Merekam Adegan Syur, Normalkah?

Ilustrasi menonton video porno.
Sumber :
  • www.pixabay.com/Geralt

VIVA – Muda mudi zaman sekarang, pergaulan bebas nian. Tiada lagi orang yang melarang. Tapi sayang, banyak salah jalan.

Kata Polisi soal Anak 14 Tahun Jadi Tersangka Karena Terima Video Porno

Lirik lagu grup musik lawas Koes Plus itu mungkin paling cocok disenandungkan untuk menanggapi fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja saat ini. Yang masih hangat diperbincangkan adalah kasus bocornya video sepasang muda mudi yang melakukan senggama di sebuah kamar hotel. Lalu dengan sadar, mereka membuat rekaman aktivitas seksualnya bersama pasangan yang belum sah terikat tali pernikahan.

Jika ditarik garis mundur, beberapa sikap serupa juga dilakukan oleh remaja lain. Di Samarinda, seorang anak usia sekolah menengah dengan lihainya memvideokan aksinya bersama sang kekasih, namun sial rekamannya bocor ke publik dan dikonsumsi khalayak.

Profil Julpan Tambunan, Pejabat Kadin yang Laporkan Gadis 14 Tahun usai Anaknya Kirim Video Porno

Tak hanya itu, aksi memvideokan aktivitas senggama juga dilakukan beberapa selebriti dan publik figur. Bahkan beberapa di antaranya dengan sadar mem-posting di akun media sosialnya. Sehingga warganet heboh bukan kepalang.

Muda-mudi terpeleset pergaulan bebas bukan hal baru, namun banyak yang mempertanyakan soal tindakan mereka memvideokan kegiatan seksual secara sadar. Padahal, mendokumentasikan kegiatan seksual sangatlah berisiko. Selain sanksi moral, bisa-bisa si pelaku terjerat hukum pidana karena melanggar undang-undang pornografi. 

Selanjutnya...

Ironis! Diduga Terima Video Porno dari Anak Pejabat, Gadis 14 Tahun Malah Jadi Tersangka

Mengapa seseorang merekam aktivitas seksualnya?

Dilansir The Guardian, pertama kali orang merekam aktivitas seksualnya ketika kamera film ditemukan, dan itu menjadi aktivitas pertama film porno. Namun dulu, film porno biasanya disebarluaskan secara diam-diam, untuk dinikmati di rumah, perkumpulan tertutup, atau bioskop malam. Baru kemudian pada tahun 1970-an film porno mulai sedikit dilegalkan. 

Patrick Robertson dalam bukunya Film Facts, menyebut film porno paling awal yang dapat diketahui tanggal pembuatannya adalah A L'Ecu d'Or ou la Bonne Auberge, dibuat di Prancis pada 1908. Kemudian pada era 1980-an, pornografi dalam bentuk video rumahan mencapai penyebaran luas sejak beberapa dekade sebelumnya.

Berkembangnya internet pada akhir 1990-an dan awal 2000-an turut mendongkrak penyebaran film porno, dan menambah rumit penuntutan kecabulan legal. Di beberapa negara film porno memang diperbolehkan, mulai pembuatan hingga menyebar luaskan. Misalnya di Amerika Serikat.

Namun film porno dilarang di beberapa negara lain, misalnya Indonesia dan China. Ironisnya meski dilarang, film porno tetap dapat diakses melalui internet di negara-negara tersebut.

Orang-orang yang merekam kegiatan seksnya kerap kali dianggap menyimpang secara psikologis dan masuk kategori exhibitionism disorder. Padahal, dalam dunia psikologi tak selalu demikian. Sebagian orang yang membuat video seks hanya melakukan hal ini untuk kesenangan dan konsumsi pribadi.

Dilansir Daily Mail, bahkan di antara mereka juga ada yang menjadikan rekaman tersebut sebagai memorabilia dan menganggapnya pula sebagai bentuk latihan kepercayaan dan intimasi dengan pasangannya. Jika rekaman kegiatan seks itu dibuat untuk dibagikan kepada para kenalan atau disebarluaskan ke publik, baru hal ini dikatakan sebagai bentuk exhibitionism dan pelakunya disebut exhibitionist.

