Sawit Ditukar Sukhoi
- REUTERS/Pascal Rossignol
VIVA.co.id – Sepekan ini, isu perdagangan barter antara Indonesia dan Rusia menjadi ramai. Dengan menawarkan produk eskpor strategis seperti sawit dan kopi, Indonesia akan bisa memiliki 11 pesawat tempur canggih.
Keriuhan dimulai sejak Jumat pekan lalu, ketika Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melalui rilisnya mengumumkan kesepakatan yang terjadi antara Indonesia dan Rusia. Kedua negara sepakat untuk melakukan tukar guling dalam hubungan perdagangan.
Sejumlah produk ekspor strategis dari Indonesia seperti kopi, teh, dan minyak kelapa sawit hasil kebun Indonesia akan ditukar dengan 11 Sukhoi SU-35 buatan Rusia. Bahkan, pemerintah pun akan mengikut sertakan produk-produk industri strategis pertahanan untuk mendapatkan pesawat tempur tersebut.
Kesepakatan Indonesia-Rusia ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Badan Usaha Milik Negara Rusia, Rostec, dengan perusahaan pelat merah nasional, Perusahaan Perdagangan Indonesia. Rencana pembelian 11 Sukhoi tersebut, untuk menggantikan armada F-5 Indonesia yang sudah usang.
"Imbal dagang di bawah supervisi kedua pemerintah ini diharapkan dapat segera direalisasikan,” kata Enggartiasto Lukita dalam keterangan resmi yang diterima VIVA.co.id, Jakarta, Jumat, 4 Agustus 2017. Jika tak ada aral melintang, maka realisasi perdagangan pat gulipat ini akan segera diwujudkan.
Berkah Embargo
Rencana perdagangan Indonesia dan Rusia sudah digagas sejak setahun lalu, saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Rusia. Di pertemuan yang terjadi di kota Sochi pada Rabu, 18 Mei 2016, Presiden Joko Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin sepakat memperdalam kerja sama pertahanan dan keamanan. Salah satunya adalah tetap menjual alat utama sistem persenjataan (alutsista) produksi Rusia ke Indonesia.
“Kami sepakat untuk memperluas hubungan antar-kementrian pertahanan dan lembaga-lembaga keamanan,” demikian kata Putin saat gelar konferensi pers bersama dengan Jokowi, seperti dikutip kantor berita Reuters, 19 Mei 2016.
Pembicaraan setahun lalu itu terus didalami dan akhirnya disepakati perdagangan dilakukan dengan cara tukar guling. Indonesia akan memberikan hasil kebunnya, sedangkan Rusia memberikan pesawat tempur canggih, Sukhoi SU-35.
Meski telah lama menjalin hubungan dagang dengan Rusia, namun masuknya Indonesia dalam perdagangan dengan Rusia kali ini memanfaatkan momentum yang tepat. Rusia sedang berada dalam gempuran sanksi embargo yang dilakukan oleh AS dan PBB. Rusia membalas AS dengan membatasi impor dari negara tersebut. Aksi saling embargo ini membuat Rusia membutuhkan sumber baru untuk kebutuhan dalam negerinya.
Ketegangan AS dan Rusia mulai meningkat sejak dua tahun lalu. Berawal dari campur tangan Rusia dalam konflik Krimea-Ukraina. PBB dan AS menganggap pemerintah Rusia menunjukkan keberpihakannya pada Krimea dan memaksa Ukraina pergi dengan menggunakan kekuatan militernya. PBB dan pemerintah AS yang kesal dengan ulah Rusia menjatuhkan sanksi ekonomi.
Kekesalan kedua AS dan PBB adalah ketika Rusia juga menyatakan ingin ikut andil menjaga perdamaian di Suriah. Tapi alih-alih mendukung Koalisi Arab yang didukung Amerika Serikat, Rusia malah memutuskan berada di posisi yang berseberangan. Putin memilih berdiri bersama dengan Presiden Suriah Bashar al Assad yang juga mendapat dukungan dari Iran.
Barat kembali menjatuhkan sanksi pada Rusia karena menurut mereka manuver Rusia di Suriah malah menimbulkan kekacauan. Akibat sanksi embargo yang diberlakukan AS dan PBB, Rusia mulai mencari sumber pangan alternatif, dan pemerintah Indonesia masuk pada saat yang tepat.
