Akal-Akalan Ala Freeport 'Mainkan' Indonesia
- VIVA.co.id/Banjir Ambarita
VIVA.co.id – Di tengah proses negosiasi yang alot antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan PT Freeport Indonesia soal divestasi saham, muncul berita tak sedap terkait akal-akalan perusahaan tambang asal Negeri Paman Sam itu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara yang dilakukan PT Freeport Indonesia dari sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rentang 2009-2015.
Dikutip dari hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester pertama 2017, Selasa 3 Oktober 2017, BPK tak tanggung-tanggung langsung menemukan kerugian negara dari PT Freeport Indonesia (PTFI) mencapai US$445,96 juta atau setara Rp6 triliun (kurs Rp13.565 per dolar AS).
Di dalam laporan itu, kerugian negara disebabkan oleh PT Freeport Indonesia masih menggunakan tarif yang lebih rendah, dan tidak menyesuaikan dengan tarif baru untuk iuran tetap, royalti dan royalti tambahan yang sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012, pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2003.
Bahkan, dalam temuan BPK, Freeport Indonesia nyata-nyata tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam kontrak karya, yang meliputi penerimaan selain denda yang belum dipungut. Apalagi, biaya concentrate handling atau pengelolaan konsentrat yang diterbitkan PTFI akan mengurangi biaya royalti yang disetorkan kepada pemerintah.
Selain itu, BPK juga menyatakan, selama rentang 2013-2015, ada beberapa komponen yang tidak tepat dibebankan sebagai biaya concentrate handling. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kekurangan penerimaan royalti pemerintah sebesar US$181,4 ribu.
BPK juga menyebut masalah-masalah lain yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini, misalnya potensi hilangnya penerimaan negara melalui dividen Freeport Indonesia. Sampai dengan proses divestasi saham perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat tersebut yang saat ini masih belum menemui titik terang.
Belum lagi, hal ini semakin diperparah dengan pengelolaan limbah tailing Freeport Indonesia yang belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia. Bahkan, pembuangan limbah tersebut telah mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan alam yang merugikan.
Dari hasil pemeriksaan itu BPK menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral Freeport Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Khususnya, untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Selanjutnya, Banyak Pelanggaran
***
Banyak Pelanggaran
Temuan BPK terkait pengemplangan PNBP tersebut, tentunya menambah deretan masalah yang menerpa tambang emas itu. Bahkan, Pengamat Hukum Sumber Daya dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai potensi kerugian negara bisa lebih besar seharusnya karena ada dan dapat dilihat secara kasat mata tanpa harus melalui audit BPK.
Ia mencontohkan, terkait kewajiban PTFI membayar iuran pinjam pakai kawasan hutan yang merupakan kompensasi bagi perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam kawasan hutan, ini tercatat tidak dilakukan atau tidak dibayarkan padahal ada aturannya yaitu PP PNBP Kementerian Kehutanan.
Selain itu, tambah Redi, royalti yang harusnya dibayar oleh PTFI sebesar 3,75 persen sejak 2012, ternyata baru dibayarkan oleh perusahaan tersebut pada 2014 atau mundur dari waktunya. Begitu pula dengan dividen kepada pemerintah Indonesia yang sudah bertahun-tahun tidak mereka bayarkan.
"Dividen 9,36 persen saham pemerintah pun sudah bertahun-tahun tidak bayar, belum lagi pajak air tanah ke Pemda Papua," kata Redi kepada VIVA.co.id.
Untuk itu, dengan banyaknya pelanggaran kewajiban PTFI kepada Indonesia, harusnya bisa menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia khususnya Kementerian ESDM untuk kembali mengevaluasi perpanjangan operasi perusahaan tambang tersebut usai Kontrak Karya 2021.
Terlebih, lanjut Redi, melihat kewajiban membayar terhadap penerimaan negara yang tidak PTFI turuti dan tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap komitmen divestasi saham 51 persen dan upaya membangun pengolahan emas atau smelter.
"Ini merupakan bentuk keangkuhan Freeport kepada bangsa dan negara. Pemerintah pun terkesan tunduk pada Freeport dan tidak punya nyali bersikap tegas dan keras kepada Freeport," tutur dia.
Selanjutnya, Evaluasi lintas Kementerian
***
Evaluasi Lintas Kementerian
Sementara itu, menanggapi hasil pemeriksaan BPK terhadap pelanggaran yang dilakukan PTFI, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, pihaknya masih mengevaluasi hal tersebut. Apa yang menjadi keputusan pemerintah menanggapi hal tersebut masih dipertimbangkan.
"Kan sedang dievaluasi, ya sudah dievaluasi dulu nanti kita lihat," kata Bambang Gatot kepada VIVA.co.id, Rabu 4 Oktober 2017.
Ia mengungkapkan, atas sejumlah temuan BPK, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terus melakukan koordinasi lebih lanjut. Terlebih dari laporan ini tercatat lebih banyak dilanggar oleh PTFI dari sisi lingkungan hidup.
"Ya terus kita koordinasi dengan, kan lebih banyak itu lingkungan hidup lah, coba tanya ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)," katanya
Bambang mengungkapkan, melihat sejumlah pelanggaran yang terjadi tentu pengawasan terkait lingkungan hidup itu merupakan ranah dari KLHK yang pada akhirnya berimbas kepada berkurangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perusahaan asal Amerika Serikat Itu.
"Ya akibat LH (lingkungan hidup), itu PNBP Minerba, coba tanya orang KLH, karena itu urusan KLH. Enggak, nanti kalau ada hasil dari KLH biasanya apa, nanti dikoordinasikan, dengan kita dan hasilnya, karena tindakan lingkungan kan tindakan pengawasan dari KLH juga," ujarnya.
***
Respons Freeport
Sementara itu, menurut Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, pihaknya akan terlebih dulu mengkaji laporan BPK tersebut. Sehingga, perusahaan bisa lebih detail memberikan klarifikasi mengenai hal ini
"Kami masih melakukan konfirmasi atas laporan tersebut," ujar Riza kepada VIVA.co.id, Rabu 4 Oktober 2017
Ia mengungkapkan, saat ini pihaknya terus melakukan koordinasi dengan semua pihak, khususnya di tingkat internal PTFI. Untuk memastikan bahwa kegiatan usaha dan kewajiban yang dilakukan saat ini sudah sesuai dengan kontrak karya.
"(Kami) konfirmasi di internal," tegasnya.
Perlu diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan penerimaan bea keluar yang berasal dari PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara atau yang dulu dikenal PT Newmont sejak awal tahun hingga Agustus 2017 mencapai Rp2,3 triliun.
“Rp2,3 triliun dari tembaga yang berasal dari New Mont dan Freeport. Kalau ekspor nikel dan bauksit masih sedikit,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi, Jakarta, Senin 18 September 2017.
Bendahara negara pada tahun ini menargetkan setoran bea keluar secara keseluruhan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017 sebesar Rp2,7 triliun. Dibandingkan dengan tahun anggaran 2016, setoran bea keluar tumbuh negatif 10 persen.
Sementara dalam Rancangan APBN 2018, pemerintah menargetkan setoran bea keluar mencapai Rp3 triliun, atau tumbuh 11,1 persen dibandingkan tahun anggaran 2017. Heru mengatakan, setoran bea keluar dari kedua perusahaan tersebut tahun depan ditargetkan masing-masing Rp1,25 triliun. “Sisanya Rp500 miliar dari bauksit dan nikel,” kata Heru. (ren)