Operasi Senyap TNI-Polri di Bumi Cendrawasih

Parade Pasukan dan Alutsista di HUT TNI ke 69
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Langit saat itu masih terlihat gelap meski beberapa jam lagi fajar menyongsong di timur Indonesia. Sebanyak 300 pasukan gabungan TNI-Polri Jumat, 17 November 2017 tepat pukul 04.00 WIT merangsek masuk ke dua lokasi yang dikuasai oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

Dalam operasi gabungan tersebut pasukan TNI-Polri memiliki misi penyelamat dan pembebasan sandera Warga Negara Indonesia (WNI) yang disekap oleh OPM di dua desa yaitu di Desa Banti dan Kimbeli Distrik, Tembagapura, Papua.

Secara heroik pasukan gabungan TNI-Polri harus berjibaku dan kontak senjata dengan para OPM. Operasi ini juga tak semulus yang diperkirakan sebab meski sandera telah diamankan, upaya penyelamatan sandera dihujani peluru OPM.

Operasi penyelamatan sandera ini pun langsung dipimpin  Kapolda Papua dan Panglima Kodam Cendrawasih. Mereka berjalan sejauh lima kilometer dari Markas Kepolisian Sektor Tembagapura menuju lokasi penyanderaan di Kampung Utikini.

Panglima Kodam Cendrawasih, Mayor Jenderal George Elnadus Supit (kanan), dalam konferensi pers usai operasi pembebasan sandera itu di Tembagapura, Timika, Papua, pada Jumat pagi, 17 November 2017.

Kapolda Papua, Apops Kapolri dan Pangdam Cenderawasih usai pembebasan sandera di Tembagapura.

Berdasarkan laporan Kepolisian, dalam operasi itu pasukan gabungan berhasil menyelamatkan 344 sandera yang terdiri dari 257 orang laki-laki, 63 perempuan dan 24 anak-anak. Mereka adalah warga suku Buton, Tator, Maluku, dan Jawa.

Selama operasi pembebasan, terjadi tembak-menembak antara aparat dan kelompok penyandera dari bukit di Utikini. Namun, aparat berhasil menguasai keadaan dan mengamankan para sandera, yang disebut berjumlah total 1.300 orang.

Seluruh sandera tersebut kemudian dievakuasi ke Polsek Tembagapura dan selesai pada pukul 12.00 WIT. Polisi memastikan situasi lokasi penyanderaan kondusif dan petugas melanjutkan operasi memburu kelompok OPM yang lari ke hutan.  

Pesan Menggetarkan Jenderal TNI Dudung, Jangan Bunuh OPM

Sebelumnya, upaya penyanderaan secara tidak langsung dilakukan oleh kelompok bersenjata yang mengatasnamakan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) pada 1.300 orang WNI di Tembagapura, Papua. Seluruh warga dilarang meninggalkan kampung dan memutuskan hubungan dengan luar.

Bahkan, posisi TPNPB saat itu menolak bernegosiasi dengan pihak Indonesia dan mereka menyiapkan para sandera tersebut sebagai perisai hidup ketika terjadi kontak senjata dengan aparat TNI Polri.

TNI Dapatkan Amunisi dan Bendera Bintang Kejora dari Markas OPM

Aksi Gemilang TNI di Garis Depan

Lewat Surat, Mantan Anggota OPM Kritik Natalius Pigai

Suksesnya penyelamatan 344 sandera dari genggaman TPNPB OPM di Tembagapura, Papua, pada 17 November 2017 tentunya tak lepas dari upaya gerak cepat yang dilakukan pada prajurit TNI.

Bahkan, Panglima TNI Gatot Nurmatyo sempat mengungkapkan sekilas keterlibatan pasukannya dalam operasi gabungan tersebut. Di mana TNI mengerahkan personel elitnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Batalion Infanteri Raider 751, dan Peleton Intai Tempur Kostrad.

Semua unit, termasuk pasukan Polisi, kata Panglima, memiliki fungsi dan peran masing-masing. Misalnya, polisi menyiagakan dan mengamankan warga yang disandera. Sementara TNI melumpuhkan para penyandera.

"TNI bergerak dengan senyap, (berjalan) empat setengah kilometer. Ada yang tiga hari, empat hari. Kita serang di dua tempat, yakni markas mereka oleh Kopassus, Batalion 751 Raider, dan Taipur Kostrad," kata Panglima di kampus Unisba Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu, 18 November 2017.

Gatot mengapresiasi keberhasilan pembebasan sandera itu, berikut kerja sama TNI dan Polri. Operasi itu, katanya, sekaligus sebagai bukti bahwa TNI dan Polri bertindak tegas dan cepat jika ada yang ingin mengancam kedaulatan Republik Indonesia, termasuk mengancam keselamatan warga.

"Tidak ada sejengkal wilayah tanah pun di Indonesia yang tak merasa aman, ada Polisi, kok, ada TNI. Pasti pemerintah hadir di situ," katanya.

Warga yang sempat disandera kelompok kriminal bersenjata di Tembagapura, Timika, Papua, dilaporkan berhasil dibebaskan pada Jumat pagi, 17 November 2017.

Para sandera yang diselamatkan oleh pasukan gabungan TNI-Polri.

