Kasus Debora, Bukti Rumah Sakit Anggap Remeh Nyawa Manusia
- Google Street View
VIVA.co.id - Ungkapan satir bahwa orang miskin dilarang sakit selalu menemukan bukti sahih setiap timbul korban. Tiara Debora, bayi perempuan berusia empat bulan, menyempurnakan keakuratan ungkapan itu.
Bocah manis anak pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi ini menutup mata di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta, pada Minggu dini hari, 10 September 2017. Debora mengembuskan napas terakhirnya setelah kondisi kesehatannya terus memburuk sejak dini hari itu dan puncaknya saat pagi menjelang siang.
Manajemen rumah sakit menyatakan bahwa tim medis telah berupaya optimal menyelamatkan Debora, yang disebut lahir prematur serta memiliki riwayat penyakit jantung bawaan dan keadaan gizi kurang baik. Tetapi ayah dan ibunya tak menerima begitu saja pembelaan manajemen rumah sakit. Soalnya mereka menganggap tim medis tak memberikan tindakan maksimal gara-gara perkara uang muka biaya perawatan.
Selanjutnya...
***
Bayar kalau mau selamat
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, melalui siaran pers yang dipublikasikan di laman Mitrakeluarga.com, mengklaim sebenarnya sudah berupaya menolong Debora yang terserang flu dan batuk selama seminggu sebelumnya.
Dalam keterangan tertulis itu, tim dokter telah melakukan tindakan, di antaranya penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas), bagging atau pemompaan oksigen dengan tangan melalui selang napas, infus, obat suntikan, dan diberikan pengencer dahak (nebulizer). Pemeriksaan laboratorium dan radiologi pun sudah.
Kondisi Debora tak membaik sehingga seorang dokter menyarankan dirawat di ruang pediatric intensive care unit (PICU). Ayah dan ibunya pasrah saja saran dokter, yang penting Debora selamat. Mereka menyetujui Debora dirawat di PICU. Masalahnya, untuk dirawat di fasilitas khusus itu ada biayanya, yaitu Rp19,8 juta--itu baru uang muka, bukan biaya keseluruhan.
Malang lagi karena orangtua Debora tak memiliki uang sebanyak itu. Mereka hanya punya lima juta rupiah, dan uang tunai yang baru ditarik dari mesin anjungan tunai mandiri itu langsung diserahkan kepada petugas administrasi. Memang masih kurang Rp14,8 juta tapi Rudianto dan Henny berjanji segera melunasinya, yang penting Debora dirawat dulu. Sayangnya uang lima juta itu ditolak.
Rumah Sakit Mitra Keluarga menyarankan agar Debora dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas PICU dan menerima pasien anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Saran itu disampaikan karena Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres belum bermitra dengan BPJS.
Rudianto maupun Henny sudah menghubungi sejumlah rumah sakit segera setelah Debora disarankan dirujuk. Namun mereka tak juga mendapatkan ruang PICU kosong untuk merawat putrinya. Debora tak dapat menunggu lebih lama lagi. Kondisinya kian memburuk hingga dokter menyatakan bayi mungil itu meninggal dunia pada pukul 09.35 WIB. (Klarifikasi RS Mitra Keluarga atas Kematian Bayi Debora)
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres belum mengklarifikasi seputar kabar panjar biaya perawatan di PICU itu karena tak disebut-sebut dalam siaran persnya. Pada Minggu siang, VIVA.co.id mencoba menghubungi nomor operator rumah sakit itu agar disambungkan dengan petugas bidang hubungan masyarakatnya namun tak diizinkan. Si petugas operator menyarankan VIVA.co.id menghubungi lagi Senin.
Nona N Rita, petugas Bagian Hubungan Masyarakat Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, menolak berkomentar perihal itu ketika dihubungi VIVA.co.id pada Minggu sore. Dia hanya mengatakan bahwa penjelasan dalam siaran pers yang dipublikasikan di laman Mitrakeluarga.com itu sudah memadai, dan akan diterbitkan siaran pers baru jika diperlukan nanti.
Selanjutnya...
***
Nyawa dipingpong
Rumah sakit tersebut dikecam warganet gara-gara dilaporkan meminta bayaran dulu padahal si pasien sudah jelas-jelas sekarat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan menengarai Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres telah menelantarkan pasien Debora.
Memang, rumah sakit itu telah memberikan pertolongan pertama kepada Debora. Namun mengingat kondisi bayi sudah gawat, seharusnya Rumah Sakit memberikan pertolongan dengan fasilitas PICU yang dimilikinya. "Bukan malah mempingpong pasien untuk ke rumah sakit lain dengan alasan pasien tidak mampu menyediakan sejumlah uang yang ditentukan," kata Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, melalui keterangan tertulisnya yang diterima VIVA.co.id.
"Sebuah pelanggaran regulasi dan kemanusiaan," Tulus memperingatkan, "jika pihak rumah sakit menolak pasien dengan alasan pasien tidak mampu membayar uang muka yang ditentukan, sementara kondisinya sudah gawat."
Dia tak ragu menyebut petaka yang menimpa bayi pasangan suami-istri warga Tangerang, Banten, itu ialah ironi; rumah sakit yang seyogianya dikelola dengan basis kemanusiaan dan tolong menolong, tetapi justru dikelola dengan basis komersialistik.
Peringatan Tulus selaras dengan perintah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Disebutkan dengan terang dalam pasal 32 ayat 1, "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu."
Ditegaskan lagi pada pasal 36 ayat 2 bahwa "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka."
Tengara komersialistik Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres seperti disampaikan Tulus diatur juga dalam undang-undang yang sama pada pasal 23 ayat 4: "Selama memberikan pelayanan kesehatan ... dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi."
Selanjutnya...
***
Hukuman pidana
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta geram dengan Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres yang mengutamakan biaya ketimbang menyelamatkan nyawa si bayi. "Kenapa tidak ditolong dulu, masa karena cuma uang," gugat Weningtyas Purnomorini, Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat.
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Weningtyas mengingatkan, bisa disanksi jika terbukti mengabaikan Debora sehingga si pasien meninggal dunia. Namun dia tak menyebutkan dengan lugas jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada rumah sakit itu. Dia hanya mengatakan bahwa sanksi bisa berupa sanksi administrasi, teguran lisan, sampai surat peringatan.
Dinas Kesehatan telah menjadwalkan memeriksa pihak-pihak yang bertanggung jawab pada rumah sakit itu untuk mengetahui duduk perkara sesungguhnya. Baru setelah itu dapat ditentukan jenis kesalahannya, menyusul sanksinya.
Jenis sanksi yang diamanatkan Undang Undang tentang Kesehatan sesungguhnya tak seringan yang disebutkan Weningtyas. Disebutkan dalam undang-undang itu bahwa dalam keadaan darurat, rumah sakit ataupun fasilitas layanan kesehatan lainnya, pemerintah maupun swasta, "... wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu."
Nah, diatur ketentuan pidananya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 190 ayat 1, "Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat ... dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."
Hukuman yang lebih berat lagi diatur dalam ayat 2 pasal yang sama, yaitu "Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Kementerian Kesehatan bersikap normatif atas kasus Debora, yakni menunggu hasil penyelidikan menyeluruh, baru menentukan sanksi ataupun hukumannya. Kementerian sebatas menganjurkan agar sistem komunikasi antarrumah sakit lebih ditingkatkan demi mencegah penanganan terlambat hanya gara-gara sedang mencari fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Begitu juga komunikasi antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan agar tak ada lagi rumah sakit yang beralasan belum bermitra, kemudian menolak pasien. (one)