Trump Diancam Lengser
- REUTERS/Joshua Roberts
VIVA.co.id – Isu adanya “hubungan gelap” antara Presiden AS, Donald Trump, dan Rusia selama masa kampanye makin santer. Jika benar, ancaman Trump dimakzulkan menjadi kemungkinan yang makin mendekat.
Sejak dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari 2017, isu adanya komunikasi khusus antara Trump dengan Rusia selama masa kampanye terus berdenging di telinga publik AS. Bukannya mengecil, volume dengingan itu malah makin membesar.
Di tengah isu yang mulai memanas, publik AS dikejutkan dengan keputusan Trump memecat Direktur FBI, James Comey, pada Selasa, 9 Mei 2017. Presiden berambut pirang itu berdalih, ia memecat Comey karena usahanya untuk menyelidiki kasus penggunaan e-mail pribadi Hillary Clinton tak maksimal. Trump juga menuduh, tindakan Comey telah melampaui kewenangan Jaksa Agung.
Tapi, keputusan itu menimbulkan kecurigaan. Pasalnya, baru Maret lalu, Comey menyampaikan bahwa pihaknya sedang mengawasi penyelidikan tentang campur tangan Rusia dalam kampanye presiden 2016, yang menyinggung nama-nama dalam tim kampanye Trump. Diberitakan oleh BBC, sebuah sumber di Kongres mengatakan, beberapa hari sebelum dipecat, Comey sempat menyampaikan permintaan pada anggota Parlemen, agar lembaganya diberikan sumber daya tambahan, terutama staf, untuk kepentingan penyelidikan mengenai keterlibatan Rusia dalam pemilihan Presiden AS.
Apalagi, jabatan Direktur FBI bukan jabatan partisan. Masa jabatannya adalah 10 tahun. Comey diangkat oleh mantan Presiden AS, Barack Obama, pada 2013. Harusnya ia masih menjabat hingga 2013. Menurut sejarah AS, hanya sekali terjadi pemecatan Direktur FBI pada tahun 1993, itu juga karena alasan korupsi dan finansial.
Dua hari setelah pemecatan, Trump secara terbuka meminta agar Comey tak membocorkan pada media massa. Melalui akun Twitternya, Trump menilai Comey bisa saja membocorkan rekaman pembicaraan kepada media. "James Comey lebih baik berharap tidak ada 'rekaman' percakapan kami, sebelum dia bocor ke pers!" tulis Trump.
Selanjutnya... Trump Bocorkan Rahasia Negara pada Rusia?
Trump Bocorkan Rahasia Negara pada Rusia?
Embusan kedekatan Trump dengan Rusia terus bergulir. Trump juga dituding membocorkan rahasia militer AS kepada Rusia saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Levrov, di Gedung Putih. Diberitakan oleh Washington Post, dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Dubes Rusia untuk AS, Sergei Kislyak, Trump dikabarkan memberitahu soal tambahan militer AS untuk membasmi organisasi teroris.
Diberitakan oleh BBC, sebuah sumber di Kongres mengatakan, beberapa hari sebelum dipecat, Comey sempat menyampaikan permintaan pada anggota Parlemen, agar lembaganya diberikan sumber daya tambahan, terutama staf, untuk kepentingan penyelidikan mengenai keterlibatan Rusia dalam pemilihan Presiden AS. Gedung Putih segera membantahnya.
Penasihat Keamanan Presiden Trump, HR McMaster, mengatakan berita itu sangat keliru. "Tak ada informasi intelijen yang dibicarakan. Presiden Trump tidak menyebutkan satu pun operasi militer yang memang tak boleh bocor ke publik. Saya ikut hadir di ruangan itu dan menjadi saksi," ujar McMaster.
Sejak informasi itu beredar, Gedung Putih menjadi incaran jurnalis. Setiap hari mereka berbondong-bondong mencari informasi. Dilaporkan oleh independen.co.uk, pada Selasa, 16 Mei 2017, di sebuah ruangan tempat berkumpul para tangan kanan dan pembantu utama Trump sempat terdengar cekcok yang sempat didengar oleh wartawan. Bahkan dikabarkan sempat terdengar bentakan keras.
Di ruangan itu, diketahui Juru Bicara Gedung Putih Sean Spicer, Direktur Komunikasi Gedung Putih Michael Dubke, dan Pejabat Kepresidenan Steve Bannon sempat melakukan rapat mendadak sebelum bertemu dengan awak media.
Tuduhan soal pembocoran informasi pada Rusia yang dilakukan oleh Trump ternyata mendapat pembelaan dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Menurut Putin, Trump tak membocorkan rahasia negara pada mereka. Diberitakan oleh Reuters, Putin bahkan menawarkan untuk membuka percakapan antara Presiden Donald Trump dengan Menlu Rusia Sergei Lavrov.
Menghadapi tekanan publik, Departemen Kehakiman AS menyatakan akan menyelidiki dugaan adanya komunikasi dan pembocoran rahasia negara Trump dengan Rusia. Sebuah tim investigasi lalu dibentuk.
Departemen Kehakiman lalu menunjuk mantan Direktur FBI, Robert Mueller, untuk memimpin tim investigasi khusus itu. Menurut anggota Senat dari Partai Demokrat Richard Blumenthal, Mueller ditunjuk untuk menyelidiki apakah ada hubungan antara pejabat Rusia dengan Presiden Donald Trump selama masa kampanye 2016. Ia akan melakukan penyelidikan terkait "tuduhan pidana yang sangat serius, termasuk kemungkinan menghalangi keadilan."
Tabir rahasia kedekatan Trump dan Rusia makin menguak. Reuters memberitakan, tiga pejabat AS dan satu mantan pejabat membeberkan adanya komunikasi antara orang-orang terdekat Trump dengan Rusia. Menurut empat orang ini, seperti diberitakan Reuters pada 19 Mei 2017, terdapat 18 kali percakapan melalui telepon dan e-mail yang dilakukan oleh tim kampanye Trump dengan Rusia. Michael Flynn, penasihat keamanan Trump, dan Dubes Rusia untuk AS, Sergei Kislyak, disebut sebagai mereka yang terlibat dalam komunikasi.
Selanjutnya... Embusan Pemakzulan Menguat
Embusan Pemakzulan Menguat
Isu yang terus menguat, tuduhan adanya kolusi dan pembocoran rahasia negara antara Trump dengan Rusia membuat dorongan untuk melengserkan Presiden AS dari singgasananya makin tertiup kencang. Anggota Kongres dari Partai Demokrat asal Texas, Al Green, pada Senin lalu kembali menyuarakan pemakzulan atas Trump. Pasal yang akan dikenakan adalah tindakan kriminal dan melanggar UU dengan membocorkan rahasia negara.
Pendapat Al Green menguatkan usulan sebelumnya yang disampaikan oleh anggota Senat dari Partai Demokrat, Richard Blumenthal, pada Rabu, 10 Mei, dua hari setelah Trump memecat Comey. Blumenthal mengatakan pemecatan Comey tak menutup kemungkinan Kongres melanjutkan rencana pemakzulan Trump.
"Ini seperti mengulang kembali kasus AS vs Nixon, dengan sebuah surat perintah pengadilan yang dikirimkan kepada Mahkamah Agung AS," ujar politisi dari Partai Demokrat itu saat diwawancara oleh CNN.
"Kasus ini bisa menjadi pemicu untuk melanjutkan proses pemakzulan, meski sebenarnya masih sangat jauh dari kemungkinan itu," ujarnya menambahkan. Ia menyebut keputusan Trump malah semakin meningkatkan “krisis konstitusional.”
Usulan menurunkan Trump memang baru datang dari anggota Partai Demokrat. Sementara Partai Republik, partai asal Trump, belum bereaksi keras. Publik AS juga belum sampai menyuarakan agar Presiden AS ke-45 itu disudahi masa jabatannya. Mungkin karena menyadari masih lemahnya usulan pelengseran itu, maka Donald Trump memilih cuek.
Diberitakan oleh Reuters, Kamis 18 Mei 2017, Trump mengatakan ia dan timnya masih solid dan saat ini memilih fokus menjalankan agenda pemerintahan. "Saya sudah menyatakan berulang-ulang bahwa hasilnya akan mengonfirmasi hal yang sama yaitu tak ada kolusi antara tim kampanye saya dengan pihak luar," katanya.
Kini publik AS menunggu. Benarkah Trump memiliki hubungan khusus dengan musuh politik yang telah bebuyutan itu? Atau seperti sikapnya yang selalu percaya diri, ia berani membuktikan tak ada kolusi, apa lagi pembocoran rahasia negara? Kini mereka menunggu tim investigasi bekerja dan menunggu hasilnya. (one)