Hal serupa diungkapkan oleh Elizabeth Santosa. Psikolog dan penulis buku Rising Children in Digital Era ini mengungkapkan bahwa merekam atau mendokumentasikan kegiatan seksual adalah sebuah tindakan yang wajar.

"Itu sudah biasa, sudah sejak lama, bikin video seks terus bocor. Menurut saya ini adalah mutlak bentuk kecerobohan dan dan juga masalah kurang kedewasaan dalam bertindak, jadi tidak ada masalah kejiwaan di sini," ujarnya saat dihubungi VIVA.co.id Kamis 26 Oktober 2017.

Menurutnya perilaku seksual memvideokan itu sebetulnya normal terjadi antarkekasih untuk dokumentasi mereka berdua dan untuk konsumsi pribadi.

"Kecuali mereka sepakat untuk dipublikasikan, misalnya seperti bintang film porno yang konteksnya adalah menjual atau memang mau jadi superstar atau motif balas dendam atau mencari uang. Hingga kini tidak ada aturan tertulis yang menyebut itu normal atau tidak. Itu adalah bagian dari hak privasi masing-masing," ujarnya.

Budaya dominan yang menganggap paparan seksualitas sebagai suatu hal yang negatif atau tabu. Karenanya sering kali mengabaikan hak-hak orang-orang yang terlibat dalam video seks yang viral. 

Dalam kasus yang beredar belakangan, atas nama penasaran warganet beramai-ramai memburu video viral tersebut. Bahkan nama si pembuat video tersebut menjadi nomor 1 di daftar pencarian google. Menurut data, kata kunci pencarian itu hingga kemarin diburu lebih dari 50 ribu warganet.

Tidak sedikit pula yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari pundi-pundi uang. Beberapa netizen lantas mem-posting video kopian yang sudah di-blur kemudian di-posting ulang di akun youtube-nya. Menurut pantauan VIVA.co.id, rata-rata minimal, postingan beberapa akun tersebut dikunjungi hingga 17 ribu orang.

Selanjutnya...


Revenge porn, mutlak karena kecerobohan

Di luar segala aktivitas seksual yang melanggar norma agama dan adat istiadat, perilaku merekam kegiatan seksual untuk konsumsi pribadi adalah tindakan yang tidak melanggar hukum. Elizabeth mengungkapkan hal itu murni sebuah kecerobohan.

"Saya merasa terlalu cepat jika kita langsung membuat asumsi. Saya yakin kalau mereka berani mempublikasikan sendiri secara sadar pasti ada alasannya. Bisa karena pengaruh narkoba atau dendam sama pacarnya, kemudian pengin bikin malu," ujarnya.

Lebih lanjut menurutnya permasalahan utama adalah bocornya video tersebut ke tangan publik oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut dikenal dengan revenge porn.

Dilansir laman New York Times, revenge porn adalah tindakan mengumbar foto-foto erotis (sexually explicit) mantan pasangan di internet dan atau media sosial. Aksi ini tentu saja bisa membuat malu mantan pasangan dan kadang digunakan untuk melakukan pemerasan.

Banyak kasus yang mengakibatkan korban revenge porn akhirnya depresi, tertekan dan bunuh diri. 

Pada 2010 Tyler Clement melompat dari George Washington Bridge karena depresi rekaman aktivitas seksnya menjadi viral. Lalu 2014, Alyssa Funke mengakhiri hidupnya dengan pistol di Big Carnelia Lake karena video seksnya tersebar.

September 2012, Amanda Todd mengakhiri hidupnya karena foto payudaranya tersebar di Internet. Lalu kasus bunuh diri yang terbaru pada akhir 2016, perempuan Italia bernama Trivia Cantone yang menjadi korban revenge porn memilih untuk bunuh diri karena merasa tertekan. 

Peneliti dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) dan Monash University, dalam penelitian mereka di Australia, mengungkap bahwa angka revenge porn cukup mencengangkan.

Setelah mewawancarai 4.274 responden berusia 16 sampai 49 tahun di Australia, mereka mendapati satu dari lima responden melihat foto erotis mereka di dunia maya tanpa mereka mau. Selain itu data juga menyebutkan bahwa hampir 50 persen korban revenge porn mengalami kondisi depresi.

Meski angka yang ditunjukkan fantastis, namun bagi mereka yang hendak melakukan revenge porn ini sehendaknya memperhatikan hukuman yang mungkin dikenakan, karena di beberapa negara mulai menerapkan undang-undang untuk kasus revenge porn ini.

Crown Prosecution Service (CPS) Inggris mengancam pelaku yang melakukan revenge porn tersebut bisa dikenai kurungan 14 tahun penjara. Meskipun tidak menguraikan bentuk undang-undang baru yang akan menjerat pelaku revenge porn tersebut, tetapi CPS memberikan panduan kepada pengacara tentang bagaimana untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Selain Inggris, negara yang menolak revenge porn adalah Australia, dan Amerika. 

Untuk itu, lebih lanjut Elizabeth mengingatkan agar lebih hati-hati melakukan rekaman pribadi. Jika Anda tengah berhubungan (pacaran) dengan seseorang untuk tidak berlaku aneh-aneh dan melayani permintaan foto erotis.

"Kita harus lebih berhati-hati dalam mendokumentasikan dokumen pribadi, misalnya video ciuman, pelukan. Ini masalah kedewasaan," ujarnya

Kepada masyarakat ia juga mengingatkan bahwa untuk tidak menyebarkan karena berujung pada tindak pidana. 

"Menghujat, menilai, menjelek-jelekan itu menurut saya adalah tindakan yang tidak dewasa dan solutif. hanya memperburuk masalah saja."

Bagaimana sebaiknya orangtua mengingatkan?

Video yang beredar tentu menjadi momok meresahkan bagi orangtua, terutama orangtua yang melepas anak-anak remajanya untuk sekolah atau tinggal berjauhan. Lalu bagaimana sebaiknya sikap orangtua menanggapi kasus ini?

"Penilaian orangtua terhadap itu bermacam-macam. Orangtua pasti kecewa. Sikap yang sebaiknya diambil adalah berdiskusi sama anaknya," ujarnya.

Ia menilai, dengan berdiskusi orangtua bisa belajar memahami kondisi anak. Di lain sisi, orangtua juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya perilaku anak. 

"Kalau perlu anak dan orangtuanya sama-sama diterapi. karena bisa jadi perilaku anak yang seperti itu karena meniru orangtuanya. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak, karena orangtua yang bijak dalam menyikapi masalah ini tidak perlu emosi," katanya.

Orangtua juga diharapkan mampu melakukan introspeksi diri terhadap cara mengasuh anak. 

"Kenapa anak saya berbuat seperti itu? Adakah kontribusi saya sebagai orangtua yang membuat anak saya seperti itu? Kalau saya merasa baik-baik saja dan anak saya melakukan kesalahan ini apa yang bisa saya ambil untuk jadi pelajaran bagi kami semua keluarga? Apa yang bisa saya ambil sebagai orangtua untuk mendidik anak saya lebih baik lagi, hikmah apa yang saya dapatkan dalam cercaan masyarakat ini? Menurut saya orangtua bijak akan melakukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu." 

Di lain sisi, Elizabeth juga memberikan tips bagaimana cara memberikan pemahaman kepada remaja. Menurutnya, hal itu dilakukan dengan pendekatan logika.

"Lebih baik melakukannya dengan metode pendekatan logika untuk menasihati remaja. Misalnya menggambarkan tentang akibat yang akan terjadi."

Misalnya memberi pemahaman dengan mengatakan akibat dan konsekuensi yang akan dijalaninya misalnya soal harga diri yang rusak, rasa malu yang dihadapi, risiko kehamilan, dan cemoohan masyarakat dan teman-taman.

"Bagi saya logika berpikir adalah kunci sukses pendidikan orangtua kepada anak. Enggak ada yang namanya wejangan, itu terlalu old. kita harus mendekati anak dengan pendekatan yang berbeda lebih revolusioner sesuai dengan kebutuhan anak." (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya