Kontroversi Pembubaran HTI

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam sebuah aksi demonstrasi.
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Langkah kontroversial diambil oleh pemerintah. Melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mereka mengumumkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia pada Senin, 8 Mei 2017.

Dalam kesempatan itu, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tersebut menggelar konferensi pers. Dia didampingi oleh petinggi negara lainnya. Mereka antara lain Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Muhammad Adi Toegarisman, dan lain-lain.

Berdasarkan agenda yang disebar Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan ke kalangan wartawan, tidak dicantumkan secara jelas soal pembubaran HTI. Dalam undangan itu hanya tertera, Wiranto akan menyampaikan masalah ormas. Meskipun demikian, pemerintah memang sudah menyampaikan petunjuk akan segera menentukan nasib ormas tersebut.

Wiranto kemudian mengungkapkan sejumlah alasan mengapa HTI perlu dibubarkan. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

Kedua, kegiatan yang dilakukan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas.

Ketiga, aktivitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat. Yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Setelah mencermati berbagai pertimbangan di atas, serta menyerap aspirasi masyarakat, Wiranto menyatakan, pemerintah perlu mengambil langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI. Dia menegaskan, keputusan tersebut diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam.

"Namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45," kata Wiranto.

Selain itu, Wiranto mengatakan, pembubaran HTI merupakan hasil keputusan rapat terbatas dengan Kapolri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung. Rapat itu sendiri dilakukan untuk merespons pernyataan Presiden Jokowi bahwa ormas yang nyata nyata bertentangan dengan Pancasila atau negara, maka dilakukan pengkajian yang mendalam dan dilakukan langkah yang cepat dan tegas.

Atas berbagai informasi yang diterima Jokowi, mengenai ormas yang bertentangan dengan Pancasila, maka diinstruksikan jajaran Menkopolhukam untuk melakukan kajian dan menyelesaikan permasalahan ini.

"Kami memfinaslisasi satu proses yang cukup panjang, mempelajari ormas-ormas di Indonesia yang jumlahnya ribuan. Untuk mengarahkan mereka dalam koridor yang ditetapkan dalam ciri dan asas menuju satu titik berdasarkan Pancasila," ujar Wiranto kemarin.

Meskipun demikian, Wiranto membantah pembubaran HTI itu bukan berarti pemerintah anti ormas berbasis Islam. Tapi semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dia pun siap bila keputusan itu digugat ke pengadilan.

"Jadi sebenarnya sudah jelas bahwa kami membubarkan tentu dengan langkah hukum. Oleh karena itu nanti ada proses kepada satu lembaga peradilan," ujarnya.

Menurut Wiranto, pertimbangan hukum menjadi dasar utama pemerintah membubarkan HTI. Dan ia tidak mempermasalahkan bila HTI mengambil langkah hukum.

"Pemerintah tidak sewenang-wenang, tetapi tetap bertumpu pada hukum yang berlaku di Idonesia. Tapi langkah itu tetap dilakukan untuk mencegah embrio yang tetap berkembang, untuk menjaga keamanan," katanya.

Saat disinggung mengenai pembubaran ormas Islam lain yang dianggap mengganggu keutuhan NKRI, Wiranto tidak bersedia memberi penjelasan. Menurutnya, pemerintah tentu akan mempelajari setiap ormas yang memiliki tujuan yang tidak sejalan dengan Pancasila.

"Yang lain nanti dipelajari, nanti, satu-satu ya," kata dia.

Bukti Kuat

Pemerintah mengklaim punya bukti bahwa HTI melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan, bukti-bukti itu selanjutnya akan digunakan untuk membawa masalah itu ke pengadilan.

"Langkah hukumnya harus kami sesuaikan. Alasannya kami punya bukti-bukti kuat," ujar Yasonna di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin, 8 Mei 2017.

Meski demikian, Yasonna tidak mengungkap bukti yang membuat pemerintah menyatakan ormas yang selalu berkeinginan menegakkan khilafah (pemerintahan dengan dasar syariat Islam) di Indonesia itu harus bubar. "Pokoknya nanti pasti ada," ujar Yasonna.

