Senjata Pembawa Duka Las Vegas

Penembakan Brutal Konser Musik Las Vegas, Puluhan Orang Tewas
Sumber :
  • REUTERS/Las Vegas Sun/Steve Marcus

VIVA.co.id – Minggu malam, 1 Oktober 2017, warga Las Vegas tumpah ruah memenuhi Las Vegas Village, sebuah area terbuka tempat berlangsungnya konser musik “Route 91 Harvest Site.” Konser ini menjadi salah satu tontonan favorit publik Las Vegas.

Tiketnya sudah terjual habis, dan hari Minggu malam, atau Senin pagi WIB adalah hari terakhir pertunjukan.

Sejak Minggu siang, publik sudah memenuhi area pertunjukan. Sejumlah keluarga dengan anak-anak mereka bahkan ikut berdesakan di tengah keramaian. Diperkirakan, penonton pertunjukan di hari terakhir itu mencapai 20.000 orang.

Saat itu, penyanyi Jake Owen baru menyelesaikan pertunjukannya. Ia sedang berjalan melintasi panggung, sedangkan penampil berikutnya, penyanyi country Jason Aldean sudah berdiri di depan mikrofon.

Jason, ditemani kru, istri, dan pemain lainnya mulai memainkan lagu pertama. Tepukan penonton dan keriuhan khas konser musik membuat Owen dan Aldean tak menyadari ada suara lain yang berbeda.

Keduanya berpikir suara gemuruh, yang sebenarnya berasal dari tembakan senjata otomatis, adalah rangkaian kembang api.

Sejurus kemudian, Aldean menyadari, jeritan penonton bukan lagi sambutan untuknya, tapi berubah menjadi pekik ketakutan dan kepanikan.  Owen segera melesat ke belakang panggung, begitu juga Aldean beserta istri dan seluruh krunya yang dengan panik segera mencari tempat aman untuk berlindung.

Puluhan Senapan Koleksi Pelaku

Sementara itu, dari lantai 32 hotel dan kasino Mandalay Bay yang berlokasi di sekitar Las Vegas Village, Stephen Paddock, seorang pria berusia 64 tahun, mantan akuntan yang kaya raya dan juga seorang penjudi profesional terus menembakkan rentetan peluru dari sebuah senapan otomatis.

Ia mengarahkan tembakan ke kerumunan penonton konser music “Route 91 Harvest Site”. Suasana suka cita berubah menjadi duka. Penonton bertumbangan, puluhan ribu orang berlarian dalam kepanikan, mencari perlindungan.  

Departemen Kepolisian Metropolitan Las Vegas mengabarkan 59 orang tewas, dan 527 orang lainnya mengalami luka-luka. Polisi dan tim SWAT berhasil menggerebek kamar tempat Paddock memuntahkan peluru dengan brutal.

Di ruangan kamar, Paddock sudah terbaring tewas. Polisi menyatakan, Paddock tewas menembak dirinya sendiri. Di dalam kamar tersebut polisi menemukan 23 senapan, Beberapa di antaranya adalah senapan yang dilengkapi dengan teropong.

Sherif Joseph Lombardo dari Departemen Kepolisian Metropolitas Las Vegas mengatakan, Paddock menggunakan banyak senapan saat melakukan aksinya. Polisi juga menemukan ratusan amunisi, termasuk dua senapan yang dilengkapi dengan alat teropong dan dipasang di atas tripod di depan dua jendela besar.

Sebuah pejabat yang tak bersedia disebutkan namanya mengatakan bahwa salah satu senjata yang ditemukan adalah senapan serbu berjenis AR-15.

Menurut penjelasan hotel, saat masuk, Paddock membawa 10 koper besar ke dalam kamar. Selain di hotel, polisi juga mengambil 19 senjata api dan bahan peledak, ribuan peluru, dan  sejumlah ‘perangkat elektronik,’ dari rumah Paddock di Mesquite, Nevada.

Kelompok militan ISIS melalui Amaq, media miliknya, mengklaim Paddock adalah pejuang mereka. Ia adalah orang Amerika yang sudah masuk Islam, dan berganti nama menjadi Abu Abd al-Barr al-Amriki.

Aksi penembakan itu dilakukan oleh Paddock sebagai tanggapan atas seruan pimpinan ISIS Abu Bakar al-Baghdadi untuk terus memerangi negara koalisi di seluruh dunia. Namun, ISIS tak menyertakan bukti apa pun atas klaim yang mereka sampaikan mengenai Paddock.

Aaron Rouse, agen FBI yang khusus menangani kasus di Las Vegas mengatakan, sejauh ini tak ada bukti yang bisa memastikan Paddock memiliki kaitan dengan organisasi teroris internasional. Apalagi, dalam beberapa bulan terakhir, kelompok itu dua kali salah mengklaim, yaitu saat terjadi serangan di sebuah kasino di Manila, dan temuan bom di bandara Charles de Gaulle di Paris.

Latar Belakang Paddock menjadi kejutan. Saudara kandung Paddock tak ada yang percaya bahwa ia mampu melakukan tindakan keji itu. “Ia tak memiliki latar belakang keterlibatan dengan senjata. Ia tak memiliki afiliasi keagamaan dengan kelompok apa pun, juga tak memiliki afiliasi politik apa pun. Dia cuma pria biasa yang ingin menghabiskan pensiunnya dengan tinggal di tempat yang tenang, dan bermain judi,” ujar Eric Paddock, seperti  dikutip dari New York Times, Selasa 3 Oktober 2017.

Christopher Sullivan, seorang manajer di toko senapan Gun’s & Guitars yang berlokasi di Mesquite, Nevada, mengakui dalam beberapa tahun terakhir Paddock membeli senjata dari tokonya.

“Ia membeli satu buah senapan tangan, dan satu senapan mesin. Seluruh pembelian tersebut legal dan jelas melalui pengawasan rutin federal,” ujar Sullivan. “Dan ia tak memiliki catatan kriminal,” dia menambahkan.

Sullivan mengaku secara rutin melakukan kontak dengan FBI dan Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak, tak bersedia merinci senjata yang dibeli oleh Paddock.

“Tapi kami selalu bekerja sama dengan pihak berwenang lokal dan federal,” ujarnya. Tapi, Sullivan menyatakan tak merasa ada yang aneh dengan Paddock. “Ia adalah manusia normal, sopan, dan tak ada yang luar biasa. Dan saya tak tahu apa isi pikirannya, saya tak mengenal dia secara personal,” ujarnya.

Selanjutnya, Debat Panas Kepemilikan Senjata


Debat Panas Kepemilikan Senjata

Kepemilikan senjata di AS memang terus menjadi perdebatan panas. Ketika Barack Obama masih menjadi Presiden Amerika Serikat, sempat membuat sejumlah aturan setelah upayanya untuk melakukan amendemen terhadap undang-undang tentang kepemilikan senjata di AS gagal.

Langkah Obama untuk membatasi kepemilikan senjata di AS yang dinilai masih liberal dijegal Kongres yang dikuasai oleh anggota Partai Republik.

Sebelum lengser, Obama mengesahkan aturan, yakni individu yang terlibat dalam bisnis penjualan senjata api harus mendapatkan lisensi resmi. Latar belakang pembeli senjata juga diperiksa ketat.

3 Orang Tewas dalam Penembakan Massal di Universitas Nevada, Las Vegas

“Tujuannya adalah menjaga ‘aktor’ buruk dari senjata api,” kata Loretta Lynch, Jaksa Agung AS saat itu.
 
Persyaratan atau lisensi dari ATF didasarkan pada sejumlah faktor, termasuk apakah para penyalur bermotif meraup uang dengan menjual senjata, seberapa cepat mereka melakukan penjualan dan berapa banyak senjata yang mereka jual. “Aturan-aturan ini akan memberikan pemberitahuan yang jelas kepada orang-orang yang mencoba bersembunyi di balik hobi, padahal mereka menjual demi keuntungan berbisnis,” ujar Lynch seperti dikutip dari USA Today.

Tapi, aturan tinggal aturan. Ketika kepemimpinan berganti dari Obama ke Presiden Donald Trump, perjuangan Obama untuk membatasi kepemilikan senjata semakin sayup. Saat menyampaikan ungkapan duka cita, presiden yang penuh kontroversi itu tak sedikit pun menyinggung soal aturan kepemilikan senjata.

Menurut juru bicara Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders, saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat politik. “Ada waktu dan tempat untuk berdebat soal politik, tapi sekarang adalah waktu untuk bersatu sebagai sebuah negara,” ujar Sarah seperti dikutip dari The Guardians.

Jawaban Sarah seperti kembali menguatkan kepentingan Asosiasi Senapan Nasional (NRA) yang masih menguasai Kongres. Beberapa waktu lalu, Trump memuluskan keputusan Kongres yang menolak membuat aturan untuk mempersulit kepemilikan peredam suara.

Jeka Saragih Cetak Sejarah, Menang KO di Debut UFC

Usulan itu disampaikan Hillary. Rival Trump ini tak ingin pemilik senjata juga dengan mudah memiliki peredam. Tapi, seperti Obama, keinginan Hillary juga dijegal Kongres.

Perdebatan soal mudahnya kepemilikan senjata di AS masih terus menjadi bola panas di Amerika Serikat. Keinginan untuk meredam liarnya kepemilikan senjata melalui serangkaian aturan dirasa tak memadai.

Sementara itu, nyawa orang menjadi taruhan. Setiap tahun, 33 orang di Amerika menjadi korban penembakan. Kasus penembakan massal terjadi nyaris setiap tahun.

Mungkin bagi pebisnis senjata AS, bisnis senjata adalah usaha yang gurih, sehingga nyawa orang tak lagi menjadi pertimbangan utama. Kemampuan mereka melobi Kongres mengalahkan belas kasih atas kehilangan nyawa.

Ironi, negeri yang menjunjung hak asasi manusia, yang jelas mengedepankan nyawa manusia, ternyata melupakan cara untuk melindungi nyawa warganya sendiri.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya