Mengawal 51 Persen Saham Freeport
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA.co.id – Negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia hampir memasuki babak final. Beberapa poin diklaim telah disepakati kedua pihak.
Bahkan, untuk mempertegas komitmen Freeport akan hasil dari perundingan tersebut, Chief Executive Officer Freeport McMoRan, induk usaha Freeport Indonesia di Amerika Serikat, Richard Adkerson, Selasa 29 Agustus 2017, bersama pemerintah menggelar konferensi pers mengenai poin-poin yang telah disepakati.
Baca juga: Negosiasi Freeport dengan Pemerintah Belum Tuntas
Pemerintah pun mengklaim 'menang' dari Freeport dalam negosiasi tersebut. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam dalam akun Instagramnya @smindrawati membangga-banggakan kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang akhirnya mampu 'merebut' kembali tambang Freeport setelah dikuasai asing selama 50 tahun.
"Suatu hasil perundingan yang luar biasa. Selama ini saham pemerintah hanya 9,36 persen," tulis Ani sapaan akrab Sri Mulyani.
Beberapa poin yang disepakati pemerintah dan Freeport Indonesia antara lain, Freeport sepakat mengubah dasar hukum kerja samanya dengan pemerintah dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Kedua, Freeport juga sepakat divestasi saham sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia. Hal teknis terkait divestasi tersebut akan dibahas oleh tim yang dibentuk oleh kedua pihak.
"Kalau harga pasti negosiasi, kalau timing itu sedang dibicarakan, dan timing diharapkan dapat selesai pada pekan ini," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, dalam konferensi pers tersebut.
Ketiga, Freeport akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter dalam tempo 5 tahun atau selambat-lambatnya selesai 2022. Kecuali ada kondisi force majeur yang menghambat proses tersebut.
Dan keempat, Freeport menjamin adanya stabilitas penerimaan negara yang didapat dari kegiatan usahanya. Karena secara agregat, penerimaan negara yang dibayarkan saat ini seharusnya lebih besar dibanding kewajiban yang mengacu pada kontrak karya selama ini.
Meski demikian, hal tersebut harus didukung dengan jaminan fiskal dan hukum dari pemerintah yang terdokumentasi untuk Freeport Indonesia.
Sementara itu, Richard mengatakan, akan menaati poin-poin kesepakatan dengan pemerintah. Termasuk divestasi saham, perubahan KK menjadi IUPK hingga pembangunan smelter.
"Kami ingin menekankan kesediaan kami untuk melakukan divestasi 51 persen dan untuk membangun smelter adalah konsesi dan kompromi utama dari pihak kami. Kami menghargai kepemimpinan Presiden Joko Widodo," ujarnya.
Selanjutnya, Bersyukur atau Sedih
***
Bersyukur atau Sedih
Klaim keberhasilan pemerintah Jokowi dalam negosiasi dengan Freeport menuai tanggapan beberapa pihak. Salah satunya Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean. Dia mengaku bingung harus bersyukur atau sedih atas kabar dari pemerintah ini.
Kepada VIVA.co.id, dia mengungkapkan alasannya. Dia bersyukur karena pemerintah setidaknya mengaku berhasil dalam negosiasi tersebut. Namun, sedih karena keberhasilan itu untuk siapa.
"Dan apakah sesungguhnya negosiasi itu layak disebut keberhasilan? Masih butuh pembuktian lebih jauh ke depan," ujarnya, Rabu 30 Agustus 2017.
Baca juga: JK Minta Divestasi Freeport Sesuai Peraturan Pemerintah
Menurut dia, pemerintah terlalu sesumbar mengenai hal ini. Terlebih lagi belum jelas bagaimana skema divestasi saham dan dari mana uang yang akan digunakan pemerintah untuk membeli saham itu.
Karena, Ferdinand menjelaskan, sejatinya pemerintah atau negara baru bisa berdaulat secara penuh terhadap tambang Freeport, jika divestasi tersebut 100 persen menggunakan dana APBN. Bukan dibeli swasta nasional, yang notabene mendapatkan pinjaman dari asing seperti China, misalnya.
Atau, dia melanjutkan, pura-pura diambil swasta nasional, yang ternyata ada Freeport di belakang perusahaan tersebut. "Itu sama saja lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau," ujarnya.
Bila mengikuti keadaan keuangan pemerintah saat ini, kecil kemungkinan APBN mampu membeli divestasi 51 persen saham. Berdasarkan harga pasar, nilai divestasi itu ditaksir sekitar US$8 miliar atau sekitar Rp100 triliun.
Richard mengakui, Freeport tentu akan memberikan sisa dari 41,64 persen saham tersebut sesuai dengan nilai pasar yang wajar. "Kami telah sepakat meningkatkan kepemilikan Indonesia dari 9,36 persen jadi 51 persen dari waktu ke waktu dengan cara yang memberi kompensasi pada nilai pasar wajar," tuturnya.
Kemampuan APBN untuk menggelontorkan anggaran tersebut diragukan. Apalagi, saat ini pemerintah sedang kesulitan dalam mencari dana untuk pembangunan infrastruktur.
Ferdinand mencontohkan, untuk proyek Light Rail Transit (LRT) misalnya, pemerintah masih kesulitan untuk mendapatkan dana kekurangan proyek itu sebesar Rp5 triliun. Baca juga: Jadi IUPK, Izin Operasi Freeport Sampai 2041
Dia menjelaskan, saham 51 persen itu sesungguhnya dapat dimiliki pemerintah secara gratis. Caranya, dia menjabarkan, langkah pertama pemerintah harus menyatakan dengan tegas sejak saat ini bahwa kontrak Freeport Indonesia berakhir atau diakhiri serta tidak diperpanjang setelah berakhir pada 2021.
"Dengan demikian, seluruh aset dan cadangan tambang Freeport kembali 100 persen ke Indonesia. Catat 100 persen, bukan cuma 51 persen, gratis dan tidak perlu bayar," katanya.
Apabila pemerintah tidak bisa mengelola sendiri, Ferdinand meminta untuk mengumumkan secara terbuka tender internasional guna pengelolaan bekas tambang Freeport. Dengan syarat membentuk perusahaan baru antara pemerintah RI dan operator dalam bentuk joint venture, di mana saham Indonesia 51 persen dan operator 49 persen.
"Artinya, Indonesia dapat saham gratis 51 persen. Tender ini kemudian mengikuti syarat-syarat pajak dan bagi hasil. Mudah bukan? Tidak perlu ruwet," ungkapnya.
Dia pun berharap pemerintah bijak mengenai masalah ini. Daripada membayar Rp100 triliun untuk membeli divestasi saham Freeport hanya mendapatkan dividen lebih dari Rp1 triliun per tahun, lebih baik dana itu ditempatkan di pasar uang dengan bunga 2 persen, atau untung Rp2 triliun per tahun.