Empat Pahlawan Nasional, dari Daerah untuk Negara
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA – Empat nama disahkan sebagai Pahlawan Nasional RI pada 2017. Keempatnya berasal dari daerah, menyisihkan nama Gus Dur, Soeharto, dan AR Baswedan.
Sehari sebelum peringatan Hari Pahlawan Nasional 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan empat nama yang disahkan sebagai Pahlawan Nasional RI. Pengesahan itu dilakukan di Istana Negara, Kamis, 9 November 2017 dalam sebuah upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2017.
Melalui Keppres Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Presiden RI Joko Widodo menetapkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid tokoh asal Nusa Tenggara Barat (NTB), Laksamana Malahayati (Keumalahayati) dari Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan Lafran Pane (Yogyakarta) sebagai pahlawan nasional.
Penganugerahan ini tak serta merta. Ada proses yang dilalui oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) melalui verifikasi, penelitian, dan pengkajian melalui seminar, diskusi, juga sarasehan. Artinya, nama itu tak serta merta muncul, namun melalui berbagai pertimbangan, terutama terkait kontribusinya pada publik.
Prosedur dan syarat pemberian gelar pahlawan nasional telah diatur dalam UU Nomor 20/2009. Undang-undang itu menyebutkan, ada dua kategori peraih gelar pahlawan, yakni umum dan khusus.
Untuk gelar pahlawan khusus adalah berprestasi di bidang sosial, seni, budaya, agama, atau lingkungan, atau pernah memimpin perjuangan bersenjata dan politik untuk merebut kemerdekaan bangsa.
Menurut Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, dengan pemberian gelar pada empat orang tersebut, saat ini sudah ada 173 orang yang mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Sebanyak 173 orang itu terdiri atas 160 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Tak hanya berasal dari kalangan warga sipil, namun juga dari TNI dan Polri.
Sebelumnya, ada sembilan nama yang diajukan ke Presiden Jokowi untuk dipilih sebagai pahlawan nasional. Ada beberapa nama seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hingga diplomat yang juga kakek Gubernur DKI Anies Baswedan, AR Baswedan.
Tapi, Presiden Jokowi hanya menetapkan empat nama. Nama-nama itu diusulkan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat yang berada di bawah koordinasi Kementerian Sosial.
Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, tak bisa memberikan penjelasan mengapa hanya ada empat yang dipilih. "Mohon maaf mensos tidak pada posisi berwenang menjawab. Kemensos tugasnya memfasilitasi tim TP2GP (Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat) sampai rekomendasi tim untuk diteruskan kepada Presiden," kata Khofifah, Kamis 9 November 2017.
Mutlak Hak Presiden
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mengatakan, keputusan untuk menetapkan Pahlawan Nasional RI memang di tangan Presiden. Tapi, Presiden mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi, jadi tak bisa seenak hati.
“Mereka yang tak bisa ditetapkan bukan tak memenuhi syarat, tapi pasti ada pertimbangan khusus lainnya, sehingga Presiden memilih empat nama tersebut,” ujarnya kepada VIVA yang menghubunginya melalui sambungan telepon, Kamis, 9 November 2017.
Ia mencontohkan Gus Dur. Menurut Asvi, Gus Dur sangat layak menjadi pahlawan nasional. Tapi, ada juga yang mengusulkan Soeharto.
Jika Gus Dur ditetapkan jadi pahlawan nasional, dan Soeharto tidak, bisa menimbulkan gejolak. “Karena masa kepemimpinan Gus Dur lebih singkat, sedangkan Soeharto memimpin selama 32 tahun,” ujar Asvi.
Asvi menambahkan, bagi warga NU, Gus Dur sudah lebih dari pahlawan nasional, tapi wali. “Jadi bagi warga NU, pahlawan nasional atau tidak, Gus Dur akan selalu menjadi pahlawan untuk mereka,” tuturnya.
Menurut Asvi, pemilihan pahlawan nasional memang politis. Jadi, wajar jika setiap provinsi diberi kesempatan untuk ada satu pahlawan nasional dari wilayahnya. Apalagi, ujar Asvi, nyaris setiap provinsi di Indonesia memiliki tokoh yang dibanggakan publik setempat.
Asvi menjelaskan, memilih Tuan Guru dari NTB sebagai pahlawan nasional sangat benar, sebab belum ada pahlawan nasional yang disahkan dari provinsi tersebut.
Untuk Laksamana Malahayati, ia juga sangat sepakat, karena dari 169 pahlawan nasional tahun lalu, hanya ada 12 perempuan yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
“Jumlah perempuan sangat kurang, padahal banyak sekali perempuan yang berjasa pada negeri ini,” ujarnya.
Asvi berharap, masih ada lagi pahlawan perempuan yang ditetapkan. Ia merujuk nama Rohana Kudus, tokoh pendidikan dan tokoh pers dari Sumatera Barat.
Asvi memaklumi jika Presiden memiliki pertimbangan sendiri sebelum memutuskan, karena itu adalah hak kepala negara. Tapi, ia menjamin, Presiden tak akan bisa subjektif dalam mengambil keputusan. Sebab nama-nama itu dipilih berdasarkan usulan dari tim.
