Simpang Jalan Pidana LGBT

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi saat tengah bersidang.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro

VIVA – Tak kurang dari 22 kali sidang dijalani oleh Euis Sunarti di Mahkamah Konstitusi sejak April 2016. Namun semua usahanya kandas pada 14 Desember 2017. Guru besar Institut Pertanian Bogor ini dianggap salah mengajukan permohonan ke MK atau dengan kata lain salah alamat.

"Ini sangat mengecewakan kami. Padahal dalam persidangan kami belajar, ini (cuma) soal pertarungan ideologi," ujar Euis, Selasa, 19 Desember 2017.

Lebih setahun silam, Euis bersama rekannya yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga mendaftarkan uji materi ke MK soal pasal asusila.

Sembilan hakim saat berfoto di depan gedung Mahkamah Konstitusi beberapa waktu silam.

Ada tiga pasal yang diujikan yakni, Pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Gagasan mereka, agar MK memperluas makna asusila seperti zina, pemerkosaan dan cabul. Sehigga bisa diperbaharui menyesuaikan dengan kondisi kekinian.

Pasal 284 KUHP misalnya, pemohon ingin agar pasal ini bisa memaknai zina sebagai seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.

Selanjutnya, Pasal 285 KUHP yang berbunyi, "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun."

Diubah dengan menghilangkan frasa kata 'perempuan yang bukan istrinya' dihapus. Otomatis dengan ini maka pemaknaannya akan akan berubah menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki.

Dan selanjutnya Pasal 292 KUHP. Dalam pasal yang berbunyi, "Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."

Pemohon ingin agar frasa 'yang belum dewasa' dan frasa 'yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa' ditiadakan. Sehingga harus dibaca, "Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun."

Dengan itu, maka definisi cabul itu bisa mencakupi setiap perbuatan oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, atau bukan terkunci pada korbannya anak di bawah umur.

Ya, singkatnya uji materi ini agar kitab hukum di Indonesia mampu menjangkau segala ragam bentuk kejahatan asusila mulai dari seks bebas, kumpul kebo, prostitusi, pemerkosaan, dan pencabulan sesama jenis baik dewasa maupun anak-anak.

Salah Kaprah

Sejatinya tidak ada yang salah dengan putusan MK soal penolakan uji materi pasal-pasal asusila itu.

Dalam putusannya yang tertuang di sini, MK secara prinsip bukan menolak gagasan 'pembaruan' pemohon seperti yang telah diajukannya.

Pacar Dianiaya hingga Tewas Sebelum Disetubuhi, Pria di Sumut Diduga Punya Kelainan Seksual

MK hanya menyatakan bahwa norma pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Perihal perlu atau tidaknya dilengkap, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana yang merupakan bagian dari politik hukum pidana," tulis putusan MK.

Atas itu, MK menyarankan apa yang diingini oleh para pemohon untuk diajukan kepada pembentuk undang-undang (DPR atau Pemerintah). Untuk selanjutnya dirumuskan ulang dalam KUHP yang baru.

Masih Ada Rasa Cinta, Ustazah di Lombok Aniaya Mahasiswi Gegara Cemburu

Namun demikian, putusan ini pun dimaknai berbeda oleh pemohon dan publik. Muncul anggapan salah kaprah bahwa MK secara tidak langsung telah melegalkan perbuatan asusila seperti kumpul kebo, seks bebas, prostitusi, LGBT dan pencabulan sesama jenis.

Mahfud MD.

6 Bulan Menikah Masih Perawan, Ternyata Suami Penyuka Sesama Jenis

"Teorinya MK tidak boleh membuat norma," ujar mantan Ketua MK Mahfud MD.

Dengan itu, lanjut Mahfud, jika memang ada keinginan untuk melarang ada praktik LGBT, seks bebas dan lain sebagainya. Maka publik mesti mendorong DPR agar mereka merumuskan undang-undang yang baru dalam KUHP.

"Yang melarang harus legislatif [DPR], jangan MK," ujar Mahfud.

Dari sini, jelas secara prinsip bahwa meski di MK terjadi Dissenting Opinion (perbedaan pendapat) di sembilan hakimnya, namun putusan akhirnya adalah MK menilai bahwa usulan pemohon telah memasuki wilayah criminal policy yang ranahnya dipegang oleh pemerintah dan DPR.

Mahfud juga menegaskan LGBT, serta zina jelas dilarang di Indonesia. Hal itu pun bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Tanah Air.

Dengan demikian, Mahfud berharap, pelarangan itu bisa dilakukan oleh pihak legislatif atau DPR, bukan Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam membuat undang-undang hanya legislatif yang bisa melakukan, sedangkan MK tidak bisa keluarkan sebuah norma.

"Jadi, hentikan caci maki dan tidak ada yang menyatakan LGBT dan zina dibenarkan, sebab semua itu ada di ranah legislatif," ujarnya, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne, Rabu malam, 20 Desember 2017.

Untuk itu, Mahfud juga berharap, sejumlah aktivis islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ramai-ramai datang ke DPR untuk mendorong Undang-undang KUHP dapat menghukum perbuatan zina dan LGBT secara pidana. Sebab, sekarang ini belum final. Separuh fraksi setuju untuk dijadikan hukum pidana, separuh lagi tidak.

"Jadi, NU dan Muhammadiyah jangan sampai kecolongan. Karena, DPR dan pemerintah sudah akan mengesahkan ini, sudah rampung 90 persen, tapi soal zina ini di-pending, karena kontroversinya. NU dan Muhammadiyah datang ke DPR. Agama-agama lain juga datang, karena itu merusak Zina itu,” ujarnya.

Dana 180 Juta Dolar AS untuk LGBT

Hal itu sangat penting, lanjut Mahfud, karena pada akhir 2015, diisukan ada dana sekitar US$180 juta, atau setara Rp2,4 triliun masuk ke Indonesia dari organisasi luar negeri untuk meloloskan zina dan LGBT boleh ada di Indonesia.

“Jadi, ini bila nanti datang ke anggota-anggota DPR, ini bisa lolos. Sebab itu, aktivis-aktivis datangi DPR. Kalau ini lolos juga, berarti Anda menerima bayaran itu, gitu aja," ujar Mahfud.

Perlu diketahui, pembahasan terkait UU KUHP yang memasukkan zina dan LGBT sebagai perbuatan pidana masih tertahan di DPR.  Sebab, separuh anggota DPR belum setuju hal itu masuk kriminalisasi dan separuh lagi menyatakan tidak masuk sebagai tindak kriminal.

Padahal, pada 1998 pemerintah Indonesia menandatangani deklarasi hak asasi manusia di Kairo yang menyatakan bahwa agama akan menjadi sumber hukum. Dan, seluruh agama mana pun tidak suka perzinaan dan pantas di kriminaliasi menjadi aturan hukum.

Meskipun praktik LGBT harus dilarang untuk dilegalkan di Indonesia, namun hak-hak kamu LGBT harus tetap dilindungi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya