Horor Difteri, Penyakit Lama yang Kembali Mewabah
- ANTARA/Iggoy el Fitra
VIVA – Difteri kembali mewabah di Tanah Air. Setelah hampir satu dekade tak pernah muncul, kini wabahnya kembali mengintai.
Penyakit yang disebabkan oleh penularan bakteri Corynebacterium Diptheriae ini tiba-tiba saja sudah menyebar hingga ke 20 provinsi Indonesia. Atas darurat ini Kementerian Kesehatan akhirnya menetapkan status kejadian luar biasa (KLB).Â
Kemenkes mencatat, dalam kurun waktu Januari hingga November 2017 ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 593 kasus, 32 di antaranya meninggal dunia.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Muhammad Subuh, mengungkapkan pada kurun waktu Oktober hingga November 2017, ada 11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.
"Sampai November, kasus difteri ini tergolong suspect (terduga) KLB, karena masih membutuhkan satu pemeriksaan lagi untuk benar-benar didiagnosa difteri yaitu swap tenggorokan. Tercatat sudah 593 kasus dengan 32 kematian atau sekitar angka kematian 5,4 persen dari Januari hingga November," ujarnya kepada VIVA di Gedung P2P, Jakarta, Rabu 6 Desember 2017.
Di DKI Jakarta sendiri, tercatat sudah mencapai 25 kasus difteri yang sudah menyebabkan 2 orang meninggal. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto, mengungkapkan bahwa posisinya menyebar pada 12 kecamatan.Â
"Di Jakarta sudah cukup meluas, misalnya di Jakbar dan Jakut. Tapi di Jaktim, Jakpus, dan Jaksel tidak sebanyak di Jakbar dan Jakut," ujarnya kepada VIVA di lokasi yang sama.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kasus difteri tertinggi terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jawa Timur, dalam setahun ada 318 kasus di mana 12 orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan Jawa Barat terutama Banten, menurut catatan Kepala Dinas Kesehatan Banten, telah mencapai 63 kasus dan 9 kematian. Serta, di Jawa Barat, hingga Desember telah tercatat 132 kasus dan 13 kematian akibat Difteri.
Penyebabnya bakteri menular dan berbahaya
Penyakit difteri disebabkan oleh Corynebacterium Diphtheriae yang dapat menyerang orang yang tidak mempunyai kekebalan terutama anak-anak yang berusia satu sampai 10 tahun sangat rentan terular penyakit ini.Â
Dilansir laman Healthline, kuman difteri menyebar dengan cara seseorang menghirup cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, dari jari-jari atau handuk yang terkontaminasi, dan dari susu yang terkontaminasi penderita. Selain itu, difteri juga dengan mudah menular pada orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri. Cara penularan yang perlu diwaspadai, seperti menghirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk.
Seberapa bahaya dampak terjangkitnya difteri? Laman Web MD menyebut penyakit ini bisa mengakibatkan kematian akibat sumbatan saluran napas atas atoksin yang bersifat patogen sehingga menimbulkan komplikasi miokarditis (peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah), gagal ginjal, gagal napas dan gagal sirkulasi.
Difteri juga menimbulkan gejala dan tanda berupa demam yang tidak begitu tinggi (38ºC). Ciri-ciri lain pada kasus ini adalah munculnya Pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan dan sakit waktu menelan.
Terkadang kondisi tersebut juga disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengkakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck. Penderita difteri juga sering mengalami sesak napas dan suara mengorok.
Penyakit lama yang kembali mewabah
Menurut Riskesdas 2007 dan 2013, kasus Difteri di Indonesia sebetulnya adalah wabah lama dan umumnya menyerang anak-anak. Difteri telah berhasil diperangi Indonesia pada 1990 saat program imunisasi digalakkan. Namun, penyakit akibat infeksi bakteri yang umum menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan ini kembali hadir di Jawa Timur pada 2009.Â
Kemudian sejak itu, bukannya hilang sama sekali, karena tak terekspose angka kejadian difteri justru prevalensinya hampir selalu naik setiap tahun.Â
Pada 2015 misalnya, Profil Kesehatan Indonesia 2015 mencatat jumlah kasus sebanyak 252 kasus, dan korban meninggal sebanyak 5 kasus. Kasus tertinggi terjadi di Sumatera Barat sebanyak 110 kasus, dan Jawa Timur sebanyak 67 kasus. Lalu pada 2016, ada 415 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus.