Atas jasa-jasa para prajurit tersebut, Gatot kemudian memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada 57 prajurit khusus TNI yang tergabung dalam operasi gabungan pembebasan warga.

"Atas nama Panglima TNI dan seluruh prajurit TNI, karena kebanggaan kami memberikan kenaikan pangkat luar biasa," kata Gatot seperti diberitakan tvOne, di Kimbeli Distrik, Papua, Minggu, 19 November 2017.

Ia mengatakan, penghargaan kenaikan pangkat ini seharusnya diberikan kepada 62 orang prajurit TNI. Namun, karena lima diantaranya adalah perwira, mereka meminta agar penghargaan tersebut sebaiknya diberikan kepada para anak buah mereka saja.

Kelima perwira TNI yang memimpin operasi tersebut menegaskan keberhasilan dalam operasi ini adalah keberhasilan anak buah mereka. Sementara kegagalan dalam operasi adalah tanggung jawab komandan.
 
Sebagai gantinya, Panglima TNI akan memberikan pendidikan khusus kepada lima perwira TNI yang memimpin operasi ini. Mereka akan mendapatkan pendidikan mendahului rekan-rekan seangkatan mereka.

Nyinyir OPM 

Dibalik kesuksesan TNI-Polri melakukan operasi gabungan untuk menyelamatkan sandera di Tembagapura, Papua. Ternyata, pihak dari TPNPB OPM menilai aksi tersebut tidak adil dan berlebihan.

Juru Bicara OPM, Sebby Sambon dalam surat elektroniknya dari Vanimo Papua Nugini mengatakan militer Indonesia berlebihan menghadapi kelompok bersenjata dan cenderung tidak adil dalam melakukan peperangan.

OPM menyebut militer Indonesia, pertama menggunakan pesawat tanpa awak untuk pemanduan dan foto udara, guna mendapatkan informasi lengkap tentang tempat tinggal atau Markas TPNPB OPM di Tembagapura.

Kedua, pasukan TNI dan Polri yang dikerahkan dalam operasi itu mencapai 5.000 personel. Sehingga OPM mengibaratkan "hanya lawan satu pucuk senjata TPNPB-OPM, namun mengirim 5.000 personel militer dan polisi di Tembagapura."

Pasukan Organisasi Papua Merdeka dengan bendera mereka/Ilustrasi.s

Kelompok bersenjata Papua Merdeka.

Ketiga, OPM menganggap TNI dan Polri melanggar statuta Roma tentang Hukum Humaniter Perang Internasional. “Artinya, perlawanan dalam perang harus seimbang. Yang dimaksud adalah kekuatan pasukan ataupun peralatan perang harus seimbang," kata Sebby.

Atas dasar itu, Sebby memperingatkan bahwa selama perang berlangsung di Tembagapura antara TPNPB OPM dan militer Indonesia, tidak dapat dibolehkan menggunakan mobil, truk, dan bus milik perusahaan ataupun milik rumah sakit. Juga tidak boleh menggunakan mobil Palang Merah Internasional.

“Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat menegaskan bahwa jika pasukan militer dan polisi Indonesia merasa jagoan, tunjukkan sikap kejantananmu dalam dunia perang saat ini di Tembagapura," kata Sebby.

Ia pun menantang TNI-Polri perang tidak menggunakan kendaraan milik perusahaan Freeport, juga tidak menggunakan mobil ambulans, juga tidak mengunakan mobil Palang Merah Internasional, dan tidak melakukan serangan militer dari udara di markas TPNPB-OPM.

Ketidakadilan di Papua Tinggi

Munculnya aksi separatis yang terjadi di Papua berapa waktu terakhir ini, tentu tak lepas dari ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Papua itu sendiri. Terlebih adanya perusahaan besar seperti Freeport dinilai belum memberi manfaat besar bagi warga sekitarnya.

Ketua Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia, Habelino Sawaki menilai masih adanya separatis di bumi Papua akar masalahnya berasal dari keberadaan PT Freeport Indonesia di sana.

OPM menurut dia, memprotes karena keberadaan perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat itu tidak membawa banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Meski, sejumlah infrastruktur fisik dibangun Freeport di sana.

"Memang Freeport sudah membangun sejumlah infrastruktur fisik di sana. Tetapi itu tidak cukup karena masyarakat setempat tak diberdayakan, terutama pada aspek pendidikan," jelasnya.

 Warga yang sempat disandera kelompok kriminal bersenjata di Tembagapura, Timika, Papua, dilaporkan berhasil dibebaskan pada Jumat pagi, 17 November 2017.

Masalah lain, menurut Habelino, keberadaan warga pendatang yang menambang emas di sana, padahal daerah itu adalah kawasan terlarang yang menandakan ada negara yang turut main dan ada aparat yang turut memfasilitasi.

Untuk itu, Habelino memperingatkan Panglima TNI dan Kapolri agar menindak tegas aparatnya yang diduga kongkalikong di tambang emas Tembagapura itu. Soalnya sudah cukup banyak korban jatuh selama ini.

"Kami bisa kok baik-baik dalam negara ini. Tapi jangan selalu kami yang diperalat. Saya orang Papua tapi saya cinta Indonesia,” ujar Habelino. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya