'Sepandai-pandai Melompat, Novanto Jatuh Juga'
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA – “Sepandai-pandai Tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Mungkin peribahasa itu tepat menggambarkan sosok politikus ulung Senayan yang kini tengah menjadi perbincangan hangat di jagat pemberitaan Tanah Air sepekan terakhir ini.
Ya, sepekan ini kabar tentang Ketua DPR Setya Novanto nyaris menghiasi halaman muka hampir di seluruh media massa nasional. Setya Novanto yang kembali ditetapkan sebagai tersangka korupsi KTP elektronik atau e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampil dengan segudang kehebohan, sempat 'menghilang' dan tiba-tiba muncul dengan peristiwa kontroversial.
Status tersangka ini kali ini merupakan status hukum kedua yang pernah disandang Novanto dalam beberapa bulan ini. KPK pernah menetapkan Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada Juli 2017. Namun, status hukumnya dibatalkan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat, 29 September 2017.
Setya Novanto menang, setelah hakim menyatakan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK tidak sah.
Tapi, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP pada Jumat, 10 November 2017. Dalam penyidikan kasus korupsi e-KTP, Novanto masih sama dijerat menggunakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasusnya menarik, bukan semata karena dia adalah seorang publik figur. Tapi, ini adalah kali kedua Novanto jadi tersangka di KPK. Namun, dua kali pula Setya Novanto masuk rumah sakit setelah ditetapkan sebagai tersangka. Kok bisa?
Pada medio September 2017, Novanto beberapa kali mangkir panggilan KPK sebagai tersangka korupsi. Kala itu, ketua umum Partai Golkar itu berdalih sakit vertigo.
Setya Novanto sakit setelah jatuh pingsan saat main tenis meja. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam, Semanggi, hingga akhirnya dirujuk ke RS Premier Jatinegara dengan alasan kondisinya memburuk.
Novanto dirujuk ke RS Premier Jatinegara lantaran selain masih vertigo, ia harus menjalani kateterisasi jantung. Di samping itu, hasil pemeriksaan medis menunjukkan Novanto mengidap penurunan fungsi ginjal dan gangguan keseimbangan usai menjalani kateterisasi jantung. Keluhan berbagai penyakit ini 'muncul' seiring proses praperadilan atas status tersangkanya bergulir di pengadilan.
Foto: Setya Novanto saat dirawat di RS Premier Jatinegara.
Entah kenapa setelah hakim praperadilan Cepi Iskandar membatalkan status tersangkanya di KPK pada Jumat, 29 September 2017, kesehatan Novanto berangsur membaik. Politikus Golkar itu cuma butuh dua hari sejak dinyatakan menang praperadilan untuk siuman.
Pada Senin, 2 Oktober 2017 malam, Novanto meninggalkan RS Premier Jatinegara, setelah hampir dua pekan dirawat di sana.
Sepekan di rumah setelah dirawat di rumah sakit, Novanto mulai menampakkan batang hidungnya. Ia memimpin rapat pleno di Kantor DPP Golkar Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta Barat, Rabu 11 Oktober 2017. Sejak status hukumnya gugur di praperadilan, Novanto makin percaya diri tampil ke publik, memimpin rapat di DPR dan kunjungan ke daerah.
Hingga akhirnya KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka, sepekan lalu. Kubu Setya Novanto rupanya mulai menyusun siasat, perang opini dimulai. Melalui kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi, mantan ketua Fraksi Golkar ini melancarkan serangan balik ke KPK.
Dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang dilaporkan ke Bareskrim Polri karena tuduhan tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam jabatan dan penyalahgunaan wewenang. Pelaporan ini dilakukan tak lama setelah lembaga antirasuah itu menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka. Kasusnya masih diselidiki polisi.
Kendati dua pimpinannya dilaporkan, KPK sama sekali tak mengendurkan penyidikan kasus e-KTP yang menyeret nama ketua DPR RI itu. Novanto diketahui mulai berulah sejak menang di praperadilan dan dinyatakan sebagai tersangka untuk kedua kalinya. Ya, ketua umum Partai Golkar itu selalu mangkir panggilan KPK.
Terhitung 11 kali KPK memanggil Novanto sejak jadi tersangka pertama kali maupun sebagai saksi dan tersangka baru kasus e-KTP, tapi hanya tiga kali Novanto bersedia hadir. Novanto tercatat sudah delapan kali mangkir dari panggilan pemeriksaan lembaga antirasuah itu, entah diperiksa sebagai saksi maupun sebagai tersangka.
Geram dengan ulah Novanto, KPK langsung menerbitkan surat perintah penangkapan Setya Novanto, dengan menyambangi kediamannya di Jalan Wijaya XIII No.19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu malam, 15 November 2017. Sayang, hingga pukul 02.00 WIB Kamis dini hari, 16 November 2017, keberadaan Novanto masih nihil. Novanto 'menghilang' sebelum rumahnya didatangi tim KPK.
"Kami harapkan kalau ada iktikad baik, (Novanto) menyerahkan diri ke kantor KPK, proses hukum akan berjalan baik," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah pada Kamis, 16 November 2017, dini hari. KPK sempat mengancam untuk meminta bantuan Polri agar memasukkan nama Setya Novanto ke dalam daftar pencarian orang (DPO), bila dalam waktu 1 x 24 jam, politikus Golkar itu tak kunjung menyerahkan diri. [Baca: Setya Novanto, Celaka atau Sandiwara?]
***
Perlawanan Novanto
Sebelum dikabarkan menghilang saat kediamannya disambangi penyidik KPK, kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi kembali mengatur siasat agar kliennya tak diperiksa KPK. Mulai dari menulis surat yang berdalih Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebelum KPK minta izin tertulis Presiden untuk bisa memeriksanya dalam penyidikan.
Izin tertulis dari Presiden itu sesuai dengan Pasal 245 UU MD3 yang mengatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dengan izin MKD, tapi pada September 2015, Putusan MK Nomor 76/PUU XII/2014 menegaskan bahwa izin itu bukan dari MKD melainkan dari Presiden.
Dalam surat yang dikirimkan ke KPK, Novanto juga menyatakan KPK tidak berhak memeriksa Setya Novanto karena sebagai anggota dewan memiliki hak imunitas. Mereka merujuk Pasal 20A huruf (3) UUD 1945 tentang hak Imunitas Anggota DPR, dan Pasal 80 huruf h Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Anggota Dewan terkait imunitas.
Upaya lain lagi, kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi mengatakan bahwa Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) memutus uji materinya mengenai kewenangan KPK. Pihak kuasa hukum Novanto menggugat dua pasal dalam UU KPK, yakni Pasal 46 Ayat 1 dan 2, serta Pasal 12 dalam UU KPK.
Fredrich memastikan bahwa selama belum ada keputusan, baik dipanggil selaku tersangka, maupun dipanggil selaku saksi, kliennya tak akan memenuhi pemeriksaan penyidik.
"Ini kan yang bikin surat kantor pengacara saya. Alasannya adalah kami sudah mengajukan JR (judicial review atau uji materi) di MK. Jadi menunggu hasil keputusan dari JR," kata Fredrich, Rabu, 15 November 2017.
Di samping itu, kubu Novanto ternyata sudah mendaftarkan gugatan praperadian atas status tersangka keduanya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Humas PN Jaksel, Made Sutrisna membenarkan perihal pendaftaran kembali praperadilan ketua umum Partai Golkar tersebut. Gugatan itu didaftarkan pada Rabu, 15 November 2017.
"Sidang pertama Kamis 30 November," kata Humas PN Jaksel Made Sutrisna kepada VIVA, di Jakarta, Kamis malam, 16 November 2017. Wakil Ketua PN Jakarta Selatan, Kusno, ditunjuk sebagai majelis hakim yang menangani kasus tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, KPK yakin bahwa untuk memeriksa Novanto dalam perkara korupsi tak perlu izin Presiden. Kemudian, terkait hak imunitas anggota DPR juga dinilai mengada-ada, tak relevan untuk kasus korupsi. Presiden Joko Widodo juga sudah merespons soal ini. Jokowi menyerahkan semuanya pada aturan yang berlaku.
"Buka undang-undangnya semua. Buka undang-undangnya. Aturan mainnya seperti apa, di situ lah diikuti," kata Presiden Jokowi usai membuka kongres ke-20 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Manado, Rabu 15 November 2017. [Baca: ‘Drama’ Setya Novanto Mirip Cerita Warkop DKI?]
Sementara itu, untuk gugatan uji materi UU KPK di MK maupun sidang praperadilan yang sudah diajukan kubu Novanto, KPK menegaskan tak pernah khawatir dengan langkah kuasa hukum ketua DPR RI itu. Bahkan, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan KPK punya strategi baru untuk mematahkan gugatan kubu Setya Novanto di pengadilan nanti.
"Tapi enggak perlu dibuka saat ini (strateginya)," kata Agus di Gedung KPK, Kamis, 16 November 2017. KPK berharap seluruh proses pengungkapan kasus korupsi e-KTP bisa dibawa ke persidangan, agar bisa diuji lebih lanjut substansi materi perkaranya, dan fokus pada pengembalian kerugian negara akibat proyek e-KTP.
***
Ditahan KPK
Bagaimana pun, upaya keras penyidik KPK untuk menangkap Setya Novanto akhirnya membuahkan hasil. Meski sempat kehilangan jejak Novanto setelah menyambangi kediamannya Rabu malam lalu, penyidik justru mendapat kabar Novanto mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju ke salah satu studio televisi swasta di Jakarta Barat.
Entah kebetulan atau tidak, mobil Toyota Fortuner bernomor polisi B 1732 ZLO yang membawa Setya Novanto dikabarkan menabrak tiang lampu jalanan di sekitar Permata Berlian, Jakarta Selatan. Padahal, saat itu Setya Novanto mengklaim akan langsung menyerahkan diri ke KPK, usai wawancara dengan salah satu media televisi swasta.
Foto: Mobil yang ditumpangi Setya Novanto menabrak tiang listrik.
Novanto dikabarkan mengalami luka di bagian kepala dan dilarikan ke RS Medika Permata Hijau. "Saya mendapatkan kabar dari ajudan, 'Pak, Bapak kecelakaan, kaca kanan kiri pecah, pingsan'. Langsung dibawa ke sini, ke ICU perlu MRI," kata pengacara Novanto, Fredrich Yunadi saat dikonfirmasi Kamis malam, 16 November 2017.
Setelah sempat dirawat semalam di RS Medika Permata Hijau, Setya Novanto akhirnya dipindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada Jumat siang, 17 November 2017. Kepindahan Novanto berdasarkan pertimbangan medis dan tentunya dengan pengawalan penyidik KPK. Karena sejak saat itu, Setya Novanto sudah resmi berstatus tahanan KPK.
"Setelah ada rundingan dipindahkan karena alasan medis, tiba-tiba KPK mengeluarkan surat bahwa Pak SN telah ditahan," kata Fredrich, Jumat, 17 November 2017. [Baca: Melihat Kedekatan Hilman dan Setya Novanto]
Pejabat internal KPK saat dikonfirmasi, mengakui Novanto sudah berstatus tahanan. Namun, dibantarkan atau ditangguhkan penahanannya karena kepentingan medis. Surat penahanan Novanto sudah diterbitkan Jumat hari ini, 17 November 2017.
"Surat penahanan diterbitkan hari ini, tapi dibantar untuk dirawat," kata pejabat tersebut di kantor KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan, pembantaran dilakukan karena tim dokter perlu melakukan observasi terhadap kondisi kesehatan tersangka korupsi proyek e-KTP tersebut pasca kecelakaan Kamis, 16 November 2017.
"Menurut hasil pemeriksaan di RSCM sampai hari ini masih dibutuhkan perawatan lebih lanjut atau rawat inap, maka KPK melakukan pembantaran terhadap tersangka SN," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 17 November 2017.
Menurut Febri, selama masa pembantaran penahanan ini, perawatan Novanto di RSCM akan dijaga tim KPK dibantu kepolisian. Meskipun jam besuk disesuaikan kebijakan rumah sakit, Febri memastikan, pihak yang ingin menjenguk Novanto harus seizin KPK, sebagaimana perlakuan terhadap tersangka yang ditahan di Rutan.
"Siapa saja yang mendatangi tersangka harus seizin KPK," tuturnya.
KPK, lanjut Febri, sudah berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait penanganan medis Setya Novanto di RSCM. IDI menjamin soal profesionalitas dokter-dokter yang menangani Setya Novanto di RSCM.
Apalagi saat ini, pengawasan Novanto sudah berada di tangan penyidik KPK, lantaran statusnya sebagai tahanan KPK yang sedang dibantarkan.
"Pihak IDI mengatakan percaya dengan profesionalitas dokter-dokter RSCM yang tentu merupakan anggota IDI juga yang menangani proses perawatan medis tersangka (Setya Novanto) saat ini," terang Febri.
Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi mengaku keberatan dengan penahanan kliennya oleh KPK. Menurut dia, KPK tak punya alasan menahan kliennya sebagai tersangka kasus e-KTP. Di samping itu, KPK tak bisa menahan kliennya karena tengah terbaring sakit dan tak bisa dijemput paksa oleh penyidik.
"Undang-undang mana yang menyatakan KPK punya wewenang menahan orang dengan keadaan sakit, kan belum pernah diperiksa," ujar Fredrich di RSCM Kencana, Jakarta, Jumat malam 17 November 2017.
Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Narogong, serta dua mantan pejabat Kemendagri, Irman, dan Sugiharto diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain dan korporasi dengan cara menyalahgunakan wewenangnya, sehingga menyebabkan keuangan negara dari proyek e-KTP dirugikan senilai Rp2,3 triliun.
KPK menduga, Novanto bersama Andi Narogong mengatur proyek sejak proses penganggaran, hingga pengadaan e-KTP. Dalam surat dakwaan Andi Narogong, Setya Novanto dan Andi Narogong disebut menerima keuntungan pribadi dalam proyek e-KTP sebesar Rp574,2 miliar. Novanto terancam hukuman penjara seumur hidup.