Senja Kala Setya Novanto
- Anadolu Ajansi
VIVA – Iring-iringan mobil tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, pada Minggu tengah malam 19 November 2017. Salah satu dari mobil tersebut mengangkut Ketua DPR, Setya Novanto, sosok yang begitu menjadi perhatian publik beberapa hari terakhir ini.
Saat itu, petugas dan tim penyidik dari KPK menjemput Novanto dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Mereka memutuskan memindahkan Ketua Umum Partai Golkar itu dari rumah sakit ke tahanan lembaga tersebut.
Begitu sampai di Gedung KPK, Novanto sudah mengenakan rompi khusus tahanan KPK berwarna oranye. Ia terlihat lemah dan menggunakan kursi roda.
Meskipun demikian, petugas atau penyidik KPK seperti tak ingin membuang-buang waktu lagi. Mereka langsung menggelandang Novanto ke ruang pemeriksaan di lantai dua sekitar pukul 23.45 WIB.
“Drama” kasus mega-korupsi proyek e-KTP yang menimpa Novanto itu pun memasuki babak baru. Setelah melewati beberapa proses, dari menghilang ketika hendak dijemput, mengalami kecelakaan dengan menabrak tiang listrik, KPK akhirnya memutuskan menahannya di Rutan mereka yang berada di belakang gedung lembaga tersebut, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, untuk 20 hari pertama.
Penahanan ini menunjukkan bahwa Novanto masih belum lolos dari hadangan kasus korupsi e-KTP. Setelah menang praperadilan, dia kembali ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menjelaskan alasan institusinya harus menahan Novanto di Rutan KPK, dan memindahkannya dari RSCM. Semua berdasarkan keterangan dari tim dokter.
"Bahwa menurut keterangan dokter, Setya Novanto tidak memerlukan lagi perawatan inap. Oleh karena itu, sesuai standar atau prosedur pembantarannya tidak dibutuhkan lagi," kata Laode di RSCM, Jakarta Pusat, Minggu malam, 19 November 2017.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak RSCM dan Ikatan Dokter Indonesia, KPK menerima rekomendasi bahwa tak ada indikasi lagi untuk rawat inap. Sekjen IDI Dr Adib Khumaidi mengatakan semua hasil rekomendasi IDI dilaporkan secara tertulis ke KPK.
Sedangkan Dirut RSCM Dr Heriawan Soedjono mengatakan tim dokter RSCM sudah melakukan pemeriksaan lengkap. "RSCM sudah melakukan wawancara medis, pemeriksaan jasmani, dan memberikan penatalaksanaan sesuai yang dibutuhkan," ujarnya saat konferensi pers bersama KPK dan IDI di Gedung RSCM, Minggu malam, 19 November 2017.
[Setya Novanto begitu tiba di Gedung KPK setelah dibawa dari RSCM, Jakarta, Minggu, 19 November 2017. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean]
Protes Novanto
Sekitar dua jam dari waktu kedatangannya, Novanto yang mengenakan rompi oranye itu menuruni tangga Gedung KPK. Wajahnya masih terlihat lesu. Langkahnya gontai. Tak ada senyum sumringah atau lambaian tangan seperti saat ia melakukan inspeksi mendadak atau kunjungan ke suatu tempat.
Rupanya, proses pemeriksaan perdananya sebagai tersangka selesai. Sang pengacara, Fredrich Yunadi, pun turut memapahnya sampai di pintu keluar gedung, tempat wartawan menunggu untuk mendapatkan pernyataannya.
Dalam kesempatan itu, Novanto mengaku pasrah atas penahanan yang dilakukan penyidik KPK terhadapnya. Namun, dia tetap menyampaikan protes karena seharusnya masih mendapat perawatan pasca kecelakaan Kamis malam lalu.
"Ya saya sudah menerima tadi dalam kondisi saya yang masih sakit, masih vertigo karena tabrakan, dan saya tadi juga enggak menyangka bahwa malam ini saya pikir masih diberi kesempatan untuk recovery tapi ya saya mematuhi hukum," kata Novanto di depan awak media, Senin dini hari, 20 November 2017.
Novanto juga menyinggung sejumlah upayanya dalam menghadapi KPK. Dari melakukan pelaporan ke polisi terkait dugaan penyalahgunaan wewenang pimpinan lembaga KPK, sampai kepada meminta perlindungan presiden karena diperilakukan tidak adil karena sudah menang praperadilan, namun kembali dijerat KPK atas perkara dugaan korupsi e-KTP.
"Dan saya sudah melakukan langkah-langkah dari mulai melakukan SPDP di kepolisian dan mengajukan surat kepada perlindungan hukum kepada presiden, maupun kepada kapolri, Kejaksaan Agung dan saya sudah pernah praperadilan," kata Novanto.
Dalam kesempatan sama, Novanto membantah pernah mangkir panggilan penyidik KPK. Dia beralasan selama ini telah memberikan surat keterangan ketidakhadirannya di KPK.
