UU Pemilu dan Nasib Demokrasi Kita

KPU saat tetapkan hasil Pemilu Legislatif 2014.
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Setelah sekitar sembilan bulan, dengan melalui proses yang cukup alot, dan panjang, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang Pemilu menjadi Undang-undang Pemilu di detik-detik sebelum memasuki akhir pekan ini, Jumat 21 Juli 2017.

Satu poin krusial diatur dalam undang-undang tersebut adalah soal ambang batas presiden, atau presidential threshold sebanyak 20 persen.

Berdasar undang-undang baru itu, partai politik, atau gabungan partai politik harus memiliki sedikitnya 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara secara nasional bila ingin mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019, yang digelar secara serentak dengan Pemilu Legislatif.

Syarat yang cukup berat dan kontroversial. Karena itulah, pembahasan undang-undang tersebut diwarnai tarik ulur antara partai-partai politik dan pemerintah, serta proses yang tidak mudah.

Sebelum disahkan, 'drama' sempat terjadi. Empat fraksi memutuskan walk out, atau keluar ruangan rapat dalam pemungutan suara pembahasan RUU Pemilu, antara lain Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi Demokrat, dan Fraksi PAN.

Fraksi PAN dan PKS menolak pengambilan keputusan melalui voting. Kemudian, Fraksi Gerindra dan Demokrat tetap berpandangan ambang batas presiden harus ditiadakan.

Sikap tersebut, diikuti tiga anggota mereka yang duduk sebagai Wakil Ketua DPR, sekaligus pimpinan sidang. Pertama adalah Fadli Zon dari Fraksi Partai Gerindra. Dua yang lain adalah Taufik Kurniawan (Fraksi PAN) dan Agus Hermanto (Fraksi Partai Demokrat).

Sebagai pemimpin sidang paripurna pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu, Fadli walk out bersama Fraksi Gerindra pada Kamis tengah malam, 20 Juli 2017.

"Saya pamit undur diri," kata Fadli, yang kemudian menyerahkan palu sidang kepada Ketua DPR Setya Novanto.

"Izinkan rapat saya lanjutkan. Ini adalah bentuk demokrasi yang ada," kata Novanto, yang segera mengambil palu sidang dan memimpin jalannya sidang paripurna tersebut.

Setelah itu, tinggal Novanto dan Fahri Hamzah yang berada di meja pimpinan sidang. Saat Novanto hendak mengetukkan palu untuk mengesahkan RUU Pemilu itu, Fahri menyela dan mengatakan tidak ikut meninggalkan sidang.

"Saya memilih opsi yang berbeda-beda dengan bapak-bapak, tetapi saya tetap di sini tidak ikut walk out," kata Fahri, yang tengah berkonflik dengan partainya, PKS, di pengadilan tersebut.

Sementara itu, Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu lantas meminta persetujuan peserta sidang untuk mengesahkan RUU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen, setelah menerima palu sidang dari Fadli yang walk out.

"Tanpa mengurangi rasa hormat dan apresiasi yang mungkin berbeda pendapat, saya usulkan tetap mengambil keputusan dalam RUU ini. Setuju?" tanya Novanto kepada majelis paripurna.

Pertanyaan itu segera diikuti jawab "setuju" dari para peserta sidang.

Tersisa partai pendukung pemerintah ditambah Fahri Hamzah di ruang sidang paripurna itu. Mereka menyatakan mendukung opsi A dalam pengambilan keputusan RUU Pemilu, yang di antaranya berisi ketentuan presidential threshold 20 persen.

Novanto kemudian menyatakan opsi A diputuskan secara aklamasi, meski Fahri menyatakan mendukung opsi B.

"Dengan ini diputuskan hasil RUU pemilu mengambil paket A minus satu. Apakah dapat disetujui?" tanya Novanto kepada para peserta sidang, yang segera dijawab serempak "setuju".

Berikutnya, di atas angin>>>

Kubu pemerintah di atas angin

Sebelum sampai pada tahap pengesahan, aklamasi minus satu itu, ada lima opsi paket yang disepakati 10 fraksi di DPR untuk dibawa ke Paripurna. Berikut daftarnya:

1. Paket A
- Ambang batas presiden: 20 atau 25 persen.
- Ambang batas parlemen: empat persen.
- Sistem pemilu: terbuka.
- Alokasi kursi per daerah pemilihan: 3-10.
- Metode konversi suara: sainte lague murni.

