Setelah Penganut Kepercayaan 'Diakui' di KTP
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA – Perjuangan Arnol Purba (54) selama 20 tahun terakhir ini terbayar sudah. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan angin segar dan kepastian akan nasib para penganut kepercayaan di Indonesia. Khususnya, dalam memperoleh hak-hak administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK
Ya, MK telah mengabulkan untuk seluruhnya permohonan uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan junto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk, yang mengatur pengisian kolom agama pada KK dan KTP.
Arnol bersama sejumlah rekannya sesama para penghayat kepercayaan, mengajukan permohonan UU tentang Administrasi Kependudukan ke MK. Uji materi ini diajukan Karena selama ini, penghayat kepercayaan merasa didiskriminasikan oleh pemerintah dalam KTP dan KK.
Kolom agama mereka dibiarkan kosong, karena kolom agama yang boleh diisi hanya enam agama yang diakui di Indonesia. Sementara kolom agama penghayat kepercayaan kosong.
"Kami bangga, terima kasih mahkamah (MK), kami sangat senang, karena terdaftarkan di kolom agama," kata Arnol kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 November 2017.
Tak mudah bagi Arnol sebagai penganut kepercayaan Ugamo Bangso Batak (UBB), untuk mendapatkan hak-hak akses pelayanan publik seperti warga pada umumnya. Arnol berkisah, anaknya yang merupakan lulusan farmasi sampai ditolak bekerja di rumah sakit di Batam, gara-gara kolom agama kosong.
"Waktu anak kita melamar ke perusahaan tidak ada nama agama, tidak diterima. Saya sampai mengeluarkan air mata, saya sedih lah," ujarnya.
Belum lagi, anak-anak rekannya sesama penganut Ugamo Bangso Batak, yang terpaksa mengisi kolom kepercayaan mereka dengan agama lain, demi bisa diterima ikut ujian masuk TNI/Polri maupun pegawai negeri sipil. Bila tidak, jangan kan bisa ikut seleksi, saat proses administrasi sudah gugur duluan. "Jadi, kami sudah terintimidasi saat melamar (pekerjaan)," terang Arnol.
Sebagai penganut Ugamo Bangso Batak (UBB), Arnol menuturkan bahwa kepercayaannya itu sebenarnya sudah lama diakui pemerintah. Surat pengakuan itu datang dari Kesbangpol pemerintah Sumatera Utara tahun 2001 dan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kemendikbud tahun 2008.
Namun, pengakuan dari pemerintah ternyata belum cukup. Dalam perjalannya, masih saja ditemui perlakuan diskriminatif kepada warga penghayat kepercayaan, karena kolom agama mereka di KTP kosong.
"Untuk apa diberikan pengakuan tapi kolom agama kosong. Kami dikaitkan tak beragama, animisme. Jadi kenapa Konghucu bisa dikeluarin (agamanya di KTP). Sementara kami penduduk Nusantara kenapa tidak bisa jadi sah, itu permohonan kami," paparnya.
Dalam pertimbangannya, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan gugatan warga penghayat kepercayaan beralasan menurut hukum. Dan akibat adanya perbedaan penganut agama yang diakui dan penghayat kepercayaan di KTP membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.
Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945, maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antar warga negara merupakan tindakan diskriminatif.
Atas dasar itu, Arief berpendapat pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk kepercayaan," kata Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, Selasa 7 November 2017.
Atas dasar putusan MK tersebut, status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan KTP. Meskipun untuk penulisan di KTP dan KK, MK mengatakan tidak perlu diperinci.
Hapus Diskriminasi
Kuasa hukum pemohon, Judianto, berharap semua instansi pemerintah dapat melaksanakan putusan MK terkait status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan KTP. Semua pihak harus menghormati putusan MK, karena prinsip dari permohonan ini ada perbedaan pelayanan publik antara warga negara.
"Ada yang diisi ada yang tidak diisi, padahal UU Dukcapil berhak dapat dokumen kependudukan, dan ini diskriminasi warga negara," kata Judianto kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 November 2017.
Ia tak menampik banyak dari kliennya para penghayat kepercayaan, yang sebelumnya mengalami perlakuan diskriminatif. Mulai dari sulit melamar pekerjaan, sulitnya berurusan dengan perbankan hingga stigma negatif. Judianto mengapresiasi putusan ini, sehingga terwujud persamaan hak antar warga negara.
"Langkah selanjutnya, pemerintah, Dukcapil dimana pun berada, semoga mematuhi putusan MK ini, dan kita berharap ada realisasi nanti bagaimana," ujarnya. [Baca: Siswa SMK Tak Naik Kelas Gara-gara Penghayat Kepercayaan]
Pemohon, Arnol Purba menambahkan putusan MK ini diharapkan bisa diteruskan kepada instansi terkait baik pemerintah maupun swasta. Ia berharap, perlakuan diskriminatif terhadap anaknya ditolak saat melamar pekerjaan gara-gara kolom agama kosong, tidak terjadi lagi.
