali menyampaikan ancaman.
Kemenangan satu resolusi itu menunjukkan ada 128 negara yang sebenarnya menolak berada di bawah kontrol AS. Negara-negara itu masih berpihak pada keinginan untuk taat pada Hukum Internasional dan mengupayakan perdamaian yang lebih adil.
Palestina tahu, mereka masih punya harapan untuk terus berjuang dan mewujudkan mimpi untuk merdeka. Kemenangan dukungan di PBB adalah bukti nyata, AS miskin dukungan dan kemenangan Palestina masih layak diperjuangkan. (asp)