Rusia adalah pengimpor minyak sawit terbesar di dunia dan minyak sawit Indonesia juga menjadi primadona di Rusia. Selain sawit, produk ekspor Indonesia ke Rusia adalah ikan, cokelat, mentega, teh, dan kopi. Sedangkan produk yang diimpor Indonesia dari Rusia mencakup alat utama sistem persenjataan (alutsista), besi baja, pupuk, logam, karet sintetis, dan aluminium.
Ekspor minyak sawit mentah dari Indonesia ke Rusia pada tahun 2015 mencapai US$480 juta, atau sekitar 50 persen dari total perdagangan bilateral senilai US$1,98 miliar untuk tahun yang sama. Berdasarkan data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), Rusia termasuk salah satu investor asing cukup besar di Indonesia dengan total investasi sebesar US$1,01 juta pada 2015.
Sementara Indonesia, meski mendapat tawaran untuk membeli alutsista dari negara lain, sudah kadung kepincut dengan alutsista buatan Rusia. Kepala Badan Ekspor Persenjataan Rusia, Alexander Fomin, mengungkapkan bahwa Rusia tetap melanjutkan penjualan alutsista ke Indonesia, termasuk amunisi. “Indonesia tertarik atas kapal selam dan jet tempur buatan Rusia, walaupun ada juga tawaran dari mitra-mitra lain seperti AS dan China,” kata Fomin, seperti dikutip dari Reuters tahun lalu.
Sudah Dilakukan Sejak 19 Tahun Lalu
Isu tukar guling sawit dan Sukhoi kini menjadi pembicaraan publik. Meski sepertinya baru terdengar, tapi ternyata ini bukan yang pertama.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengungkapkan pemanfaatan komoditas Indonesia sebagai “alat pembayaran” untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) buatan luar negeri adalah hal biasa.
Indonesia bahkan telah melakukan hal itu sejak 19 tahun lalu. "Ini bukan hal baru. Saya sudah pernah melaksanakan itu tahun 1998. Waktu itu beli Sukhoi," kata Wiranto di Istana Wakil Presiden, Senin, 7 Agustus 2017.
Kesepakatan menukar komoditas dengan kebutuhan militer itu, lanjut Wiranto, bergantung pada perjanjian antar dua negara. Barangnya pun menyesuaikan dengan keinginan penerima. "Komoditasnya macam-macam, sesuai dengan (kesepakatan) penjual atau pihak ketiga," ujar Wiranto.
Menurut Enggartiasto Lukita, kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Rusia memiliki banyak peluang untuk meningkatkan kerja sama ekonomi karena saling melengkapi.
“Ini peluang yang tidak boleh hilang dari genggaman kita. Potensi hubungan ekonomi yang memanfaatkan situasi embargo dan kontra embargo ini melampaui isu perdagangan dan investasi yang biasa karena kita melihat peluang di bidang lainnya,” katanya menegaskan.
Perdagangan bilateral antara Indonesia dan Rusia sejauh ini masih relatif rendah. Pada tahun 2012, total perdagangan kedua negara hanya tercatat sebesar US$3,4 miliar, dengan defisit di pihak Indonesia sebesar US$1,6 miliar. Nilai perdagangan dan defisit serupa terjadi pada 2013, sebelum perdagangan bilateral menurun US$2,6 miliar pada 2014.
Pada tahun 2015, perdagangan bilateral kedua negara pun kembali mengalami penurunan menjadi US$1,9 miliar, yang dibarengi perbaikan dalam posisi neraca bagi Indonesia. Pada tahun 2016 lalu barulah perdagangan kedua negara bisa menghasilkan surplus bagi Indonesia sebesar US$411 juta.
Dan kali ini, perdagangan imbal balik ini diharapkan mampu mendongkrak kembali nilai perdagangan Indonesia. Sebuah cara yang unik, namun sah saja dalam dunia perdagangan. Pat gulipat, imbal dagang, atau apalah namanya, sejauh itu menguntungkan tentu saja layak dilanjutkan.