"Setiap penerimaan pegawai swasta dan negeri tetap ada penghayat kepercayaan. Dan di sistem penerimaan online juga harus diubah, masukan kolom penghayat kepercayaan," imbuhnya.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos bisa merasakan perjuangan komunitas Agama Lokal Nusantara untuk mendapatkan hak pencantuman identitas keagamaannya di KTP. Tigor mengapresiasi putusan MK yang mengabulkan pengisian kolom agama bagi penganut kepercayaan di KTP dan Kartu Keluarga.
"Akhirnya pada 7 November 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para pemohon untuk keseluruhan," kata Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulisnya, Rabu 8 November 2017.
Bonar menambahkan, kendati amar putusan MK tersebut dianggap belum menyentuh persoalan esensial terkait klausula agama yang bermasalah atau belum diakui, namun pengabulan permohonan secara keseluruhan para pemohon yang meminta kepercayaan dituliskan di kolom KTP patut diapresiasi.
"Semestinya negara tidak lagi mendiskriminasi warga negara dalam mencantumkan identitas keagamaan di catatan administrasi kependudukannya," ucapnya.
Dikabulkannya permohonan para pemohon secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi, diharapkan dapat menghapuskan praktek-praktek diskriminasi terhadap komunitas agama lokal seperti yang terjadi selama ini.
"Amar putusan ini akan menjadi tonggak sejarah penting penghapusan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan setiap warga negara jika kemudian diikuti dengan upaya mendorong advokasi yang lebih esensial terkait dengan pengakuan secara utuh setiap warga negara," ujarnya.
Setara Institute menyampaikan apresiasi kepada MK yang telah melaksanakan tanggungjawab konstitusionalnya dengan baik dalam menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan bagi setiap warga Negara.
Butuh Sebulan
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyatakan kementeriannya siap menjalankan putusan MK itu. Dengan demikian, penghayat kepercayaan akan dimuat dalam kartu identitas warga negara Indonesia.
"Kemendagri akan melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam pesan singkatnya, Selasa, 7 November 2017.
Tjahjo masih harus mengkoordinasikan perintah dalam putusan ini dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendapatkan data siapa saja yang menganut agama kepercayaan.
"Setelah data (agama) kepercayaan kami peroleh, maka Kemendagri memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi data base serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia (514 kab kota)," ujarnya.
Dari data yang diterima VIVA.co.id dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi Kemendikbud, organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang aktif dan tidak aktif tahun 2017 berjumlah 187 organisasi. Mereka yang aktif berjumlah 160, dan 27 organisasi yang tidak aktif.
Organisasi penghayat kepercayaan terbanyak berada di Jawa Tengah sebanyak 53, disusul Jawa Timur 50 organisasi. Kemudian Yogyakarta berjumlah 24, DKI Jakarta 14 dan Sumatera Utara berjumlah 12 organisasi. Sedangkan yang lainnya ada di wilayah Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Utara.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, menyatakan Kemendagri membutuhkan waktu satu bulan untuk menjalankan putusan MK. Waktu tersebut akan digunakan untuk pembenahan aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (Siak) serta sosialisasi ke seluruh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapilk).
"Dan menyiapkan form-formnya," ujar Zudan melalui pesan singkat kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 November 2017.
Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag, Mastuki dalam keterangan tertulisnya mengatakan Kemenag patuh dan mendukung putusan MK ini. Kendati begitu, Kemenag masih akan berkoordinasi dengan MK untuk memperjelas cakupan dari putusan ini, hanya terkait dengan pengisian kolom KTP atau lebih dari itu.
Menurut dia, putusan itu tidak berarti menyamakan antara kepercayaan dengan agama. Berdasarkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama.
"Ini yang akan kami koordinasikan lebih lanjut dengan pihak MK agar masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap," ujarnya.
Komisi II DPR RI, dalam waktu dekat ini juga akan segera membahas teknis pencantuman penghayat kepercayaan dalam KTP dengan Kemendagri. Menurut Zainuddin, putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Karena itu harus segera dipatuhi dan ditindaklanjuti dengan merevisi aturan-aturan yang terkait kependudukan.
"Kita akan bicara dengan Kemendagri, kita akan rapat dan pada saat setelah masa reses selesai kita akan tanyakan bagaimana cara mereka untuk menindaklanjuti putusan itu," kata Ketua Komisi II Zainuddin Amali, Senayan, Jakarta, Rabu 8 November 2017.