Memburu Pengikut Hizbut Tahrir
- VIVA/ Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Hizbut Tahrir Indonesia ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mereka sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang, lalu dicabut izinnya oleh pemerintah. Bubar. Kantor ditutup. Semua atribut dan bendera HTI dilucuti. Bahkan laman resmi hingga akun media sosialnya pun dimatikan, alias tak dapat diakses lagi.
Namun, pengikut organisasi pengusung khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam) itu tidak bisa “lenggang kangkung”. Pemerintah menyusulkan maklumat kepada semua kader HTI yang menjadi pegawai negeri sipil – di semua bidang – agar mengundurkan diri. Alasannya, menurut pemerintah, mereka telah berbaiat kepada organisasi yang menentang Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara mereka disumpah setia mengabdi kepada negara.
Memang tak semua kader atau anggota yang diwajibkan mengundurkan diri sebagai pegawai negeri, melainkan hanya kader yang menjadi pengurus organisasi. Mereka diasumsikan dengan sadar dan rasional meyakini cita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia.
Pengikut kelompok itu pun dicurigai telah menyusup ke organisasi lain. Kementerian Pemuda dan Olahraga bahkan membekukan sementara anggaran untuk organisasi Pramuka gara-gara sang ketua Adhyaksa Dault dilaporkan pernah menyatakan mendukung HTI ketika menghadiri sebuah kegiatan organisasi itu pada 2013.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memperingatkan pemerintah agar tak semena-mena menerapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu).
Komisi menilai, pembubaran organisasi saja sudah dapat disebut sebagai pembatasan yang paling serius atas kebebasan berserikat. Apalagi itu dilakukan tanpa alasan mendasar; tanpa prasyarat "kegentingan yang memaksa", sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih mengkhawatirkan lagi karena pembubaran organisasi itu diputuskan tanpa melalui proses peradilan. "Kami ingin mengatakan, peraturan yang mengatur itu berpontensi melanggar di kemudian hari. Kami juga mengingatkan pemerintah," kata Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 25 Juli 2017.
Perppu Ormas, kata Kholis, memang tidak dimaksudkan hanya untuk HTI, melainkan setiap organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan dianggap merongrong NKRI. Namun HTI menjadi organisasi pertama yang terkena konsekuensi hukumnya dan bukan tak mungkin ada organisasi lain menyusul.
Selanjutnya...Kekhawatiran Komnas HAM
Kekhawatiran Komnas HAM
Dapat dimaklumi kalau, Kholis berpendapat, organisasi yang dibubarkan pemerintah semacam HTI memang mengancam dasar negara dan keutuhan NKRI. Namun, dia mencemaskan, pola pembekuan atau pembubaran organisasi yang tanpa pengadilan itu diberlakukan lagi kelak kepada mereka yang dianggap mengganggu pemerintah semata alih-alih mengancam negara.
"Contoh ada gerakan mahasiswa atau petani atau mungkin di lapangan lepas kontrol, oleh pemerintah dicap melakukan kekerasan, dianggap dan dimasukkan dalam kategori, misalnya, radikalisme," katanya.
Kekhawatiran Komnas HAM sesungguhnya cukup beralasan. Soalnya belakangan upaya membenamkan HTI dan ideologi khilafah Islamiyah-nya dianggap mulai melebar. Apalagi sampai menyarankan mundur PNS yang menjadi kader atau pengurus HTI.
"Jadi, sebenarnya ini sudah melebar persoalannya. Kalau ada anggota-anggota kita yang aktif jadi PNS dan dosen, itu kan bagian dari daya bekerja," Irwan Said, Ketua HTI Sumatera Utara, berargumentasi ketika ditanyai wartawan tentang pernyataan Menteri Dalam Negeri.
Bagi HTI, profesi kader tak relevan disangkut-pautkan dengan status hukum organisasi meski dinyatakan ilegal. Lagi pula mereka bekerja mencari nafkah semata. Jika pemerintah mengopinikan kader-kadernya seperti itu, Irwan mengkhawatirkan, "HTI diarahkan (sebagai) gerakan teroris sehingga menimbulkan ketakutan."
Pemerintah tak ingin dianggap gertak sambal kepada HTI. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bahkan menyatakan sedang mencari landasan hukum--undang-undang maupun peraturan pemerintah--untuk memberikan sanksi kepada pegawai negeri yang ketahuan menjadi kader HTI. "Nanti kalau pasal menyatakan jelas, pasti ada sanksi," kata Menteri Asman Abnur di Jakarta pada Senin, 24 Juli 2017.
Kementerian memang belum mendapatkan data pasti tentang pegawai negeri yang diketahui menjadi kader HTI. Namun pada dasarnya pemerintah sudah memiliki informasi di lembaga-lembaga mana saja ditengarai banyak pegawai yang telah berbaiat kepada HTI.
Menteri Asman tak menjelaskan lugas satu atau dua kementerian tertentu teramati banyak kader HTI, tetapi dia secara spontan mencontohkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang didominasi para akademisi atau pengajar pada perguruan tinggi. "Seperti ada beberapa dosen di perguruan tinggi." Kementerian yang menaungi mereka juga akan menelisik bahkan hingga ke tingkat fakultas pada universitas yang dicurigai itu. Jika terbukti, katanya, "Tentu rektornya juga ikut bertanggung jawab."
Muhammad Nasir, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, merespons isyarat Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dengan berencana mengumpulkan para rektor perguruan tinggi negeri se-Indonesia pada 26 Juli. Pemerintah, melalui para rektor, akan memberikan dua pilihan kepada pegawai dan dosen di perguruan tinggi negeri yang menjadi kader HTI: tetap sebagai kader atau keluar dari organisasi itu.
"Dia (pegawai negeri yang menjadi kader HTI) harus keluar dari HTI, tidak mengikuti kegiatan HTI, dan bergabung kembali dengan pemerintah serta mendapat pembinaan," kata Nasir.
Dia mengingatkan khusus kepada dosen berstatus pegawai negeri, menjadi kader atau berbaiat dengan HTI sesungguhnya jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan itu meniscayakan seorang pegawai setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. "Maka dosen dan pegawai (perguruan tinggi negeri) tidak boleh terlibat," katanya.
Pernyataan Menteri Nasir dicibir Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menter Kehakiman. Yusril menilai tak logis ketika HTI sudah dibubarkan tapi pemerintah masih menuntut pegawainya yang menjadi kader organisasi itu untuk memilih. "Udah bubar, kok, masih disuruh pilih," ujarnya.
Yusril ditunjuk sebagai kuasa hukum bagi HTI dan mengakui organisasi kliennya memang sementara ini berstatus ilegal setelah izinnya dicabut oleh pemerintah. Namun dia sedang mengajukan uji materi (judicial review) Perppu Ormas kepada Mahkamah Konstitusi dan menggugat surat keputusan pencabutan izin kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada pokoknya, dia bertekad melawan Perppu Ormas hingga Mahkamah membatalkannya dan HTI dipulihkan.
Selanjutnya...Nyata Menentang Pancasila
Nyata menentang Pancasila
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengakui sesungguhnya cukup problematik pembubaran HTI. Di satu sisi, pembubaran itu, meski dengan peraturan yang setara undang-undang, tetap tidak diputuskan melalui pengadilan sehingga berkekuatan hukum tetap. Di lain sisi, prosedur yang mesti dilalui untuk sampai pada putusan pengadilan ternyata cukup panjang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Lagi pula, kata Mahfud, semangat Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan itu lebih membidik ormas yang sering bertindak fisik atau dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban, misal, merazia minuman keras atau tempat-tempat hiburan. Sementara HTI lebih bersifat ideologis, yang sesungguhnya tak memadai andai ditindak dengan undang-undang itu.
"Ternyata HTI langsung masuk ke filosofinya (pelanggaran ideologis); tidak melakukan tindakan (fisik) yang bisa diperingatkan. Itu sudah pernyataan jati diri bahwa dia berjuang untuk mendirikan khilafah. Itu pernyataan yang sangat nyata, dan itu disampaikan ke mana-mana secara terbuka," kata Mahfud seperti dikutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama, Nu.or.id.
Dia sependapat bahwa pejabat negara atau pegawai negeri yang berbaiat kepada HTI sejatinya sah disebut sebagai telah mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. "Seharusnya mereka dicopot karena sudah tidak sesuai lagi dengan syarat menjadi pejabat, yaitu setia kepada Pancasila dan UUD," ujarnya. Apalagi jika pejabat atau pegawai negeri itu dengan sadar mendukung khilafah yang diperjuangkan HTI, "berarti dia tidak setia pada Pancasila dan UUD. Mundur saja."
"Kita boleh beda pilihan politik dalam kehidupan sehari-hari," Mahfud menegaskan, "tetapi kalau ada yang merongrong negara dan ingin mengganti Pancasila, pemerintah harus tegas dan rakyat harus mendukung pemerintah untuk menindak, karena itu berbahaya." (ren)