Di Ambang Krisis Spanyol versus Katalunya Merdeka
- REUTERS/Susana Vera
VIVA.co.id – Referendum Katalunya masih membuat Spanyol, panas dingin. Di satu sisi, para anggota Parlemen dan aktor intelektual prokemerdekaan tak surut langkah melanjutkan pada deklarasi. Di sisi lain, pemerintah Spanyol tegas menyatakan kemerdekaan Katalunya tak akan terjadi. Aksi referendum dicap inkonstitusional.
Krisis Katalunya yang mengemuka sejak September 2017 menjadi krisis terburuk yang dialami Spanyol selama empat dekade terakhir. Bagaimana tidak, referendum di Katalunya pada 1 Oktober 2017 lalu menunjukkan hasil jajak pendapat bahwa 90 persen pemilih menyatakan setuju Katalunya berpisah dari Spanyol.
Meskipun sebagaimana dilansir Reuters, hanya 2,26 juta warga Katalunya yang ikut dalam jajak pendapat itu. Artinya sekitar 42,3 persen dari 5,34 juta warga Katalunya yang memiliki hak pilih.
Referendum tersebut terealisasi di tengah pro dan kontra para anggota Parlemen Daerah atau DPRD Katalunya yang juga sempat mengambil suara soal eksekusi jajak pendapat di Gedung Parlemen Barcelona.
Sebelumnya, ada 72 suara anggota yang setuju diadakan referendum yang beroposisi dengan 52 suara di Parlemen Katalunya. Para anggota Parlemen Katalunya yang menolak adanya referendum saat itu memilih walk out karena tak ingin ada separasi dari Madrid.
Pemimpin wilayah Katalunya yang juga kerap disebut sebagai Presiden Katalunya, Carles Puigdemont menjadi sosok yang menjadi motor digaungkannya kembali wacana pemisahan diri ini. Usai adanya referendum pada awal Oktober 2017, Carles Puigdemont mengatakan bahwa Katalunya akan segera mendeklarasikan kemerdekaan pada Senin, 9 Oktober 2017. Meskipun hal itu tampaknya belum terealisasi pascatekanan dari pemerintah Spanyol dan sejumlah pihak termasuk Uni Eropa dan otoritas bangsa-bangsa di sekitarnya.
Alhasil, Carles Puigdemont direncanakan akan berpidato soal hasil referendum itu pada Selasa malam, 10 Oktober 2017 waktu setempat. Selain Madrid, Wali Kota Barcelona juga membujuk Puigdemont agar tak jadi
menyatakan deklarasi. Publik Katalan dan Madrid karena itu tengah menanti pernyataan yang akan disampaikan tokoh Katalunya itu nantinya.
Dilansir BBC, Carles Puigdemont disebutkan mengalami banyak tekanan bahkan ancaman jika dia nekat menyatakan deklarasi kemerdekaan wilayah otonomi Spanyol tersebut.
Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy terang-terangan mengingatkan Katalunya tak akan bisa hidup tatkala Madrid akan memindahkan perusahaan-perusahaan utama yang berada di Barcelona. Bahkan beberapa perusahaan terkemuka disebutkan sudah memindahkan kantor dari Katalunya pascareferendum. Katalunya mulai ditekan secara ekonomi.
PM Rajoy juga menegaskan bahwa pemisahan diri Katalunya bertentangan dengan konstitusi negara itu. Rajoy mengingatkan, tak diperbolehkan satu pun dari wilayah Spanyol memisahkan diri. Selain itu dalam Pasal 155 diterakan wewenang pemerintah pusat untuk mengambil alih wilayah otonom jika dianggap ada gerakan yang mengancam persatuan negara.
Hal itu yang menyebabkan pemerintah pusat bisa menggerakkan aparat untuk membubarkan aksi yang dianggap separatis seperti yang diupayakan pada hari referendum pekan lalu. Aparat juga menangkap belasan figur yang dianggap otak dan penggerak referendum. Pada 1 Oktober 2017 juga terjadi bentrokan dengan aparat, pemukulan di tengah massa hingga penyerbuan ke gedung-gedung yang dianggap sebagai basis kelompok yang dituding membuat rusuh.
Tekanan Eropa
Selain mendapat penolakan keras dari Madrid, krisis di Spanyol juga menjadi perhatian Uni Eropa dan negara-negara yang tergabung di dalamnya sebagaimana diberitakan The Guardian. Sementara PM Rajoy mengatakan bahwa dia tidak akan meminta pihak ketiga dari luar Spanyol untuk menjadi mediator dalam konflik ini. Rajoy meyakini bahwa pemerintahnya bisa mengembalikan kestabilan di negeri tersebut.
Jerman dan Prancis langsung bereaksi atas krisis Katalunya. Menteri Prancis untuk Eropa, Nathalie Loiseau mengatakan, Prancis tidak akan mengakui Katalunya dengan deklarasi yang dianggap tidak konstitusional.
Prancis mendesak agar pemerintah Katalunya dan Spanyol mencari jalan tengah melalui dialog untuk meredakan situasi yang memanas.
Sementara Jerman melalui Juru Bicara Kanselir Angela Merkel mengatakan bahwa Jerman akan menyokong persatuan Spanyol. Hal itu disampaikan dalam pembicaraan melalui telepon dengan PM Rajoy.
Uni Eropa juga langsung menyatakan sikap atas krisis yang sedang terjadi. Uni Eropa menegaskan bahwa Katalunya tidak akan bisa menjadi bagian dari komunitas tersebut jika ngotot tetap mendeklarasikan kemerdekaan.
Istimewa
Rekam jejak sejarah Katalunya menjadi hal yang tak bisa ditepiskan di tengah krisis saat ini. Diketahui bahwa bukan kali ini saja Katalunya menuntut kemerdekaan. Wilayah otonom di Spanyol tersebut memang sejak lama istimewa dan punya pengalaman sejarah dan kondisi berbeda dengan daerah-daerah di Spanyol lainnya.
Katalunya berada di timur laut Spanyol dengan ibu kota Barcelona dan penduduk sekitar 7,5 juta termasuk anak-anak. Jumlah tersebut sekitar 15 persen dari total penduduk Spanyol. Sementara soal ekonomi, Katalunya dicatat lebih kuat dibandingkan daerah lainnya dan bisa menyumbang hingga 20 persen ekonomi negara itu.
Sementara itu, sekitar 1,6 juta orang tinggal di Barcelona yang diketahui merupakan salah satu wilayah utama bagi turis di Spanyol. Sementara dari rekam jejak sejarahnya, Katalunya memang agak berbeda termasuk memiliki budaya dan bahasa asli sendiri.
Dilansir Aljazeera, sejak abad ke-12, Katalunya diketahui sudah ada yakni 250 tahun sebelumnya. Akhirnya bergabung dengan Spanyol pada abad ke-16. Di bawah pemerintahan militer Jenderal Francisco Franco, budaya Katalunya atau Katalan mendapatkan tekanan. Bahkan pada saat itu, simbol-simbol Katalan sempat dilarang termasuk penggunaan bahasa Katalan yang juga digunakan di Valencia dan Kepulauan Balearic. Saat itu juga dipaksakan penggunaan nama-nama Spanyol di Katalunya.
Namun setelah pemerintahan Franco berakhir, Katalunya tetap menjadi bagian dari Spanyol dengan hak wilayah otonomi.
Reformasi atau Merdeka
Masalah kemudian muncul pada saat Spanyol dilanda krisis ekonomi pada tahun 2008. Katalunya yang merasa menjadi daerah terkaya dan penyokong ekonomi terbesar di negara itu meminta pemerintah pusatnya memberi dukungan finansial lebih besar untuk Katalunya. Ketidakpuasan membuat munculnya wacana bahwa Katalunya bisa mandiri tanpa Spanyol dengan semua sumber daya yang dimiliki.
Sementara pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi Spanyol menolak pengajuan Katalunya merdeka. Katalunya direkomendasikan untuk melakukan reformasi atas segala tuntutan yang diajukan. Namun keputusan tersebut tidak memuaskan publik Katalunya.
Bertahun-tahun sejak digulirkannya wacana merdeka, selalu ada pihak-pihak yang ingin agar Katalunya lepas dari Spanyol. Apalagi dari tahun ke tahun, kebijakan pemerintah Spanyol juga dianggap tak membuat Katalunya lebih baik apabila dibandingkan dengan kontribusi Barcelona untuk negara matador tersebut.
Pakar politik dari Universitas Madrid Carlos III, Profesor Lluis Orriols Galve menjelaskan soal kembali bergolaknya Katalunya dalam beberapa pekan terakhir ini.
Dia menilai bahwa warga Katalunya kini makin tak percaya dengan adanya reformasi oleh pemerintah yang bisa membuat wilayah tersebut lebih baik.
“Itu semua terjadi karena pengalaman pada masa lalu, tuntutan reformasi dianggap tak akan berguna. Kemerdekaan dirasa lebih masuk akal,” kata Orriols.