2. Paket B
- Ambang batas presiden: nol persen.
- Ambang batas parlemen: empat persen.
- Sistem pemilu: terbuka.
- Alokasi kursi per daerah pemilihan: 3-10
- Metode konversi suara: kuota hare

3. Paket C
- Ambang batas presiden: 10/15 persen
- Ambang batas parlemen: empat persen
- Sistem pemilu: terbuka
- Alokasi kursi per daerah pemilihan: 3-10
- Metode konversi suara: kuota hare

4. Paket D
- Ambang batas presiden: 10/15 persen
- Ambang batas parlemen: lima persen
- Sistem pemilu: terbuka
- Alokasi kursi per daerah pemilihan: 3-8
- Metode konversi suara: sainte lague murni

5. Paket E
- Ambang batas presiden: 20/25 persen
- Ambang batas parlemen: 3,5 persen
- Sistem pemilu: terbuka
- Alokasi kursi per daerah pemilihan: 3-10
- Metode konversi suara: kuota hare.

Baca: Lima Poin Krusial UU Pemilu yang Diketuk Paripurna DPR

Dari lima opsi itu, partai yang masuk sebagai pendukung pemerintah solid memilih paket A, yaitu PDIP, Hanura, Nasdem, PPP, dan Golkar. PKB sempat berbeda, tetapi jelang pengesahan, cenderung mendukung paket A.

Kemudian, partai yang berada di barisan oposisi di antaranya PKS, Partai Gerindra cenderung memilih ambang batas nol persen, atau paket B. Kemudian, Partai Demokrat dengan ambang batas nol persen. Lalu, PAN yang tercatat sebagai partai pendukung pemerintah, sebelum pengesahan belum jelas sikapnya.

Dari komposisi itu, terlihat bahwa peta politik menunjukkan partai-partai pendukung pemeritah dalam posisi di atas angin. PDIP (109 kursi), Hanura (16 kursi), Nasdem (35 kursi), PPP (39 kursi), Golkar (91 kursi), dan PKB (47 kursi). Bila voting digelar, mereka bisa mengumpulkan 337 suara.

Kemudian, fraksi lainnya di antaranya PKS 40 kursi, Demokrat 61 kursi, dan Gerindra hanya 73 kursi. Totalnya dari tiga fraksi ini hanya mendapatkan suara sebesar 174 kursi.

Kalau pun PAN yang memiliki kursi sebesar 49 kursi memilih opsi nol persen, maka kekuatannya akan menjadi 223 kursi. Tetapi, angka tersebut masih jauh mengejar kekuatan fraksi pendukung pemerintah.

Situasi tersebutlah yang membuat sejumlah partai yang mendukung pemerintah mendesak digelarnya voting untuk mengakhiri perdebatan. Meski demikian, ada pula partai baik pendukung pemerintah maupun mereka yang di pihak luar yang mengusulkan adanya lobi untuk meraih musyawarah mufakat sebelum mengambil keputusan.

Baca:

Lima Fraksi Minta Lobi, Paripurna RUU Pemilu Diskors

Politikus Nasdem Mengomel Pembahasan RUU Pemilu Molor Terus

Partai Pendukung Pemerintah Minta RUU Pemilu Divoting

Sidang Paripurna DPR yang dimulai sejak Kamis 20 Juli 2017, pukul 10.00 WIB itu, kemudian diskors pada pukul 14.00 WIB untuk istirahat dan sekaligus lobi fraksi-fraksi. Rencananya, sidang dimulai lagi pukul 16.00 WIB.

Saat beberapa anggota sudah di dalam ruang rapat, kesetjenan menyampaikan pengumuman dari pimpinan DPR bahwa sidang ditunda lagi. Sampai kemudian, pada pukul 22.30 WIB sidang benar-benar digelar kembali. Setelah itu, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan, hingga diwarnai hujan interupsi, aksi walk out, dan akhirnya pengesahan.

Selanjutnya, digugat>>>

Yusril menggugat

Beberapa waktu setelah pengesahan UU Pemilu itu, Pakar Hukum Tata Negara, sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra memastikan akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Dia bertekad melawan UU Pemilu itu, setelah nanti disahkan oleh Presiden Joko Widodo.

"Secepat mungkin, setelah RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, saya akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi," tutur Yusril, dalam siaran persnya, Jumat 21 Juli 2017.

Dia menilai, perjuangan partai-partai yang menolak presidential threshold telah berakhir. Giliran dia, yang akan melakukan perlawanan melalui jalur hukum di MK.

"Kini menjadi tugas saya untuk menyusun argumen konstitusional, menunjukkan bahwa keberadaan presidential treshold dalam pemilu serentak adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45," kata Yusril.

Yusril mencontohkan salah satu pasal, yakni Pasal 6A ayat (2). Bunyinya adalah, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."

Komisi II DPR Sepakat Tidak Lanjut Bahas Revisi UU Pemilu

Jawabannya, menurut Yusril, ada pada Pasal 22E ayat 3 UUD 45 yang mengatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

"Jadi, pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Baik pemilu dilaksanakan serentak maupun tidak serentak, presidential treshold mestinya tidak ada," kata Yusril.

Azis: Revisi UU Pemilu Dibutuhkan untuk Solusi Sejumlah Kekhawatiran

Pemilu 2019 adalah serentak. Maka, lanjut Yusril, maka tidak seharusnya ada ambang batas, atau presidential threshold. Sebab, perolehan suara anggota DPR belum diketahui.

"Kepentingan Presiden Jokowi dan parpol-parpol pendukungnya sangat besar untuk mempertahankan apa yang telah mereka putuskan. Namun, saya berharap MK tetap tidak dapat diintervensi oleh siapa pun," katanya.

Penjelasan Golkar dan NasDem Berbalik Arah soal Revisi UU Pemilu

Dengan keputusan itu, Yusril mengaku siap melawan DPR dan pemerintah sendiri. Seandainya, tidak ada pihak lain yang mengajukan gugatan.

"Maka tidak masalah bagi saya, untuk sendirian saja berjuang menghadapi Presiden dan DPR di MK nanti. Kebenaran toh tidak tergantung pada banyak sedikitnya orang, atau kuat dan lemahnya posisi dalam politik," ujarnya.

Tak hanya Yusril, Sekjen DPP Partai Idaman, Ramdansyah juga bereaksi. Dia mengatakan, sebagai partai politik berbadan hukum yang tidak berada di parlemen, partainya punya hak mengajukan uji materi Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai partai baru, Idaman juga memiliki legal standing atas gugatan ini.

"Persiapannya kita tunggu hasil lengkapnya menjadi UU atau penomoran. Tetapi, persiapannya (gugatan) sudah mulai dibahas," kata Ramdansyah melalui pesan singkat kepada VIVA.co.id, Jumat 21 Juli 2017.

Ia mengatakan, partainya mulai membangun komunikasi dengan partai politik baru lainnya yang mengalami kerugian konstitusional terkait dengan keluarnya UU ini.

"Artinya MK yang memiliki kewenangan memutuskan apakah sebuah UU bertentangan dengan UUD 1945, tidak bisa membuat pasal seperti pemerintah atau DPR. Tetapi, sebagai lembaga yang bersifat final dan mengikat. Maka putusannya mengikat terhadap para pembuat UU," ujarnya menambahkan.

Ia mencontohkan, putusan MK tentang verifikasi partai politik oleh KPU berlaku untuk semua partai politik, ternyata diabaikan dan hanya partai baru saja yang akan diverifikasi.

"Presidential threshold sudah tidak berlaku lagi, karena menggunakan sistem baru. Saat itu, alasan kami bukan ingin mencalonkan Rhoma (Irama) sebagai presiden. Tetapi, lebih ketaatan kita sebagai warga negara yang juga sebagai subyek hukum harus taat pada konstitusi," katanya.

Baca:

PKS dan Gerindra Dukung Gugatan UU Pemilu ke MK

Fadli Zon: UU Pemilu Segera Diuji Materi di MK

Atas rencana gugatan itu, Hanura sebagai salah satu partai pendukung UU Pemilu yang baru disahkan itu, memberikan jawaban. Sekretaris Fraksi Hanura, Dadang Rusdiana tidak mempersoalkan langkah tersebut.

"Silakan saja, kalau merasa penetapan presidential treshold bertentangan dengan UUD 45. Langkah baik tentunya melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Dadang saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 21 Juli 2017.

Meski begitu, ia menilai perbincangan masalah presidential treshold ini sudah panjang dilakukan di tingkat Pansus termasuk berkonsultasi ke MK. Karena itu, baginya, presidential treshold 20 persen tidak bertentangan dengan Pasal 6 a ayat 2 UUD 1945.

"UU yang mengatur presidential treshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen dari suara sah itu justru menjabarkan ketentuan pasal 6 A ayat 2 tersebut. UU kan perlu mengatur lebih lanjut, partai atau gabungan Parpol mana saja yg dapat mengajukan capres/cawapres, tetap harus ada proses selektif kualitatif karena ini calon pemimpin bangsa dan negara. Tidak sembarangan," kata Dadang.

Ia melanjutkan, sama halnya dengan setiap warga negara memiliki hak politik dipilih dan memilih. Maka bagaimana syarat bisa memilih, dan apa syarat dapat dipilih, maka diuraikan lebih lanjut syarat-syaratnya. Maka syarat presidential treshold adalah sesuatu yang 'open legal policy' tergantung pembuat UU.

Berikutnya, siapa pemenangnya?>>>

Siapa menang di MK?

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, partai yang berada di DPR tak boleh mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-undang Pemilu yang sudah disahkan. Adapun yang diperbolehkan adalah partai baru maupun partai yang tidak ada kadernya di DPR.

"DPR tidak boleh uji materi, karena DPR pembuat UU. Pembuat UU tidak boleh merasa dirugikan dengan UU y ang dia buat sendiri," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Jumat 21 Juli 2017.

