Celah Baru Perang Tarif Taksi Online

Ilustrasi Layanan taksi berbasis aplikasi online, Uber.
Sumber :
  • Reuters/Kai Pfaffenbach

VIVA.co.id – Polemik layanan transportasi berbasis online masih berlanjut. Ini setelah aturan yang dibuat pemerintah – dalam hal ini Kementerian Perhubungan – soal tata kelola angkutan berbasis online dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Bagi hakim di MA, Peraturan Menteri Perhubungan itu dianggap tidak berkeadilan dan menyimpang dari undang-undang.

MA pada 20 Agustus lalu mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek. 

Para pemohon yang keberatan atas Permenhub Nomor PM.26 tahun 2017 yang dikabulkan oleh MA itu adalah Sutarno, Endru Valianto Nugroho, Lie Herman Susanto, Iwanto, Johanes Bayu Sarwo Aji, Antonius Handoyo.

Dalam putusan MA Nomor 37 P/HUM/2017 ada beberapa pasal yang yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, dan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 

"Karena tidak menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah," tulis putusan MA Nomor 37 P/HUM/2017 itu.

MA juga melihat fakta di lapangan tentang Angkutan Sewa Khusus ini telah berhasil mengubah bentuk pasar dari monopoli ke persaingan pasar yang kompetitif, dengan memanfaatkan keunggulan dari sisi teknologi dan bermitra dengan masyarakat.

Selain itu, MA mempertimbangkan bahwa Angkutan Sewa Khusus berbasis aplikasi online merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dalam moda transportasi saat ini. Yang menawarkan pelayanan yang lebih baik, jaminan keamanan perjalanan dengan harga yang relatif murah dan tepat waktu.

penyusunan regulasi bidang transportasi berbasis teknologi dan informasi tidak didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di bidang jasa transportasi.

Permenhub Nomor PM.26 tahun 2017 sendiri merupakan revisi Peraturan Menteri Perhubungan No 32 Tahun 2016 yang sejatinya sudah berlaku pada tahun lalu. Karena mengalami revisi, aturan itu baru resmi berlaku pada 1 April tahun ini. 

Ada 11 poin utama mengenai pengoperasian angkutan berbasis online yang diatur pemerintah dalam permenhub itu. Namun, sejak diberlakukan pada April tidak semuanya langsung berlaku secara efektif. 

Ada masa transisi selama tiga bulan yang diberikan Kemenhub untuk para pemangku kepentingan untuk bersiap. Salah satunya mengenai tarif batas atas dan bawah, serta  kuota angkutan berbasis online atau taksi online yang boleh beroperasi. 

Baca juga: Selamat Tinggal Tarif Murah Transportasi Online

Dengan fakta tersebut, artinya MA menganulir aturan tersebut sebelum berlaku secara penuh. Sehingga efektifitas dari aturan tersebut belum bisa diukur dengan maksimal, dan ditakutkan menyulut konflik baru di sektor ini.

Selanjutnya...Keresahan Baru

Keresahan Baru

Keputusan MA menganulir aturan transportasi online tersebut menuai kritik dari berberapa pihak. Pertimbangan MA memutuskan hal tersebut dengan hanya berdasarkan dua UU dirasa masih kurang kuat. 

Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, ketika berbincang dengan VIVA.co.id beberapa waktu lalu, penggunaan UU UMKM sebagai dasar keputusan itu kurang tepat. Sebab, pelaku usaha penyedia transportasi online jelas bukanlah masuk kategori UMKM. 

"Tapi pemodal besar yang berlindung seolah UMKM," ungkappnya. 

Selain itu mengenai tarif yang ditetapkan, sudah seharusnya di atur pemerintah. Kekhawatirannya, ketika subsidi tarif yang digelontorkan oleh perusahaan penyedia transportasi online dihentikan, tarif yang dibebankan ke konsumen tidak terkontrol. 

"Akhirnya juga (tarif) tidak akan murah selamanya," tambanya. 

Lebih lanjut Djoko mengatakan, keputusan MA tersebut seharusnya mempertimbangkan pendapat ahli dan lembaga terkait. Observasi aktivitas transportasi dilapangan juga seharusnya dilakukan sebelum memutuskan hal tersebut. 

Pertimbangan UU Perlindungan Konsumen dan UU Persaingan Usaha dan Anti Monopoli juga sangat diperlukan. Untuk  memastikan kepertingan konsumen terkait hal ini bisa diakomodir dengan baik. 

"Hendaknya hakim di MA sebelum memutuskan iti, mau mendengarkan banyak stakeholder secara langsung, misalnya Organda (Organisasi Pengusaha Angkutan Darat), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), MTI (Masyarakat Transportasi Indinesia), dan akademi bidang transportasi," tegasnya. 

Masyarakat Transportasi Indonesia mendesak pemerintah untuk segera membereskan persoalan aturan transportasi online, yang timbul dari keputusan MA ini. Hal ini dilakukan, demi menghindari konflik bisnis yang terjadi di lapangan antar sesama layanan transportasi.

Ketua Umum MTI Danang Parikesit mengungkapkan, beberapa pertimbangkan MA menganulir sejumlah pasal aturan transportasi online diharapkan segera diakomodir pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Terutama, bagaimana mengakomodir bisnis model transportasi online.

“Seperti di Filipina, (transportasi online) diperlakukan berbeda dengan taksi. Sehingga tidak membanding-bandingkan,” kata Danang, saat ditemui di Jakarta, Rabu 23 Agustus 2017.

Menurut Danang, jika aturan tersebut dibiarkan terlalu lama, dikhawatirkan akan timbul perselisihan antara sesama penyedia layanan transportasi. Sebab disatu sisi, penyedia layanan transportasi konvensional memiliki dasar dan acuan hukum yang jelas, sementara penyedia transportasi online sebaliknya.

