Singapura di Tangan Anak Pedagang Kaki Lima
- REUTERS/Edgar Su
VIVA.co.id – Singapura mencatat sejarah baru. Untuk pertama kalinya, negara ini akan memiliki presiden bergender perempuan, dan seorang muslimah. Selama ini presiden negara itu adalah laki-laki dan multietnis.
Diberitakan oleh Strait Times, 12 September 2017, Badan Pemilu Singapura (ELD) mengumumkan, dari lima kandidat presiden, hanya satu orang yang berhasil mendapatkan dua sertifikat, yaitu Sertifikat Kesesuaian dan Sertifikat Masyarakat. Dua sertifikat ini adalah syarat kelayakan menjadi Presiden Singapura. Orang itu adalah Halimah Yacob, seorang perempuan yang terkenal karena konsistensinya dalam perjuangan isu-isu sosial kemasyarakatan.
Halimah Yacob memang bukan perempuan sembarangan. Ia sudah bergerak selama 20 tahun lebih dalam isu-isu sensitif itu. Muslimah kelahiran 23 Agustus 1954 ini memiliki campuran darah India dan Melayu. Ia adalah mantan anggota Partai Aksi Rakyat atau PAP, dan sempat menjadi anggota parlemen antara tahun 2001 hingga 2017 untuk dua konstituen berbeda.
Bulan Januari hingga Agustus 2017, ia menjadi ketua Parlemen Singapura. Pada 7 Agustus 2017 ia mengundurkan diri dari posisi di parlemen untuk bertarung dalam pemilu presiden.
Anak Pedagang Kaki Lima
Ibunda Halimah Yacob adalah seorang pedagang kecil. Ia berjualan teh dan kopi, juga nasi padang. Setiap pulang sekolah, Halimah cilik segera mendatangi kedai milik ibunya di Shenton Way, pusat kota Singapura. Ibunya berdagang sejak pukul 4 pagi hingga 10 malam dan sejak pulang sekolah hingga tutup kedai, Halimah akan terus menemani ibunya.
"Ibunya meninggal dunia dua tahun lalu. Jika saja masih ada, pasti ibunya akan sangat bangga," ujar Saleemah, rekan sesama aktivis perempuan Halimah Yacob.
Bagi Saleemah, terpilihnya Halimah sebagai presiden Singapura menjadi hal yang signifikan. Karena itu bisa menjadi acuan bagi ibu-ibu lain dari kalangan akar rumput untuk ikut berbesar hati bahwa kelka anak-anak mereka juga bisa menjadi pejabat negara.
"Kalau Halimah yang anak penjual makanan di gerai, menjadi pendorong kedai di tepi restoran dan menjual makanan, maka anak-anakku juga bisa menjadi presiden," ujarnya.
Ayah Halimah adalah seorang penjaga keamanan. Ia meninggal karena serangan jantung saat Halimah baru berusia delapan tahun. Sejak itu ibunya berdagang untuk menghidupi Halimah dan empat saudaranya. Sebelumnya, sang ibu berdagang menggunakan gerobak dorong, hingga akhirnya memperoleh lisensi untuk menjadi pedagang kaki lima.
Halimah adalah satu-satunya anak dalam keluarga tersebut yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Ia lulus sebagai Sarjana Hukum dari University of Singapore pada 1978. Ia lalu menjadi pekerja hukum di National Trade Union Congress (NTUC). Ia berkarier di sana selama 33 tahun.
Di NTUC, Halimah mengembangkan unit bantuan hukum dan pengembangan perempuan. Ia juga menjadi orang Singapura pertama yang duduk di badan pemerintahan Organsisasi Buruh Internasional (ILO), sejak 1999 hingga 2011. Dia juga menjadi orang Singapura pertama di badan pemerintahan Organisasi Perburuhan Internasional, di mana dia duduk dari tahun 1999 hingga 2011.
Pada 2001, dia mendapatkan gelar Master Hukum dari National University of Singapore. Dia masuk politik pada tahun yang sama dan terpilih sebagai anggota parlemen di Jurong GRC. Ia terpilih dua kali, yaitu pada 2006 dan 2011. Halimah memusatkan karier di NTUC.