"Saya belum pernah mangkir yang tiga kali saya diundang saya selalu memberikan alasan jawaban karena ada tugas-tugas yaitu menyangkut saksinya saudara Anang. Dan saya dipanggil menjadi tersangka baru sekali, dan tahu-tahu sudah dijadikan sebagai penangkapan tersangka," kata Novanto.
Novanto berdalih sudah berniat datang menyerahkan diri diantar para pengurus Partai Golkar ke kantor KPK, namun kecelakaan menimpanya, sehingga harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit.
"Dan saya dari kemarin (Kamis malam) memang sudah niat untuk datang bersama-sama DPD 1 (Partai Golkar) jam 8 (malam) tapi saya diminta untuk wawancara di Metro dan di luar dugaan saya ada kecelakaan sehingga saya selain terluka, terluka berat dan juga di kaki, tangan, dan juga di kepala masih memar, tapi saya tetap patuhi masalah hukum dan apapun saya tetap menghormati," kata Novanto.
Senja kala politik
Pengalaman menyebutkan bahwa tokoh, elite politik atau nama-nama besar yang terjerat kasus di KPK, menjadi tersangka, menemui senja kala dan akhirnya menghadapi ajal politiknya. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali.
Tak ada yang selamat. Mereka semua tamat. Mengakhiri karir politiknya yang cemerlang, sebagai ketua umum partai politik berpengaruh di negeri ini di balik jeruji besi.
Lantas bagaimana dengan Novanto? Pria kelahiran Bandung, 12 November 1955, itu bahkan memegang jabatan politik amat prestisius. Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR. Dua posisi itu kini seakan ada di antara hidup dan mati.
Salah satu desakan mundur datang dari Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi. Pria yang tidak dipilih Novanto dalam Pilkada Jabar itu menyatakan DPD I Golkar di Jawa khususnya DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, menghendaki adanya perubahan di pucuk kepemimpinan Golkar.
"Kalau ditanya dukungan DPD I. Saya sih sudah berkomunikasi dengan DPD I. Khususnya wilayah Jawa, pada prinsipnya mereka menghendaki perubahan karena mengalami kecemasan terhadap tingkat keterpilihan Golkar. Itu kan Jatim, Jateng, DKI Jakarta, yang saya berkomunikasi langsung," kata Dedi saat dihubungi VIVA, Senin, 20 November 2017.
Bupati Purwakarta itu menekankan, secara prinsip, sejumlah DPD I yang ia sebutkan ingin ada perubahan. Sebab baginya untuk apa gagah-gagahan memimpin partai kalau Golkar hanya mendapatkan tiga persen suara.
"Sehingga tak ada persoalan subjektivitas orang. Bagi saya. Siapapun, tidak bicara orang. Siapapun orangnya, baik mekanisme pelaksana tugas, munas, asalkan bisa bawa perubahan Golkar, lahirkan kepercayaan publik saya enggak ada problem karena agenda saya perubahan Golkar," kata Dedi.
Terpisah, Ketua Harian Dewan Pimpinan Partai Golkar, Nurdin Halid, mengatakan bahwa partainya akan menggelar rapat pleno untuk menentukan nasib Setya Novanto.
Rapat pleno yang dihadiri para pejabat teras Golkar itu dijadwalkan digelar di kantor pusat partai pada Selasa, 21 November 2017. Agenda utamanya memang membahas situasi termutakhir menyusul penahanan sang ketua umum.
Nurdin mengakui, memang muncul aspirasi agar pimpinan Golkar segera menggelar musyawarah nasional luar biasa atau munaslub dengan agenda, di antaranya pergantian ketua umum dan persiapan menyongsong pilkada serentak tahun 2018 dan pemilu tahun 2019.
Sementara itu, Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah I DPP Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan dalam pleno besok akan ada dua opsi yang dibahas terkait masa kinerja Plt Ketum. Pertama adalah apakah sampai periode Novanto selesai. Kedua, apakah sampai Munaslub.
Pernyataan mengenai Plt ketua umum dari dua tokoh teras Partai Golkar itu juga diamini oleh Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Bahkan lebih jauh lagi, meski Novanto belum mengeluarkan pernyataan soal mundur atau berhenti sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Idrus menyebut Novanto sudah merelakan semuanya.
"Saya terus terang saja, satu dua tiga hari sebelumnya itu, secara pribadi dari hati ke hati Pak Nov itu sudah menyampaikan kepada saya, ya bahwa kalau memang proses perjalanannya seperti ini, dia ikhlaskan semua," kata Idrus.
Selain mengiklaskan, lanjut Idrus, Novanto tidak akan melakukan langkah yang akan menghambat pergantian pimpinan di Partai Golkar.
"Pak Nov itu tidak akan melakukan sesuatu yang menghambat mekanisme-mekanisme, baik di Golkar maupun di DPR. Itu yang disampaikan kepada saya," ujarnya.
Di saat isu pelengseran Novanto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar semakin mengencang, muncul gerakan tokoh partai berlambang pohon beringin itu untuk maju sebagai calon ketua umum.
Sejauh ini, pihak yang mendeklarasikan kesiapannya adalah Airlangga Hartarto yang saat ini menjadi Menteri Perindustrian, pembantu Presiden Jokowi di Kabinet Kerja. Namun, dalam merealisasikan ambisinya itu, Airlangga menunggu restu dari Jokowi.
"Saya kan pembantu presiden dan kader partai. Pertama saya bergantung kepada aspirasi yang berkembang di daerah, dan kedua kepada Bapak (Presiden Jokowi)," kata Airlangga, di Istana Negara, Jakarta, Senin, 20 November 2017.
Bagi Airlangga, harus ada upaya penyelamatan terhadap eksistensi Golkar menyusul penahanan Novanto. Alasannya, perhelatan politik baik Pilkada dan Pileg serta Pilpres, akan mulai berlangsung pada 2018.
Tampaknya, klaim Airlangga bukan sekedar omong kosong. Karena politikus senior Partai Golkar yang juga duduk di lingkaran elite kekuasaan Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan dukungannya. Setelah Airlangga, Luhut diketahui giliran menghadap Jokowi.
"Airlangga orang baik. Mana saja bisa," kata Luhut, di Istana Negara, Jakarta, Senin, 20 November 2017.
Bila nanti Setya Novanto diganti, menurut Luhut, tentu kader penggantinya juga harus bisa lebih baik. Meski begitu, Luhut minta apa yang terjadi di Golkar tidak perlu diributkan. Karena partai berlambang pohon beringin ini bisa berproses dengan cepat.
"Saya kira biar saja di Golkar berproses dengan baik. Enggak usah kita terlalu ramai-ramaiin. Kan semua ada mekanismenya dan saya lihat sedang berproses juga sih. Semua baik-baik saja sih," kata Luhut.
Posisi Ketua DPR
Setali tiga uang, posisi Novanto sebagai Ketua DPR juga tidak ada bedanya dengan di Golkar. Banyak pihak yang menyuarakan agar Novanto melepas jabatan tersebut.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, menilai kasus Novanto bisa membuat citra DPR hancur. Namun, dia belum berbicara soal pergantian karena masuk wewenang dari Golkar dan tetap menghargai bila yang bersangkutan mengajukan praperadilan.
Senada, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Desmond Mahesa, juga menilai Novanto bisa membuat citra DPR busuk dan memintanya sadar, tidak mengutamakan kepentingan pribadi, serta lebih mengedepankan kelembagaan.
Sedangkan Wakil Ketua MKD, Sarifuddin Sudding, menyatakan bahwa penahanan oleh KPK membuat Novanto sudah tidak bisa lagi menjalankan tugas-tugas sebagai Ketua DPR. MKD pun mempertimbangkan untuk mengganti Novanto sesuai pasal 82, dan 87 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Mengenai pergantian Novanto selaku Ketua DPR, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto mengatakan ada di tangan Partai Golkar. Hal itu juga sesuai dengan UU MD3.
"Jadi partai yang punya hak untuk menjadi ketua DPR hari ini kan Golkar," kata Yandri di Senayan, Jakarta, Senin, 20 November 2017.
[Baca: Apa Masih Pantas, Novanto Sandang Ketua DPR?]
Berikut sejumlah aturan dalam UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 mengenai mekanisme pergantian Ketua DPR:
Pasal 87 ayat 3
Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif.
Pasal 87 ayat 4
Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Peraturan DPR dan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 46
Ayat 1
Dalam hal ketua/atau wakil ketua DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, DPR secepatnya mengadakan penggantian.
Ayat 2
Dalam hal penggantian pimpinan DPR tidak dilakukan secara keseluruhan, salah seorang pimpinan DPR meminta nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR meminta nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR yang berhenti kepada partai politik yang bersangkutan melalui fraksi.
Ayat 3
Pimpinan partai politik melalui Fraksinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan nama pengganti ketua dan/ atau wakil ketua DPR kepada pimpinan DPR.
Ayat 4
Pimpinan DPR menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam rapat paripurna DPR untuk ditetapkan.
Menunggu In Kracht
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto juga angkat bicara mengenai status koeganya itu. Menurutnya, saat ini pimpinan menunggu status kekuatan hukum tetap Novanto dari penegak hukum.
"Kalau sudah in kracht, Pak Novanto memang tidak boleh menjadi ketua DPR," kata Agus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 20 November 2017.
Untuk masyarakat yang mendorong agar Novanto langsung dicopot dari ketua DPR, dia menyarankan agar mereka menyampaikan aspirasi ke Fraksi Golkar dan Mahkamah Kehormatan Dewan. Agus mengatakan setiap partai punya kebijakan masing-masing terkait kadernya yang terkena proses hukum. Seperti ada yang nonaktif saat tersangka, atau ada juga yang menunggu status kekuatan hukum tetap.
"Seperti Demokrat itu, begitu tersangka kami ada fakta integritas, apabila statusnya tersangka dan sudah in kracht, tersangkanya harus mudur. Memang seluruh partai politik itu berbeda," kata Agus. (ren)