Meski berbahaya, namun Difteri dapat diatasi dengan vaksin DPT yang  diberikan untuk mencegah penularan ini. Namun sayangnya, munculnya gerakan  immunity gap, atau penolakan terhadap vaksin menyebabkan kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk.
Padahal, dari data yang tercatat, ditemukan fakta bahwa 66 persen kasusnya timbul pada mereka yang tidak melakukan vaksin.
"Kami temukan di lapangan, faktanya adalah 66 persen kasus yang ada, terjadi pada yang tidak dilakukan imunisasi sama sekali. Sedangkan, 31 persennya ada pada mereka yang tidak lakukan imunisasi lengkap," ujar Subuh.
Selain itu, 3 persen kasusnya ada pada mereka yang sudah jalani imunisasi lengkap. Kondisi ini, menurut Subuh, sebagai dampak dari lingkungannya yang mulai tidak sehat.
"Kemungkinan tetap hadir pada mereka yang sudah diimunisasi karena kuman makin sering terpapar, akibat dari lingkungan kuman di sekelilingnya yang banyak, jadi daya tahan tubuhnya lemah. Tapi, ini hanya 3 persen di antara total yang sudah diimunisasi," jelas Subuh.
Selain itu, fakta yang Kemenkes temukan di lapangan, tercatat bahwa kasus difteri yang mewabah ini, tidak lagi memandang usia. Sebab, usia kanak-kanak hingga dewasa sudah tercatat masuk kasus KLB ini.
"Termuda pada usia 3,5 tahun dan tertua pada usia 45 tahun. Diingat juga, saat ini difteri tidak lagi tergantung musim karena laporan yang kami terima dicatat sepanjang Januari hingga November," kata dia.
Untuk itu, Subuh menekankan pentingnya lakukan imunisasi lengkap serta mengikuti penanganan ORI (Outbreak Response Immunization).
Pemerintah lakukan vaksin ulang anak usia 1-19 tahun
Pencegahan difteri yang paling utama adalah dengan imunisasi. Di Indonesia program imunisasi difteri sudah dilakukan sejak lebih dari 5 dasawarsa. Â Vaksin untuk imunisasi difteri ada 3 jenis, yaitu vaksin DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak 1 bulan.
Selanjutnya, diberi Imunisasi Lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak 1 dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas 1 diberikan 1 dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas 2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas 5 diberikan 1 dosis vaksin Td.
Keberhasilan pencegahan difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu minimal 95 persen.Â
Dengan munculnya wabah tersebut pemerintah mengambil tindakan penanganan ORI (Outbreak Response Immunization) melalui suntik vaksin difteri sebanyak tiga kali.
"Kita akan mengadakan outbreak response imunisasi dilakukan dengan rumus 016 yakni penyuntikan pertama di bulan ini, dilanjutkan 1 bulan mendatang dan 6 bulan selanjutnya. Maka, perlu proses selama 8 bulan untuk evaluasi kasus difteri di tempat dilakukannya penanganan ORI," papar Subuh.
Selain itu, Subuh menegaskan akan dilakukan perluasan sasaran penyuntikan vaksin yang dimulai sejak anak usia 1 tahun hingga mereka yang sudah beranjak dewasa berusia 19 tahun.
"Kita meluaskan sasaran mulai dari usia 1 tahun sampai di bawah 19 tahun yang dimulai pada 11 Desember 2017 di 12 kabupaten/kota di DKI Jakarta (Jabodetabek), Banten, dan Jabar," ujarnya.
Menurutnya, ini adalah konsekuensi dari hadirnya kasus kejadian luar biasa yang kini hinggap di Tanah Air. Subuh juga menyarankan agar orangtua mulai menyadari pentingnya imunisasi difteri yang sudah menjadi hak anak.
"Imunisasi itu hak anak yang sudah tercantum di Undang Undang, untuk itu diimbau agar orangtua mau memberikan vaksin pada anaknya. Apalagi, sifat bakteri difteri ini sangat mudah menular melalui percikan, sehingga penting menjaga ketahanan tubuh anak," tuturnya.