Ia menjadi asisten Sekretaris Jenderal NTUC dari 1999 hingga 2007, dan akhirnya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal dari tahun 2007 hingga 2011. Tahun itu juga ia diangkat menjadi menteri Pengembangan Masyarakat, Pemuda dan Olahraga dari tahun 2011 hingga 2012, setelah itu dia pindah ke Kementerian Sosial dan Keluarga.
Ia memimpin Kementerian Sosial dan Keluarga hingga diangkat menjadi ketua Parlemen. Di usia 58 tahun, ia menjadi wanita pertama yang memegang jabatan tersebut.
Halimah juga terus membangun reputasi sebagai pejuang buruh, wanita, dan orang miskin. Ia dikenal sebagai seorang yang ramah dan hangat. Dikutip dari Strait Times, hal paling menyedihkan dalam hidup Halimah adalah ketika ibunya meninggal dunia. Ibunya meninggal dunia tepat di hari pemungutan suara pada pemilu 2015.
Selanjutnya, Tugas Berat Halimah
Tugas Berat Halimah Yacob
Kini, perempuan berusia 62 tahun itu terpilih menjadi Presiden Singapura. Terpilihnya Halimah membawa warna sendiri bagi negara kecil itu. Halimah dari etnis Melayu, Muslimah, dan usianya sudah tak muda lagi. Ia juga bukan berasal dari kelompok elite.
Ia hanya seorang anak pedagang nasi padang. Namun ia mendapat sambutan luas. Halimah sadar, tugasnya sebagai presiden tak mudah. Posisi presiden di Singapura berbeda dengan di Indonesia. Presiden di Singapura tak berhak mengganti menteri, tak berhak memimpin kabinet, juga tak berhak mengendalikan keamanan negara, karena itu menjadi ranah Perdana Menteri.
Namun ia memiliki tugas berat lainnya, kondisi dalam negeri dan warga menjadi tanggung jawabnya. Saleemah, sahabat Halimah yang juga aktivis perempuan, juga mengakui tugas berat itu. Salah satu tugas utama itu adalah menyatukan perbedaan. Singapura adalah negara multietnis.
Di sana ada Melayu, China, dan India. Agama di Singapura juga beragam, ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Saleemah mengakui, saat ini terjadi belahan antar etnis dan agama. Mungkin sama seperti di Indonesia, ‘gesekan’ antar agama, ras, dan etnis mulai menguat di Singapura. Negara itu butuh tokoh yang mampu menyatukan perbedaan itu. Dan terpilihnya Halimah dianggap tepat.
"Sekarang kita sedikit banyak ada berbelah-belah, bukan saja antar bangsa, tetapi juga antar agama. Jadi kerjanya adalah menyatukan semua hal ini. Ini tugas yang sungguh berat untuk menyatukan kaum dengan banyak bangsa ini. Tapi saya yakin Ibu Halimah mampu melakukannya," ujar Saleemah.
Apa yang disampaikan Saleemah ternyata sejalan dengan Halimah. Saat diwawancara oleh Channel News Asia, Halimah mengakui salah satu peran presiden adalah menjadi pemersatu.
"Salah satu fokus dan fungsi utama presiden terpilih adalah bertindak sebagai kekuatan pemersatu. Saya ingin warga Singapura bekerja sama dengan saya. Presiden mewakili seluruh ras, agama, dan komunitas di Singapura," dia menegaskan.
Terpilihnya Halimah juga membuat publik akar rumput Singapura memiliki harapan baru. Mereka bisa menjadi presiden, meski bukan berasal dari kalangan elite. Halimah adalah anak pedagang kaki lima, dan ia mampu menjadi presiden.
Halimah adalah perempuan, dan beragama Islam, tapi ia terpilih memimpin negara dengan pemeluk keyakinan yang beragam. Halimah seperti menjadi angin segar bagi Singapura.
Sebentar lagi Halimah Yakob akan menjabat resmi posisi Presiden Singapura. Meski posisinya tak sestrategis Perdana Menteri, tapi peran pentingnya tak mungkin diabaikan. Mungkin di tangan ibu energik yang usianya menjelang senja itu warga Singapura akan merasakan keteduhan dan kenyamanan hidup dalam perbedaan agama, etnis, dan ras. Perbedaan bisa menjadi persatuan, dan kekuatan. Publik Singapura menunggu Ibu Halimah.