Ia menjelaskan, hanya partai-partai yang tak ikut ambil keputusan atas RUU Pemilu yang boleh ajukan gugatan. Sebab, DPR diutus partai yang sudah ikut pemilu, sehingga tak punya kedudukan hukum, atau legal standing untuk uji materi.

"Tapi partai yang tak ada di DPR melakukan judicial review, saya kira masuk legal standing-nya," kata Fahri.

Fahri sendiri menilai uji materi itu wajar dan pasti terjadi. Alasannya, karena komponen yang tidak setuju dengan opsi presidential treshold 20 persen itu khususnya cukup besar.

"Jadi, empat dari 10 fraksi kalau kemudian di tingkat bawah, atau masyarakat judicial review itu pasti terjadi," kata Fahri.

Ia menduga, gugatan atas UU ini bisa dimenangkan. Alasannya, konsep presidential treshold dalam UU ini bertentangan dengan prinsip pemilihan presiden maupun wapres secara langsung. Sebab, pemilu sebelumnya mensyaratkan pemilu yang akan datang.

"Jadi, itu seperti menciptakan semacam ketidakpastian politik ya dan bisa menciptakan manajemen politik yang tidak bisa terkendali. Sebab, capaian tahun ini ditentukan yang akan datang. Misalnya, ada partai yang dapat 30-50 persen, maka selama lima tahun mereka bisa kampanye saya lima tahun lagi akan punya calon sendiri. Meskipun tahun ini dia enggak bisa sendiri, karena dia harus berdasarkan tahun sebelumnya," kata Fahri.

Ia berpendapat konsep tersebut juga bisa menciptakan instabilitas politik. Sebab partai yang memperoleh lebih dari 20 persen bisa men-challenge pemerintah yang ada bahwa dia punya kandidat alternatif sendiri untuk 5 tahun lagi.

Menurutnya, open legal policy DPR terhadap isu presidential treshold ini sebenarnya telah dibuat. Sebab, ada keserempakan antara pileg dan pilpres. Karena itu, ia memprediksi gugatan ini akan dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Maka, saya tetap pada opsi B, karena ini kemungkinan besar dikalahkan," kata Fahri.

Sementara itu, pengamat politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyatakan bahwa UU Pemilu yang disahkan tersebut kehilangan filosofi, teks, dan konteks. Lupa dengan tujuan utamanya mengapa direvisi.

Menurutnya, tujuan revisi adalah perbaikan pasal ayat agar tetap nyambung dengan filosofi pemilu/demokrasi dan sesuai teks, yaitu konstitusi yang intinya untuk memperkuat sistem presidensiil dan konteks yaitu pemilu serentak yang mestinya mendahulukan Pemilu Presiden, bukan Pileg.

"Masalahnya, kalau Pilpresnya yang didahulukan agar konsisten dengan teksnya, yaitu penguatan sistem presidensiil lantas bagaimana menghitung PT (presidential threshold)-nya? Mengapa harus mengandalkan PT? Ini yang tidak tepat dan sulit dipertanggungjawabkan secara logika," kata Zuhro saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 21 Juli 2017.

Dia mengingatkan, PT nol persen bukan berarti semua warga negara Indonesia bisa mencalonkan sebagai capres dan cawapres. Sebagaimana diatur dalam konstitusi, partai dan gabungan partai yang bisa mencalonkan capres-cawapres.

"Jadi, jelas bahwa yang punya otoritas adalah partai/gabungan partai. Karena itu, partailah yang harus bertanggung jawab terhadap capres-cawapres yang diusung. Bukan lantas harus membuat persyaratan PT," kata Zuhro lagi.

Zuhro mengatakan, esensi demokrasi tak hanya partisipasi rakyat, tetapi juga kontestasi dan representasi. Karena itu, Pemilu harus mengkontestasi calon-calon terbaik agar mendapatkan pemimpin yang amanah.

"Bukan malah mereduksi esensi kontestasi dengan menerapkan pola-pola aklamasi, atau calon tunggal," tuturnya.

Zuhro melanjutkan, Pilkada Serentak 2015 memunculkan calon tunggal di daerah-daerah. Demikian juga Pilkada Serentak 2017, masih muncul calon tunggal. Hal ini yang tak sehat bagi konsolidasi demokrasi, karena demokrasi yang dipraktekkan cenderung bertopeng.

"Tampaknya saja seperti demokrasi, padahal peluang-peluang yang sama bagi munculnya calon-calon lainnya tak dimungkinkan," tegasnya.

Dia menegaskan, demokrasi yang sehat berkualitas dan beradab akan menjunjung kesetaraan. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

"UU yang dalam praktiknya memunculkan kontroversi dan polemik harus di-judicial review supaya dampak-dampaknya cepat teratasi. PT harus dihapuskan, karena dari perspektif hukum dan demokrasi menyalahi," demikian Siti Zuhro. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya