Menyoal Ide Motor Kembali ke Jalan Protokol
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Rambu larangan sepeda motor tampak di beberapa lokasi di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat hingga Bundaran HI. Ada yang berupa gambar sepeda motor diberi garis merah. Ada juga tanda panah ke kiri atau kanan yang dicoret dengan dilengkapi keterangan: “Khusus Sepeda Motor Pukul 06.00-23.00”.
Sejak 17 Desember 2014, sepeda motor dilarang melintas dari Monas sampai Bundaran HI. Penerapan aturan itu berlandaskan pada Peraturan Gubernur Nomor 141 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor. Pergub lahir di era mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dengan tujuan mengurangi kemacetan di kawasan tersebut.
Kini, setelah Ahok lengser, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengubah aturan tersebut. Dia ingin mengakomodasi sepeda motor agar bisa kembali melintas di jalan protokol. Dia mau setiap wilayah di DKI Jakarta bisa diakses oleh seluruh warga, baik pengendara roda dua, roda empat atau lebih.
Wacana itu lantas diusulkan dimasukkan dalam perencanaan Jalan Sudirman-Thamrin ke depan. Sebab, dalam pemaparan Dinas Perhubungan sebelumnya, kendaraan roda dua tidak masuk dalam perencanaan tersebut. Hal itu lantaran sepanjang jalan tersebut akan dipasangi Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar elektronik. "Nah saya sampaikan buat desainnya, memasukkan kendaraan roda dua," kata Anies di Balai Kota, Jakarta, Selasa, 7 November 2017.
Rencana itu dibuat guna menyelamatkan 500 ribu pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di kawasan tersebut. Para pedagang membutuhkan akses untuk mengangkut barang-barang mereka. Penggunaan sepeda motor lantas menjadi pilihan lantaran dinilai lebih murah dan efisien.
"Jadi berdasarkan pantauan big data, analisis dari big data, dampak yang dirasakan untuk aksesibilitas di jalan protokol itu, khususnya perkantoran dan area komersial itu sangat besar," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, Rabu, 8 November 2017.
Usulan kebijakan Anies-Sandi didukung Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) M Taufik. Bagi politisi Partai Gerindra, penyebab kemacetan di Jakarta sebenarnya adalah mobil, bukan sepeda motor. Sejak dulu, dia telah menolak pelarangan sepeda motor di jalan protokol. Dia menilai tidak ada kajian matang untuk melarang sepeda motor di Sudirman- Thamrin. "Ya perlu di atur lah itu mobil. Saya pikir perlu dilakukan kajian oleh gubernur yang baru ini, lakukan lah kajian berkaitan dengan management traffic," ujarnya.
Namun, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi punya pendapat berbeda. Dia tak setuju motor diizinkan melintas di jalan protokol. Kebijakan tersebut dinilai sama saja merusak upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum. “Kita kan menekan masyarakat beralih ke situ (transportasi umum). Tapi kalau itu dilepas akhirnya kesemrawutan di protokol Jakarta terlihat," ujarnya.
Pras meminta Anies mengkaji rencananya itu secara mendalam dan tak cuma asal membela pemotor. Hal yang juga harus diketahui Anies, menurut dia, kawasan Sudirman-Thamrin merupakan jalan protokol dan banyak dilalui tamu negara dan orang-orang penting. Ia akan coba memberikan pandangan terkait beberapa dampak negatif yang akan terjadi apabila wacana tersebut direalisasikan.
Kemunduran Kebijakan
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono pun mengingatkan Gubernur Anies untuk memerhatikan kebijakan-kebijakan induk, baik yang dimiliki pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI, dalam membuat sebuah aturan baru.
Menurut dia, pemerintah pusat tidak akan mengintervensi proses pembuatan kebijakan lokal yang menjadi wewenang pemerintah daerah. Tapi, setiap kebijakan yang dibuat pemerintah daerah, harus senantiasa sejalan dengan kebijakan-kebijakan lain yang lebih umum.
Pencabutan aturan bisa dilakukan jika aturan justru dirasa membuat kawasan jalan protokol kembali macet. "Ketika (kebijakan) gubernur kemudian 'menabrak' kepentingan strategis nasional maka Mendagri (Tjahjo Kumolo) akan membatalkan peraturan tersebut," katanya kepada VIVA, Rabu, 8 November 2017.
Mekanisme pencabutan aturan tersebut dilindungi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ketentuan itu juga dipayungi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Soni, sapaan Sumarsono, berharap Anies selalu memerhatikan dokumen-dokumen perencanaan makro pembangunan Jakarta yang selalu berkembang, pada masa kepemimpinan setiap gubernur DKI Jakarta. Dengan demikian, kebijakan baru yang dikeluarkan Anies tidak malah menimbulkan dampak kemunduran.
Jika kebijakan membolehkan motor ke jalan protokol jadi diterapkan, menurut Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga, hal itu merupakan suatu kemunduran. "Jelas kebijakan itu bukan hal yang tepat. Kalau itu yang dilakukan berarti itu sebenarnya merupakan suatu kemunduran dari kebijakan Pemda DKI," katanya kepada VIVA, Kamis, 9 November 2017.
Sebab, kebijakan itu bertentangan dengan konsep transportasi berkelanjutan, di mana warga suatu kota didorong untuk menaiki transportasi umum, terlebih untuk daerah protokol. Sebenarnya, untuk aktivitas di dalam kota, warga didorong untuk berjalan kaki dalam jarak dekat dan menggunakan angkutan umum untuk jarak jauh. Semakin ke pusat kota, warga didorong untuk menggunakan transportasi publik.
Bila tujuannya untuk memberikan keadilan kepada seluruh warganya, hal tersebut perlu dikoreksi. Sebab, jika memberikan keadilan kepada warga, semestinya gubernur memihak kepada warga yang paling lemah, yakni para pejalan kaki. "Keadilan itu harus memihak yang paling lemah. Pejalan kaki dan pengguna transportasi umum karena mereka yang paling rentan terhadap ancaman kecelakaan lalu lintas," ujar Nirwono.
Kontroversi Warga
Soal rencana kebijakan Anies-Sandi itu, suara warga terbelah. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Martin Sidabutar (25), pegawai swatsa di kawasan Thamrin, misalnya. Dia mendukung Anies menghapus larangan motor itu.
Dengan dihapuskannya kebijakan tersebut, membuat dia tidak harus bersusah payah lagi untuk mencapai kantornya. Sebab, sejak diberlakukan kebijakan itu, ia harus menempuh jalan memutar untuk sampai ke kantornya. "Selama ini jarak tempuh saya selalu lama. Bensin lebih banyak keluar," katanya ketika ditemui di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, Kamis, 9 November 2017.
Adapun Chandra Purnomo (30), warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, menentang rencana Anies-Sandi. Menurut dia, wacana itu merupakan blunder. Seharusnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap mempertahankan kebijakan lama dan justru meningkatkan mutu transportasi umum di Jakarta. Hal itu agar banyak warga beralih ke kendaraan umum sehingga kemacetan di Jakarta bisa terus berkurang.
Ia melihat sudah banyak warga Jakarta yang sekarang sadar untuk beralih ke transportasi umum. Apabila wacana Anies-Sandi dilakukan, dia khawatir mereka yang sudah menggunakan transportasi umum akan kembali menggunakan sepeda motor.
"Apalagi TJ (bus Transjakarta) sudah sampai ke kota-kota penyangga. Sudah bagus enggak macet itu Thamrin, kalau dibolehin lagi ya macet lagi lah," kata Chandra. (umi)