Mengungkap Fakta Pembantaian 1965 'Rasa' Amerika
- Istimewa
VIVA – Kisah sensitif pembantaian di Indonesia terkait pemusnahan paham Komunisme, yang selama ini tabu untuk dibicarakan secara terbuka kepada publik, kini malah ditelanjangi. Melalui telegram, kabar pembantaian tahun 1960-an itu disampaikan Kedubes AS di Jakarta kepada Washington.
Laporannya lengkap dan detail, termasuk bagaimana proses pembantaian terjadi, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana caranya. Dokumen ini juga menyebut, pemerintah AS terlibat dan mendukung pembantaian tersebut. Lembaga militer, terutama Angkatan Darat RI, juga berulang kali disebut.
Telegram itu tersimpan rapi selama hampir 50 tahun dalam dokumentasi pemerintah AS hingga akhirnya dirilis oleh Arsip Keamanan Nasional di The George Washington University, Selasa, 17 Oktober 2017. Melalui laman nsarchive.gwu.edu, seluruh isi dari 39 dokumen bisa dibaca.
Dokumen 39 halaman itu menceritakan bagaimana sikap anti-komunisme mampu membangkitkan amarah. Melalui dokumen tersebut tergambar, AS tahu dan paham terjadinya pembantaian atas puluhan ribu nyawa, karena para diplomat di Kedutaan Besar Jakarta selalu mencatat dan mengirim kabar tentang siapa pemimpin PKI telah dieksekusi, dan bahwa pejabat AS secara aktif mendukung upaya Angkatan Darat Indonesia untuk menghancurkan gerakan buruh yang tertinggal di negara tersebut.
Isi dokumen ini juga menyebut nama dua organisasi besar Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama atau NU, dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini disinggung punya peran besar dalam proses pembantaian. Seorang ulama Muhammdiyah disebut mengizinkan membunuh mereka yang berpaham PKI, sedangkan NU disebut memberi tuduhan 'PKI' untuk bisa membantai seseorang padahal itu hanya masalah dendam pribadi.
Di bagian lain, dokumen menceritakan pembantaian di sebuah area di Jawa Timur. Menurut laporan telegram itu, korban dibawa dari area ramai sebelum akhirnya dibunuh dan jasadnya dikuburkan, bukan dibuang ke sungai. Sementara telegram lain mengabarkan, tahanan yang diduga 'komunis,' juga dikirimkan ke warga untuk 'dibantai.'
Pejabat Enggan Komentar
Pemerintah Indonesia bereaksi beragam. Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu enggan gegabah. Ia mengatakan akan menemui Menteri Pertahanan AS Jim Mattis terkait menyebarnya dokumen rahasia itu.
Jim Mattis, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, memang dijadwalkan berada di Filipina pada 25 Oktober 2017. Saat itulah, Ryamizard akan mempertanyakan bagaimana dokumen rahasia itu bisa tersebar. "Besok waktu di Filipina saya ketemu dengan dia (Jim Mattis), cukup lama 1 jam. Akan saya tanya ini (dokumen pembantaian 1965)," kata Ryamizard di DPR, Rabu, 18 Oktober 2017.
Sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengakui belum mengetahui secara detail dokumen yang dikeluarkan tersebut. Ia menduga, laporan tersebut adalah hasil komunikasi Kedubes AS di Jakarta dengan Washington. Armanatha lebih memilih untuk melakukan cross check untuk mengetahui apakah dokumen itu valid dan akurat.
"Itu bisa merupakan pandangan dan persepsi serta posisi Kedubes AS saat itu terkait perkembangan situasi di Indonesia tahun 1963-1966. Yang perlu dicek adalah akurasi dan kebenaran dari laporan tersebut. Sebelum menyimpulkan, kita cross-check juga," kata Arrmanatha Nasir, di Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017.
Laporan itu juga menyinggung bagaimana peran Angkatan Darat dalam proses penggulingan pimpinan PKI dari tampuk kekuasaan. Panglima TNI Gatot Nurmantyo memilih tak berkomentar sebelum membaca dokumennya. "Saya akan membaca lebih dulu dokumen rahasia Amerika Serikat soal pembantaian 1965," ujarnya saat dikonfirmasi VIVA.co.id, Rabu, 18 Oktober 2017.
Karena itu, ia enggan berkomentar mengenai tudingan bahwa Angkatan Darat Indonesia melakukan kampanye pembunuhan massal melawan Partai Komunis negara (PKI) yang dimulai pada tahun 1965. .
"Ya nanti saya baca dulu, saya belum baca yah. Ya enggak tahu (kebenaran dokumen), saya belum baca masa disuruh komentar, gimana sih, baca dulu dong saya," kata Gatot di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 18 Oktober 2017.
Tak Perlu Diperkeruh
Meski penjabaran dalam dokumen setebal 30.000 halaman dan terpecah menjadi 39 dokumen itu memuat sangat detail bagaimana peran Angkatan Darat dalam pembantaian dan kampanye anti-PKI, namun Menhan berharap dokumen itu tak menciptakan keresahan di negeri sendiri.
Memhan RI Ryamizard Riakudu memilih untuk mengingatkan, agar tak ada yang memperkeruh suasana terkait informasi itu. "Tergantung kita mau keruh atau tidak, kalau kita enggak mau. Enggak usah. Kadang-kadang kita sendiri buat-buat," kata Ryamizard.
Senada dengan Ryamizard, juru bicara Kemlu, Arrmanatha, menegaskan, semua negara memiliki sejarah masing-masing tak terkecuali Indonesia. Apalagi, baik pemerintah maupun organisasi dan tokoh masyarakat juga telah melakukan berbagai langkah rekonsiliasi terkait peristiwa 1965. Artinya, kemungkinan terungkapnya fakta tersebut belum tentu berpotensi memperkeruh situasi sosial politik di dalam negeri.
Sementara Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku tak bisa memastikan, apakah dokumen tersebut berguna atau tidak. Tapi menurutnya, masing-masing negara memiliki aturan sendiri.
"Di negara-negara itu ada aturan. Setelah dokumen disimpan sekian, dikeluarkan, itu biasa-biasa saja. Aturan negara beda-beda. Ada dokumen, rahasia, dikeluarkan. Tapi kan saya belum tahu ya. Belum tahu saya, tanya sama BIN," kata Gatot.
Sejarah kelam bangsa ini atas tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965 lalu mulai terungkap melalui dokumen itu. Jika selama ini banyak hal yang dianggap tabu dan tidak boleh dibicarakan, maka dokumen yang sudah deklasifikasi itu mengungkap fakta berbeda dari apa yang selama ini beredar.
Dokumen ini muncul hanya berselisih hari dari meningkatnya ketegangan soal komunisme di Indonesia. Akhir September kemarin, bangsa ini memperingatkan tragedi G30S/PKI. Nyaris setiap tahun menjelang akhir September, isu PKI kembali berembus dan menguat. Bahkan tahun ini disertai desakan untuk nonton bareng film pembantaian G30S/PKI. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahkan mengaku memberi perintah langsung untuk nonton bareng film tersebut.
Mungkin, fakta berbeda yang diungkap dari dokumen Kedubes AS tentang pembantaian sepanjang tahun 1965 itu bisa menggeser sudut pandang publik di negeri ini tentang PKI, perebutan kekuasaan, Angkatan Darat, Soekarno dan Soeharto. Kekejaman pembantaian di masa lalu terjadi dan merugikan banyak pihak. Syahwat politik dan kekuasaan membuat bangsa ini terus terbelah oleh isu PKI selama puluhan tahun.
Jika demikian, semoga fakta yang berbeda itu bisa membuat isu PKI tak lagi menjadi hantu yang tak pernah pergi. (one)