Warisan Budaya Jangan Sampai Hilang
- Facebook Miss Grand International
VIVA.co.id – Ariska Putri Pertiwi, nama itu tahun lalu berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Wanita yang kini berusia 22 tahun ini berhasil meraih gelar Miss Grand International 2016. Wakil Indonesia pertama yang mampu menjadi pemenang di ajang kecantikan sejagat.
Kini, giliran Runner Up 3 Putri Indonesia 2017, Dea Goesti Rizkita bersaing dengan finalis dari 87 negara di dunia untuk mempertahankan gelar tersebut. Sayangnya, menjelang kontes kecantikan yang bakal dihelat pada 25 Oktober 2017 di Phu Quoc Island, Vietnam, kejadian tak menyenangkan menguak di dunia maya hingga ramai di media.
Pemantiknya adalah kostum Miss Grand International 2017 asal Malaysia bernama Sanjeda John dengan membawa Kuda Lumping. Kostum rancangan Hana Yaakob tersebut bakal dikompetisikan dalam ajang yang digelar untuk mencari duta perdamaian dunia pada akhir bulan ini.
Setelah fotonya dengan kostum tersebut beredar di dunia daring, warganet meluncurkan komentar tak sedap. Mereka yang kebanyakan warga Indonesia menyayangkan keputusan pihak Miss Grand Malaysia tak menggunakan kebudayaannya sebagai identitas bangsanya dalam acara berkelas dunia.
"Kenapa Malaysia tidak menggunakan kebudayaannya? Hentikan mengklaim dan menggunakan budaya Indonesia di acara internasional," kata salah satu warganet.
 Akibat kostumnya dengan tema Kuda Warisan yang menciptakan kontroversi, Sanjeda pun bersuara. Melalui akun resmi Miss Grand International, dia berusaha meredakan 'amarah' warganet. Sanjeda mengakui bahwa kostum tersebut memang terinspirasi masyarakat Jawa yang tinggal di bagian utara Johor.
"Pada awal abad 20, migrasi masyarakat Jawa, melalui kapal-kapal perdagangan Belanda dan Jepang, mencari lahan baru membawa budaya, termasuk pertunjukan tari yang unik ini dalam beberapa acara," tulisnya.
Dan pada 1971, Kementerian Pariwisata Johor mengakui tari Kuda Lumping atau Kuda Kepang bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Johor sebagai tanda simbolis kesatuan dan keberagaman budaya bagi masyarakat Johor. Dengan kemiripan sejarah yang kuat, menurut dia, warisan budaya Jawa itu tersebar di seluruh negara bagian utara Johor, Perak, dan Selangor di Malaysia hingga Singapura.
Asal usul Kuda Lumping
Dengan pengakuan tersebut, sudah jelas bahwa Kuda Lumping 'lahir' di Indonesia, tepatnya di tanah Jawa. Kepala Sub Direktorat Warisan Budaya Tak Benda Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Lien Dwiari Ratnawati mengatakan, Indonesia sebagai pemilik kebudayaan tersebut tahu betul sejarah dan asal usul soal kebudayaannya.
"Malaysia sendiri sudah mengakui (Kuda Warisan terinspirasi dari komunitas orang Jawa). Berarti bukan warisan (budaya) mereka. Kita (Indonesia dan Malaysia) memang serumpun, tapi Kuda Lumping itu akar budayanya ada di Indonesia," kata dia kepada VIVA.co.id, belum lama ini.
Menurutnya, dengan pengakuan itu, Malaysia tidak akan bisa mengklaim Kuda Lumping sebagai warisan budaya mereka karena tidak tahu asal usulnya. Kendati demikian, Lien menyayangkan pihak Miss Grand Malaysia yang tidak menyebut asal negara Kuda Lumping tersebut, sehingga berujung kecaman dan kontroversi di dunia maya.
Meski begitu, kejadian ini membuat nama Kuda Lumping makin besar dan mendunia. Di sisi lain, Lien meyakini, orang yang tertarik dengan Kuda Lumping, pasti akan mencari tahu sejarah dan akan diketahui asal usulnya, sehingga tak perlu khawatir warga dunia akan 'tersesat' mengenai sejarah Kuda Lumping.
Setali tiga uang dengannya, Direktur Budaya Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Sulistyo Tirtokusumo mengatakan, kejadian yang menghebohkan itu membuat Kuda Lumping justru semakin dikenal. Soal pemakaian Kuda Lumping oleh wakil Malaysia, menurut dia, sebenarnya tak masalah, namun harus disertakan asal muasal kebudayaan tersebut.
"Sehingga masyarakat dunia juga tahu kalau seni Kuda Lumping dari Jawa, Indonesia," ujar seniman tersebut kepada VIVA.co.id.
Mengenai asal usul Kuda Lumping atau Jaran Kepang, dari beberapa sumber disebutkan bahwa Kuda Lumping merupakan salah satu tari kesenian khas yang berasal dari Pulau Jawa. Para penari mengenakan peralatan berupa kuda tiruan dari anyaman bambu atau kepang bambu yang diberi cat warna warni dan diberi motif seperti kuda dan rambut palsu.
Banyak versi sejarah mengenai makna di balik tarian Kuda Lumping, mulai dari bentuk dukungan rakyat terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda hingga kisah tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Namun, di balik itu semua, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri di tengah peperangan. Hingga kini, tarian Kuda Lumping masih sering ditemui di berbagai daerah di Pulau Jawa terutama dalam acara-acara tradisional.
Saat pentas, para penari akan menarikan empat fragmen (bagian) tarian, dimulai dari tarian Buto Lawas yang diperagakan sebanyak dua kali, tarian Senterewe, serta tari Begon Putri. Dalam penampilannya, kadang diselipkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, kekebalan tubuh dengan dihujani cambukan pecut dan lain-lain.
Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, tarian Kuda Lumping juga diwariskan oleh orang Jawa yang menetap di Sumatera, juga beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia. Banyak daerah mengklaim memiliki kesenian ini, namun dengan ciri khas Kuda Lumping yang berbeda, baik dari segi kostum, musik maupun tarian.
Tari Kuda Lumping biasanya diiringi alat musik tradisional Jawa, seperti gamelan, gendang serta nyanyian berbahasa Jawa yang menceritakan alur tari Kuda Lumping itu sendiri. Menurut Lien, budaya Kuda Lumping memang beraneka ragam.
Berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2010-2016, ada 19 jenis seni pertunjukkan Kuda Lumping. Kesenian ini berasal dari Jawa Barat, Banten, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, namun didominasi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Â
"Namun yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia adalah Jathilan dari Yogyakarta dan Kuda Gelang Seba dari Kalimantan Selatan," ujarnya.
Upaya Pemerintah
Di sisi lain, meski sudah tercatat oleh pemerintah Indonesia, sehingga Malaysia tak bisa mengklaimnya, namun Puteri Indonesia 2016, Kezia Warouw khawatir hal tersebut akan berbuntut panjang. Sebab, ini bukan kali pertama negeri Jiran Malaysia menjadikan budaya Indonesia sebagai budaya mereka.
Sebelumnya, negara itu sempat mengklaim Tarian Tor Tor, alat musik Gondang 9, lagu Rasa Sayange sebagai milik mereka. Tak hanya itu, batik, keris dan Reog Ponorogo juga tak luput dari klaim Malaysia.
"Kalau bisa, seluruh kekayaan baik dari alam maupun budaya dari Indonesia dipatenkan saja. Indonesia dari Sabang sampai Merauke, ada 34 provinsi dan masing-masing kota, atau kabupaten memiliki ciri khasnya masing-masing. Ini harus dijaga, karena sayang kalau diambil negara lain," tutur Kezia.
Mengenai hal ini, Sulistyo menjelaskan bahwa tak perlu khawatir soal masalah klaim budaya lantaran dunia memiliki wasit yang menangani perkara itu, yakni United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Kendati demikian, untuk melindungi dan memperkuat kebudayaan memang perlu adanya hak cipta.
"Selain itu, saran saya agar lebih panjang dan eksis kebudayaan Indonesia, haruslah mengutamakan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Ini bisa membuat budaya kita lebih berkembang dan lestari," ucap dia.
Dan tak hanya pemerintah pusat maupun daerah, semua elemen masyarakat Indonesia bersama-sama wajib bertanggung jawab mengapresiasi budaya Indonesia agar tetap bertahan dan meregenerasi.
Soal itu, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud, Nadjamuddin Ramly mengatakan, Kemdikbud telah melakukan pencatatan, penetapan warisan budaya tak benda sebagai bentuk pelindungan negara. Publikasi yang benar dan tepat juga dibutuhkan untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional.
"Karena kebudayaan Indonesia itu sangat banyak, tercatat sampai tahun 2016 ada 7.241 dan akan semakin banyak lagi di tahun-tahun mendatang," ujarnya kepada VIVA.co.id.
Banyaknya suku bangsa di Indonesia, sehingga perlu upaya bersama terutama pemerintah daerah untuk mengangkat dan mempublikasikan aset budaya di daerahnya masing-masing agar lebih dikenal oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat internasional. Selain itu, juga dibutuhkan peran komunitas karena mereka pemilik warisan budaya sebenarnya.
Tanpa komunitas yang terus melestarikannya, warisan budaya akan hilang dengan sendirinya. Dukungan pemerintah daerah sebagai lembaga negara yang terdekat dengan komunitas juga sangat dibutuhkan dengan melakukan inventarisasi warisan budaya di wilayahnya masing-masing dan pendukungan lainnya dengan melibatkan bidang lain, seperti Kementerian Pendidikan untuk proses transmisi nilainya, Bekraf, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian untuk pengembangan dan pemanfaatannya.
Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM untuk aspek legalnya terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual komunal. Terpenting adalah publikasi dan media yang membentuk opini publik terhadap warisan budaya khususnya tak benda yang dimiliki.
"Kemdikbud sendiri sebagai lembaga yang bertanggungjawab untuk kebudayaan melalui UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan akan membuat regulasi turunannya yang akan dikembangkan dengan mengajak seluruh kementerian terkait, sehingga urusan kebudayaan ini akan menjadi urusan bangsa Indonesia secara keseluruhan," ujar dia. (umi)