Yasonna hanya menyampaikan bukti-bukti itu akan dikumpulkan lembaga-lembaga pemerintah terkait seperti Kejaksaan Agung, Polri, hingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bukti-bukti itu selanjutnya diharapkan membuat pengadilan memutuskan pembubaran HTI.

Lebih lanjut, Yasonna menyampaikan keputusan pembubaran diambil karena aktivitas HTI dinilai semakin mengkhawatirkan. Menurut Yasonna, keberadaan pihak yang ingin mengganti dasar dan ideologi sebuah bangsa adalah persoalan serius di negara manapun.

"Kami khawatir dan kita harus satu (sikap) soal masalah ini," ujar Yasonna.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan pembubaran HTI karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Sistem khilafah dinilai membahayakan NKRI.

"Prinsip (HTI) yang bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945. Seperti masalah sistem khilafah dan lain-lain," Kata Tito di RS Polri, Senin 8 Mei 2017.

Tito juga mengaku telah menggelar rapat terbatas bersama Menkopolhukam Wiranto beserta sejumlah kementerian terkait membahas wacana pembubaran HTI. Dalam rapat tersebut, diutus Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkumham Yasonna Laoly bertindak sebagai pihak pengkaji untuk menggugat HTI.

"Intinya Menkopolhukam yang diikuti sejumlah kementerian lembaga yang di bawah koordinasi Kemenkopolhukam menyatakan, pemerintah mengeluarkan sikap tentang keberadaan HTI yang dianggap dapat membahayakan keutuhan NKRI sebagai identitas bangsa," ujar mantan Kapolda Metro Jaya itu.

Tito juga menjelaskan, posisi Polri memberikan sejumlah data dan fakta terkait kegiatan HTI yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Nantinya, fakta tersebut akan diajukan ke Kejaksaan Agung untuk diperkarakan di pengadilan.

"Polri akan memberikan masukan. Dan setelah itu langkah hukum akan dilakukan oleh Kemendagri dan Kemenkumham kepada kejaksaan. Kejaksaanlah yang akan lakukan gugatan ke pengadilan," tuturnya.

Reaksi HTI

Atas kebijakan pemerintah tersebut, HTI pun memberikan respons. Mereka berencana mengajukan gugatan ke pengadilan.

"Teman-teman HTI di Jakarta sudah melakukan koordinasi atas keputusan pembubaran HTI. Salah satunya adalah gugatan hukum," ungkap Humas DPD HTI, DIY, Yusuf Mustakim, Senin 8 Mei 2017.

Menurut dia, kebijakan pemerintah dilakukan sepihak dan tidak sesuai aturan undang-undang. Kemudian, pembubaran ini juga tidak melalui proses peradilan.

"Pemerintah justru menabrak aturannya sendiri. Di pengadilan seharusnya sebagai tempat adu argumentasi," lanjut Yusuf.

Yusuf mengatakan meski dibubarkan, hal ini tak akan menghentikan agenda dan kegiatan yang akan dilakukan HTI di pusat maupun daerah.

"Kalau memang kami dituding tidak sesuai Pancasila dan UUD 1945 mari kita berdialog. Jangan ambil keputusan sepihak," tuturnya.

Menilik pada Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2013 tentang Ormas, pemerintah memang berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang dinilai melanggar (pasal 60 ayat 1). Namun demikian, mereka juga diwajibkan melakukan upaya persuasif terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan tersebut (pasal 60 ayat 2).

Pembubaran juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah harus melewati banyak tahap.

Pasal 61 menyebutkan bahwa sanksi administratif terdiri dari peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Peringatan tertulis juga harus ada kesatu, kedua, dan ketiga (pasal 62 ayat 1 a, b, dan c). Kemudian diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan tertulis tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 hari (pasal 62 ayat 2).

Bila ormas tersebut mematuhi sebelum 30 hari, pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut peringatan tertulis tersebut (pasal 62 ayat 3). Tapi jika ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kesatu sampai 30 hari, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis kedua (pasal 62 ayat 4). Mekanisme yang sama berlaku untuk peringatan tertulis ketiga (pasal 62 ayat 5).

Pada pasal 64, bila ormas tidak mematuhi peringatan tertulis ketiga maka pemerintah bisa menjatuhkan penghentian bantuan dan/atau hibah, dan penghentian sementara kegiatan.

Namun, pasal 65 khususnya ayat 1 dan 2 menyebutkan penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas dengan lingkup nasional, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Kemudian, apabila dalam jangka waktu paling lama 14 hari MA tidak memberikan pertimbangan hukum, pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan.

Pasal 66 menyatakan sanksi penghentian sementara kegiatan dijatuhkan untuk jangka waktu paling lama enam bulan (ayat 1). Dalam hal jangka waktu penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berakhir,
ormas dapat melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan ormas. Dalam hal ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut sanksi penghentian sementara kegiatan.

Lalu pasal 67 ayat 1 menyatakan dalam hal ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut sanksi penghentian sementara kegiatan. Ayat 2, pemerintah atau pemerintah daerah wajib meminta pertimbangan hukum MA sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat 3, MA wajib memberikan pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dalam jangka waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya permintaan pertimbangan hukum.

Pasal 68 ayat 1, dalam hal ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b, pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum. Ayat 2, sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum. Ayat 3, sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Aturan soal pembubaran ormas itu masih diatur lagi pada pasal 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, dan 78. Pada intinya, pembubaran ormas harus melalui proses di pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap.

Dalam undang-undang tersebut, ormas memang diwajibkan memiliki asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (pasal 2). Ormas diizinkan mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita mereka asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (pasal 3).

Mereka juga diwajibkan memenuhi kewajiban-kewajiban, selain memang memiliki hak-hak tertentu (pasal 21). Undang-undang itu yakni pada pasal 59 mengatur soal apa saja larangan bagi ormas di Indonesia.

Pada pasal 59 ayat 4 dinyatakan ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Namun menariknya, di bagian penjelasan terhadap pasal itu disebutkan yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme. Tanpa menyebutkan soal Islam atau khilafah.

Pro Kontra

Segera setelah pemerintah mengumumkan keputusannya itu, sejumlah pihak menyampaikan dukungannya. Misalnya saja Nahdlatul Ulama.

Keponakan Megawati jadi Tersangka Judi Online, Begini Reaksi PDIP

Mereka menyambut baik langkah pemerintah membubarkan HTI. Alasannya, HTI terbukti merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan hendak mengganti Pancasila dengan khilafah.

Mereka menilai HTI merupakan organisasi yang jelas bertentangan dengan Pancasila. Maka sudah selayaknya pemerintah membubarkan dna melarang organisasi itu di Indonesia.

Dari Sungai hingga Laut, Dampak Polusi Plastik pada Ekosistem Perairan

Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor juga memberikan dukungan. Mereka menganggap sikap pemerintah tersebut sudah tepat. Dengan pembubaran HTI, maka langkah yang perlu dilakukan pemerintah ialah pembersihan kader HTI itu sendiri. Baik yang ada di masyarakat maupun oknum-oknum aparatur sipil negara dari anasir-anasir HTI dan kelompok yang anti-NKRI.

GP Ansor juga mengingatkan pemerintah untuk melakukan antisipasi. Sebab, bisa saja mereka akan berubah nama tapi tujuannya tidak berbeda dengan HTI yang sudah 'almarhum'.

Pengamat Ingatkan Pemerintah Harus Antisipasi Penyebaran Paham Khilafah saat Pilkada

Mereka juga meminta kepada masyarakat agar turut mengantisipasi anggota HTI yang menyusup masuk ke ormas-ormas yang mempunyai visi meruntuhkan NKRI dan Pancasila.

Dukungan juga muncul dari Majelis Ulama Indonesia. Mereka menegaskan NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah final dan mengikat seluruh rakyat Indonesia. Karena NKRI dan Pancasila merupakan perjanjian luhur yang telah diikrarkan oleh para pendiri bangsa.

Oleh karena itu, siapapun dan dengan alasan apa pun tidak boleh mengubah bentuk negara dan dasar negara. Karena mengubah bentuk dan dasar negara termasuk ke dalam perbuatan makar atau 'bughot', dan hukumnya wajib diperangi.

Sikap berbeda ditunjukkan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Dia mengingatkan pembubaran ormas harus sesuai mekanisme aturan undang-undang yaitu lewat pengadilan.

"Nah Undang-Undang Ormas menegaskan bahwa pembubaran dimungkinkan, tapi harus mekanisme pengadilan. Jadi, siapapun yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, tidak serta merta bisa dibubarkan," kata Hidayat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 8 Mei 2017.

Hidayat mengaku mendukung rencana pembubaran ormas yang anti-Pancasila. Namun, pemerintah juga diminta bersikap bijak dalam persoalan ini yaitu melakukan dialog.

"Ketika menyikapi ormas maupun individu-individu, banyak orang dituduh makar tapi enggak jelas juga bagaimana tindak lanjutnya, apa buktinya. Pak Khathtahth (Sekjen FUI) misal sejak tanggal 31 Maret ditahan sampai hari ini, enggak jelas juga proses hukumnya bagaimana, makarnya apa," lanjut politisi PKS itu.  

Selain itu, Hidayat juga menekankan kebijakan pembubaran ini tidak dimanfaatkan atau ditunggangi kepentingan yang mengandung unsur Islamophobia. Menurut dia potensi radikalisme juga bisa ada di ajaran-ajaran lain.

"Jangan sampai jadi seolah-olah negara hanya curigai umat Islam, sementara seolah-olah kalau agama lain otomatis enggak ada masalah. Misal kelompok-kelompok yang mengembangkan sikap hidup yang atheisme, liberalisme, komunisme bahkan separatisme," imbuhnya.

Sementara itu, mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ormas, Abdul Malik Haramain, mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, dinyatakan setiap Ormas tak boleh bertentangan dengan Pancasila. Jika bertentangan dengan Pancasila, maka ormas bisa dibubarkan.

"Dalam undang-undang itu, instrumen untuk menghentikan atau membubarkan Ormas itu sudah ada prosedurnya," kata Abdul lewat sambungan telepon, Senin 8 Mei 2017.

Namun, Abdul menambahkan bahwa pemerintah juga tidak bisa sembarangan membubarkan ormas. Termasuk dalam hal ini ormas HTI.

"Pemerintah perlu ambil langkah-langkah hukum secara tegas, untuk bubarkan HTI. (Kalau belum) ini artinya (HTI) belum dibubarkan," ujar Abdul.

Menurut dia, bentuk pembubaran ormas bisa dilihat dari berbagai cara. Jika berbentuk yayasan, maka Menkumham bisa mencabut status yayasannya. Selain cara itu, maka pemerintah perlu membubarkan melalui pengadilan.

"(HTI) harus melalui pengadilan, tidak serta merta mencabut atau membubarkan," kata anggota Komisi VIII DPR tersebut.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menegaskan pemerintah boleh melakukan gugatan terhadap HTI tapi tidak boleh melakukan pembubaran tanpa proses pengadilan. Menurutnya, semua harus melalui proses peradilan.

Fahri menilai masalah HTI pemerintah cuma perlu menyiapkan fasilitas diskusi publik. Tak perlu sampai pada pembubaran. Apalagi, baginya tidak ada yang mengkhawatirkan dengan keberadaan HTI.

Sebab, mereka hanya berkhayal dengan pikirannya sendiri. Ia menganalogikan sama dengan ketika ada orang yang berpandangan suatu hari Indonesia menjadi negara komunis.

Ia malah menuding sebenarnya pemerintah tak terlalu paham Pancasila. Akibatnya pemerintah kelimpungan dan berlebihan menghadapi lembaga seperti HTI.

Fahri menjelaskan HTI memiliki cara pikir yang percaya permasalahan di dunia tak akan selesai kalau khilafah tidak terbentuk. Sebagai sebuah tesis, Fahri menganggap hal tersebut bukan masalah. Tapi dunia ini tetap berjalan dengan realitasnya. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya