Dikecewakan Justice League
- Warner Bros
VIVA – Rilisnya Justice League hanya selang beberapa pekan setelah Thor: Ragnarok, film adaptasi komik Marvel yang berhasil mendominasi box office sejak ditayangkan pada 26 Oktober 2017. Justice League menjadi sajian pamungkas DC Films untuk tahun ini.
Film berdurasi 170 menit yang diproduksi Warner Bros Picture itu merupakan film kelima dalam DC Extended Universe (DCEU).
Sayang, film yang digadang-gadang kesuksesannya bakal sebesar The Avengers ini justru memiliki plot lemah dan efek yang terkesan murahan. Tak heran rating sementara di Rotten Tomatoes pada Jumat malam, 17 November 2017 hanya 5,2 dari 10.
Padahal, bujet produksinya terbilang fantastis, diperkirakan mencapai US$300 juta atau lebih dari Rp4 triliun. Dengan dana sebesar itu, Justice League di tangan sutradara Zack Snyder menjadi salah satu film termahal yang pernah dibuat.
Justice League menceritakan tim pahlawan super DC yang terdiri atas Bruce Wayne/Batman (Ben Affleck), Diana Prince/Wonder Woman (Gal Gadot), dan sejumlah pendatang baru, seperti Arthur Curry/Aquaman (Jason Momoa), Victor Stone/Cyborg (Ray Fisher), dan Barry Allen/The Flash (Ezra Miller).
Bersama-sama, kelima superhero ini dikisahkan berjuang keras melawan iblis dari dimensi lain, Steppenwolf (Ciaran Hinds), di tengah-tengah absennya Clark Kent/Superman (Henry Cavill), yang dikisahkan tewas di akhir film Batman v Superman: Dawn of Justice (2016).
Babak Belur Dikritik
Lagi-lagi DC babak belur dalam dunia film mereka sendiri. Sebelumnya, Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice, dan Suicide Squad (2016) gagal mendapat pujian dari kritikus film. Hanya Wonder Woman (2017) yang berhasil sukses di daftar box office dan dipuji penonton sekaligus kritikus.
Setelah kesuksesan Wonder Woman, Justice League sebenarnya menjadi film DC yang sangat diantisipasi penggemar. Ini dianggap sebagai momentum yang tepat untuk meningkatkan pamor dan memperbaiki citra film DC, agar layak disandingkan dengan film-film Marvel yang nyaris selalu mendulang kesuksesan besar.
Publik memang telanjur mencap film yang diadaptasi dari DC Comics cenderung lebih serius, kelam, kejam, penuh kekerasan, dan kompleks dibandingkan film-film Marvel. Hal ini bisa jadi dikarenakan popularitas yang diraih film Batman terdahulu, yang gelap, penuh dengan kejahatan brutal, namun epik dan fantastis di tangan sutradara Chistopher Nolan.
Di film Justice League, kesan kelam berubah dengan cepat setelah latar tempat bergeser dari Gotham City yang hanya muncul di 10 menit pertama. Ini merepresentasikan masalah terbesar dalam film secara keseluruhan. Justice League dinilai kurang memiliki koherensi antara narasi, tampilan, tone, dan gaya.
"Film ini bahkan tidak bisa memutuskan bagaimana harus menceritakan awal mula alur ceritanya. Mereka malah menampilkan lima adegan perkenalan, termasuk di mana Bruce Wayne yang sedang mencari Aquaman di Islandia, Wonder Woman melawan serangan teroris di London, Inggris dan pemakaman Superman yang ditampilkan dalam adegan slow motion," ujar Robbie Collin, kritikus film, dikutip dari The Telegraph, Jumat, 17 November 2017.
Kisah perkenalan pahlawan-pahlawan supernya juga ditampilkan sebagai elemen-elemen terpisah yang dijahit menjadi satu kesatuan. Perkenalannya tidak terasa mengalir. Tak heran jika penonton merasa asing terhadap beberapa karakter superhero di film tersebut, yang kebanyakan memang pendatang baru dan belum punya film sendiri.
Apalagi bagi karakter yang background story-nya tidak kuat. Jadi tak terasa adanya excitement saat para superhero itu akhirnya membentuk tim untuk melawan musuh.
Justice League juga benar-benar menjadi film superhero tipikal DC yang penuh dengan 'pidato' soal tanggung jawab, keadilan, dan sebagainya, dibalut dengan rangkaian adegan aksi, yang kebanyakan bergantung pada efek Computer Generated Imagery (CGI) yang terlalu berat dan kasar. Untuk film besutan sutradara se-inventif Snyder, film ini dinilai terlalu membosankan.
Sejumlah media asing juga memberikan review buruk terhadap film dengan kategori penonton PG-13 tersebut. The Telegraph bahkan mengatakan bahwa Justice League benar-benar memalukan bagi para pahlawan supernya. Saking memalukannya sampai-sampai tak bisa diselamatkan. Mereka memuat review film ini dengan judul ‘DC's Superhero Embarrassment Is Beyond Saving’.
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh The Washington Post. Menurut mereka, semua orang yang terlibat dalam pembuatan Justice League dan para penonton layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Syuting Ulang
Kesan kehilangan arah yang menempel pada Justice League mungkin juga karena ditinggal sang sutradara, Zack Snyder di tengah jalan lantaran peristiwa tragis yang menimpa keluarganya. Anak perempuannya yang berusia 20 tahun bunuh diri pada Maret 2017.
Itu lantas membuat Snyder menunjuk Joss Whedon, sutradara film The Avengers pertama dan kedua, untuk menyupervisi seluruh proses editing. Bukan cuma itu, beberapa adegan bahkan harus ditulis dan disyuting ulang, meski hingga kini tak disebutkan adegan mana yang dirombak. Hal tersebut yang kemudian mengakibatkan bengkaknya bujet produksi.
Kabarnya, Whedon lah yang memutuskan untuk menambah unsur-unsur komedi dalam film ini dengan melakukan proses syuting ulang di beberapa adegan. Meski tak bisa berbuat banyak, unsur komedi itu dianggap para kritikus sebagai bagian yang paling kuat dalam Justice League.
"Namun, apa pun alasan-alasannya, hasil akhirnya adalah film gagal, dibalut dalam CGI buruk dan kesan yang mudah dilupakan. Anda tak bisa membayangkan berapa kali adegan film harus ditulis dan disyuting ulang untuk menyelamatkannya," ujar Collin.
Snyder sebelumnya pernah membuat beberapa film berkualitas. Salah satunya adalah remake Dawn of the Dead (2004) yang sukses menjadi film horor remake terbaik di awal tahun 2000-an.
Lebih Tepat Disebut Injustice League
Judul boleh Justice League, tapi film ini juga dikritik tak adil pada bintang-bintangnya. Banyak yang menganggap, film tersebut menyia-nyiakan talenta para aktor dan aktris yang bermain di dalamnya.
"Saya tak dapat mempercayai betapa banyaknya aktor-aktor bertalenta dan terkenal yang tidak melakukan apa-apa. Ini adalah dosa terbesar Justice League," ujar penulis film, Scott Meslow, dikutip dari GQ.
Aktor-aktor tersebut antara lain, Ciaran Hinds, pemeran antagonis, Steppenwolf yang secara fisik penampilannya dipoles menggunakan CGI yang kurang bagus dan Amy Adams, yang notabene merupakan peraih lima nominasi Oscar. Begitu juga dengan Diane Lane, aktris senior pemeran ibu angkat Superman yang hanya menjadi cameo.
Amber Heard juga hanya tampil sekian menit sebagai ratu kaum Atlantis yang dikisahkan terlibat argumen dengan Aquaman. Willem Dafoe bahkan hampir tampil sebagai cameo di adegan tersebut. Jeremy Irons, pemeran Alfred Pennyworth yang pernah meraih piala Oscar dan dua piala Golden Globes juga diceritakan membantu Batman dari belakang komputernya saja.
Michael McElhatton, yang terkenal lewat perannya di serial TV terkenal Game of Thrones (GoT) sebagai Roose Bolton hanya dijadikan seorang perampok bank tanpa nama, yang kemudian dikalahkan secara cepat oleh Wonder Woman. Belum lagi J.K Simmons, pemeran Gordon yang juga merupakan aktor senior yang perannya dianggap tidak begitu penting.
Diselamatkan Wonder Woman
Untungnya, penonton sudah sangat akrab dengan karakter serta background story Wonder Woman yang kuat lewat dua film DC sebelumnya. Dia merupakan benang merah yang membuat jalan cerita film mudah dipahami. Ditambah pesona dan pembawaannya, Gal Gadot bisa dibilang menjadi penyelamat film ini.
Jason Momoa, yang dikenal sebagai Khal Drogo di serial GoT juga dianggap sukses memerankan Aquaman. Ia dinilai cukup kharismatik dan pantas menjadi seorang pemimpin. Sesuatu yang dianggap banyak orang tak dimiliki oleh tokoh Batman, apalagi sejak diperankan oleh Ben Affleck.
Selain Wonder Woman, Ezra Miller, pemeran The Flash juga disebut-sebut sedikit menyelamatkan film ini. Miller yang sebelumnya membintangi Fantastic Beasts and Where to Find Them itu dianggap berhasil membawakan sedikit unsur komedi.
Miller sebagai Barry Allen (nama asli The Flash) disebut memancarkan sisi humanis. Ia digambarkan sebagai pria yang tidak melihat dirinya sebagai seorang pahlawan super, melainkan anak muda biasa yang berambisi membuat sang ayah yang ada di penjara merasa bangga.
Ia juga beberapa kali mengekspresikan ketakutannya menghadapi musuh dan melontarkan candaan-candaan. Meski ada yang mengatakan humor tersebut garing, namun tak sedikit yang menganggapnya sebagai penawar kebosanan penonton.
Ada juga kritikus yang mengatakan bahwa Justice League memang di bawah ekspektasi, namun tidak seburuk Batman v Superman: Dawn of Justice.
"Film ini tidak sempurna dengan begitu banyak detail dan keterbatasan karakter. Namun, secara keseluruhan saya menikmatinya," ucap Leonard Maltin.
"Sebuah kemajuan dari buruknya Batman v Superman: Dawn of Justice dan konyolnya Suicide Squad. Mungkin film ini pemborosan bujet, tapi tetap saja ini adalah suatu kemajuan," kata Rob Hunter.
IMDb juga memberi rating 7,8 dari 10. Banyak koresponden mereka yang masih menganggap film ini layak untuk disaksikan, apalagi jika Anda adalah penggemar film pahlawan super DC.
Pada akhirnya, mengkritik adalah tugas para kritikus. Anda boleh setuju atau tidak setuju. Yang pasti, tonton dulu filmnya. (art)