“Saya yakin, nama AR Baswedan tidak ditetapkan bukan karena dia kakeknya Anies Baswedan. Tapi, nama Lafran Pane, yang pendiri Himpunan Mahasiswa Islam dan dari Yogyakarta, dianggap lebih tepat untuk kondisi saat ini,” ia menerangkan.
Jadi, ujar Asvi, pertimbangan politis, kelayakan, dan pertimbangan rasional lebih didahulukan oleh Presiden sebelum mengambil keputusan.
Kontribusi Empat Pahlawan
Penjelasan mengenai layaknya seseorang menjadi pahlawan nasional disampaikan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Hartono Laras.Ia mengatakan, ada syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum akhirnya tokoh tersebut diputuskan memperoleh gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden.
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid
Hartono Laras menjelaskan, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid lahir di Nusa Tenggara Barat 19 April 1908 dan wafat pada 21 Oktober 1997. “Ia dipilih karena merupakan seorang nasionalis pejuang kemerdekaan, da'i, ulama, dan tokoh pendidikan emansipatoris,” ujar Hartono.
TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid juga merupakan pendiri organisasi Islam Nahdlatul Wathan. Organisasi ini menjadi organisasi Islam terbesar di Lombok yang memberikan perhatian kepada pendidikan dan agama.
Bagi warga Nusa Tenggara Barat, menurut Asvi, ini adalah pertama kalinya pemerintah Indonesia menetapkan pahlawan nasional dari wilayah ini. “Dan ini pasti akan sangat membanggakan warga NTB,” ujarnya.
Laksamana Malahayati
Gelar pahlawan nasional juga diberikan kepada Laksamana Malahayati yang merupakan tokoh pejuang asal Nanggroe Aceh Darussalam. Malahayati lahir pada 1550 dan wafat pada 1615. Ia dimakamkan di Krueng Raya, Aceh Besar.
“Malahayati adalah laksamana perempuan pertama dari Aceh. Ia membentuk pasukan "Inong Balee" yang berisi para janda prajurit Aceh yang mahir menembakkan meriam dan menunggang kuda,” kata Hartono.
Pada 1559, Malahayati memimpin armada laut berperang melawan Belanda dan berhasil menewaskan Cornelis De Houtman. Di tahun 1606, Malahayati bersama Darmawangsa Tun Pangkat (Sultan Iskandar Muda) berhasil mengalahkan armada laut Portugis.
Nama Malahayati juga telah diabadikan sebagai nama kapal perang jenis perusak kawal berpeluru kendali kelas Fatahillah milik TNI AL dengan nomor lambung 362.
Sultan Mahmud Riayat Syah
Sultan Mahmud Riayat Syah, asal Kepulauan Riau, karena lahir di Sulu Sungai Riau Agustus pada 1760 dan wafat 12 Januari 1812. Pada rentang 1782 hingga 1784, Sultan berhasil mengalahkan Belanda yang ingin menanamkan pengaruhnya di Riau dalam Perang Riau I. Kapal Komando Belanda Malaka's Walvaren berhasil diledakkan.
Pada 1784, Sultan kembali memimpin perang melawan Belanda yang dipimpin Pieter Jacob van Braam di Tanjung Pinang. Sultan Mahmud menolak ajakan Belanda untuk berdamai dan menerapkan strategi gerilya laut untuk mengacaukan perdagangan Belanda di Selat Melaka dan Kepulauan Riau.
Tahun 1811, Sultan Mahmud mengirimkan bantuan kapal perang lengkap guna melawan ekspansi Belanda ke Sumatera Timur, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.
Asvi Warman sepakat dengan pengangkatan Sultah Mahmud. Menurutnya, pengangkatan ini menguatkan Kepri sebagai provinsi yang memiliki pahlawan yang berkontribusi nasional.
“Sebelumnya memang pernah ada gelar pahlawan. Tapi, saat itu Kepri masih di bawah Provinsi Riau, belum menjadi provinsi sendiri, sehingga pahlawan nasional itu lebih terasa miliki Riau. Namun, dengan pengangkatan Sultah Mahmud, maka Kepri memiliki pahlawan sendiri,”ujar Asvi.
Prof. Drs. Lafran Pane
Tokoh terakhir yang diberikan gelar adalah Lafran Pane, asal Yogyakarta. Lafran Pane lahir di Sipirok 12 April 1923 dan wafat di Yogyakarta 24 Januari 1991. Lafran Pane dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda dan memprakarsai pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.
Dalam perjalanannya, HMI secara konsisten menolak gagasan Negara Islam yang digagas oleh Maridjan Kartosoewiryo, pendiri gerakan Darul Islam. Lafran Pane menjadi salah satu tokoh utama penentang pergantian ideologi negara dari Pancasila menjadi komunisme.
Nama Lafran Pane sangat abadi bagi anggota HMI maupun alumninya yang bergabung dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam atau KAHMI.
Pemilihan Lafran Pane, menurut Asvi adalah sebuah langkah politis yang tepat. Jumlah anggota HMI dan KAHMI yang besar dan tersebar di seluruh Indonesia, dan mereka akan sangat berbangga dengan penunjukan Lafran Pane sebagai pahlawan nasional. (art)