“Taksi online diatur agar negara hadir di situ, sehingga masyarakat terlindungi. Jangan dibiarkan sendiri,” ujarnya.

Selanjutnya...Celah Baru Perang Tarif

Celah Baru Perang Tarif

Sementara itu, Organda DKI Jakarta mengaku bingung akan keputusan Mahkamah Agung (MA) itu. Khususnya terkait pasal yang mengatur tarif dan kuota layanan taksi berbasis online. 

Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan menjelaskan, dengan dianulirnya aturan itu, pengusaha penyedia angkutan online bisa seenaknya menentukan tarif yang dibebankan ke masyarakat.

Keputusan MA ini, menurutnya, juga berisiko pula membangkitkan kembali rezim perang diskon tarif antar perusahaan penyelenggara angkutan online itu. Hal itu jelas merugikan pengusaha transportasi lainnya yang tarifnya telah diatur pemerintah.

"Masa hanya sebuah perusahaan aplikasi yang milik asing bisa mengatur tarif sendiri di negara lain. Sementara di negara kita ini, semua kegiatan-kegiatan yang menyangkut angkutan umum baik untuk orang dan barang kita diatur melalui UU LLAJ, kemudian ditindaklanjuti dengan PP 74  dan seterusnya," ujar dia kepada VIVA.co.id, Rabu 23 Agustus 2017. 
 
Menganggapi hal ini, Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (ORASKI) mengimbau agar pada penyedia angkutan online bijak menyikapi keputusan MA ini.  

"Jangan lagi terjadi perang tarif yang menyebabkan pengemudi online menjadi korban," ujar Sekjen ORASKI Fahmi Maharaja dikutip dari keterangannya, Rabu 23 Agustus 2017. 

Sejatinya menurut dia, tarif memang diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun, untuk melindungi para pengemudi online maka ORASKI mendesak seluruh perusahaan penyedia aplikasi yaitu Grab,  Gocar, dan Uber  untuk duduk bersama mengkaji masalah tarif ini.

"Jangan sampai tarif bawahnya justru akan mengakibatkan "predatory pricing"," tegasnya. 

Data Kemenhub: Pelita Air Jadi Maskapai yang Berhasil Pertahankan OTP di Atas 90 Persen

ORASKI juga menghimbau, Kementerian Perhubungan untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan peraturan yang memiliki konsekuensi hukum. Produk hukum yang dikeluarkan sejatinya harus benar-benar mempertimbangkan UU yang menjadi dasar di keluarkannya peraturan tersebut.

Para pengemudi online juga diimbau untuk tetap melakukan kegiatannya secara normal. Sehingga otoritas terkait dapat mendapatkan solusi yang terbaik. 

Kemenhub Segera Bangun Pelabuhan di IKN, Lokasinya Dekat KIPP

Hingga berita ini di turunkan, para perusahaan penyedia angkutan online masih belum bisa meresponsnya secara detail. Grab Indonesia misalnya, perusahaan itu masih mendalami putusan MA. 

"Mohon maaf kami masih belum bisa comment. Masih kami pelajari dulu," ujar Manajer Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, ketika dikonfirmasi VIVA.co.id.

Grab Ungkap 99 Persen Mitra Driver Tetap Layani Penumpang Meski Ada Demo

Hal senada diungkapkan oleh Co-Founder dan Human Resources Director Gojek, Monica Oudang. Dia enggan berkomentar banyak terkait putusan MA itu. 

"Sampai saat ini, kami masih mempelajari. Jadi kami masih belum mau memberikan komentar lebih lanjut," ujarnya saat menjawab pertanyaan VIVA.co.id

Selanjutnya...Pemerintah Putar Otak

Pemerintah putar otak

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, berjanji akan menyelesaikan persoalan itu secepat mungkin. Masyarakat pun diimbau untuk tidak resah menanggapi hal ini.

“Kami bisa mencarikan solusi, supaya masyarakat jangan resah. Kami ingin agar masyarakat itu tenang, dan tidak perlu resah,” ujar Budi di Jakarta, Rabu 23 Agustus 2017.

Menurut dia, Kemenhub akan mengumpulkan para pemangku kepentingan terkait untuk melakukan konsolidasi. Seluruh elemen masyarakat diminta tidak khawatir mengenai hal ini, karena pemerintah akan terus berupaya mencari jalan tengah untuk menciptakan keadilan.

“Kami akan konsolidasi dengan MTI, ahli hukum, supaya masyarakat jangan resah. Kita memiliki waktu tiga bulan, sebelum keputusan MA aktif. Setelah dua minggu akan saya sampaikan.” tambahnya. 

Menurut Budi, ada beberapa hal yang akan menjadi sorotan pihaknya mengenai permasalahan ini. Salah satunya kedudukan hukun keputusan itu. 

"Kami ingin tahu dari dari segi hukum seperti apa. Apakah akan yang kami atur dengan mengutamakan keselamatan antara operator online dan konvensional. Kami akan menjebatani apakah beberapa hari ini dan akan kami sampaikan dengan rekan-rekan," kata Budi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu 23 Agustus 2017.

Sementara itu, terkait adanya permintaan operator taksi online menggunakan nomor polisi atau plat kuning, menurut Budi, Permen 26 ini masih berlaku tiga bulan ke depan. Sehingga hal itu tidak perlu dilakukan. 

"Kan Peraturan Menteri 26 kan masih berlaku tiga bulan. Tak ada alasan Organda melakukan sikap tertentu. Kita tunduk pada peraturan yang disekapati. Tiga bulan ini enggak perlu," ujarnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya