505, Aksi Mengawal Vonis Ahok
- Danar Dono
VIVA.co.id – Rangkaian aksi bertajuk Bela Islam berlanjut lagi. Kali ini, aksi bakal digelar Jumat, 5 Mei 2017. Aksi damai yang dikenal dengan sebutan aksi 505 itu masih terkait perkara dugaan penodaan agama, dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama.
Adalah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menginisiasi aksi tersebut. Mereka mengklaim, aksi untuk mendukung majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar memutuskan dengan adil kasus yang melibatkan Ahok, sapaan Basuki. Vonis perkara itu akan dibacakan majelis hakim pada 9 Mei 2017.
Sejumlah hal menjadi alasan aksi ini dilakukan. Kekecewaan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Ahok, misalnya. Ahok dituntut hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Tuntutan jaksa yang berlandaskan pada Pasal 156 KUHP tentang penodaan golongan bukan dengan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, dinilai telah mempermainkan hukum.
"Drama persidangan yang sudah tercium sejak awal akan menggeser Pasal 156a ke Pasal 156 ternyata betul-betul dilakukan. Ini bukan saja mempermainkan hukum. Tetapi ini juga sudah mengusik rasa keadilan umat Islam Indonesia," kata Ketua Umum GNPF-MUI Bachtiar Natsir, di Jakarta Selatan, Selasa, 2 Mei 2017.
Bukan hanya itu. Tuntutan jaksa juga dinilai merendahkan fatwa yang telah dibuat MUI. Selama ini, negara disebut selalu merujuk kepada fatwa MUI dalam beberapa kasus penodaan agama sebelumnya. Namun, dalam kasus Ahok, fatwa MUI seakan telah didelegitimasikan.
Lantaran itu, sejumlah tokoh dan ulama bergerak menggelar aksi. Mereka yang disebut akan hadir, di antaranya Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsudin, dai Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), dan ustaz Arifin Ilham. Mereka akan bergabung dengan massa yang diklaim bakal berjumlah 3,5 juta hingga 5 juta orang.
Massa datang tak hanya dari Jakarta tapi juga dari luar ibu kota. Mereka akan berkumpul di Masjid Istiqlal. Aksi akan dimulai dari salat Jumat di masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Usai itu, massa bakal long march menuju Mahkamah Agung.
Tiga syarat ditetapkan pemerintah agar aksi 5 Mei itu bisa berlangsung. Ketiga syarat itu mencakup ketentuan umum unjuk rasa dalam peraturan perundang-undangan.
Pemerintah tidak ingin unjuk rasa itu mengubah suasana kondusif Jakarta. Pemerintah juga tidak mau aksi tersebut mengganggu kegiatan ekonomi hingga aktivitas masyarakat.
"Kalau demonstrasi sudah membuat suasana mencekam, mengacaukan perekonomian, membuat kemacetan, itu yang tidak boleh," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, di Jakarta, Rabu, 3 Mei 2017.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sependapat. Meski unjuk rasa diperbolehkan dan dilindungi Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tetapi harus ada batasannya. Setidaknya, ada empat sempadan yang dilarang dilakukan. Di antaranya, tidak boleh mengganggu ketertiban publik, tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, tidak boleh menghujat, harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Undang-undang itu juga mengatur, dalam 100 orang pengunjuk rasa harus ada setidaknya lima orang yang mengendalikan massa. Aturan itu, menurut Tito, harus dituruti para peserta dan penyelenggara aksi. Agar tertib, Polri akan menjaga keamanan aksi itu.
Polda Metro Jaya akan menurunkan 15.000 personel untuk menjaga aksi tersebut. Jumlah itu masih bisa bertambah tergantung kondisi di lapangan nantinya.
"Kalau nanti kami dari perkembangan intelijen harus tambah pasukan, kami tambah pasukan dari polda samping. Dari TNI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono.
Tak sebatas itu. Polri pun akan memberikan jaminan kepada hakim untuk melaksanakan persidangan sesuai ketentuan. Putusan hakim tidak dapat diintervensi dalam bentuk apa pun, termasuk unjuk rasa. "Itu (putusan hakim) dijamin undang-undang berdasarkan minimal dua alat bukti dan keyakinannya, sekaligus pertanggungjawaban yang bersangkutan memutus kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Tito.
Suara serupa datang dari Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Meski demonstrasi adalah hak setiap warga negara, ia meminta agar umat Muslim taat dan patuh pada hukum. "Jadi kita tak perlu mengintervensi atau memengaruhi para hakim, apalagi dengan tekanan-tekanan massa yang sangat besar dan sebagainya,” tuturnya.
Asa senada dikemukakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Dia berharap aksi 5 Mei tidak mengintervensi hakim dalam mengambil putusan terkait perkara terhadap koleganya. Dia juga ingin hakim tak terpengaruh oleh aksi apa pun, dan mempunyai independensi serta rasa keadilan untuk memutuskan. "Tidak boleh hakim dipengaruhi siapa pun," ujarnya.
Bachtiar menampik aksi ini untuk menekan hakim ataupun mengintervensi putusan. Ia hanya ingin agar keadilan dapat ditegakkan.
Selanjutnya, Kontroversi Aksi
Kontroversi Aksi
Beragam respons muncul terkait aksi ini. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menganggap, aksi 505 sebagai bagian penyampaian aspirasi yang harus dilayani oleh negara. Negara juga diminta tidak kaku ketika banyak orang ikut dalam aksi itu.
"Kita harus membiasakan diri kedatangan tamu banyak. Apalagi Jakarta ini ibu kota. Jadi santai saja. Karena insya Allah kita menjamin, orang-orang itu juga niatnya baik, niatnya itu sekadar ingin menyampaikan perasaannya," kata Fahri, Kamis, 4 Mei 2017.
Jakarta, menurut Fahri, dapat sejajar dengan kota-kota besar di dunia jika sanggup menangani demonstrasi besar-besaran dengan aman dan tertib. Warga di kota-kota besar semacam Paris, Washington DC, Seoul, dan Tokyo, kembali beraktivitas seperti biasa setelah unjuk rasa besar-besaran.
Fahri mengaku tidak diundang dalam rencana demonstrasi itu. Namun, dia mempersilakan jika ada yang ingin datang ke DPR, dan akan diterimanya sebagai tamu.
Lain lagi yang dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK menilai aksi 505 tak perlu dilakukan. Sebab, kasus dugaan penistaan agama tersebut telah masuk ke pengadilan sejak Desember 2016.
"Kalau urusan perlu tak perlu, pemerintah menganggap tak perlu lagi karena urusannya sudah di pengadilan," ujarnya.
Namun, pemerintah tak mungkin melarang rakyat melaksanakan hak kebebasan berpendapat dengan melakukan unjuk rasa. JK hanya berpesan supaya unjuk rasa itu dilakukan sesuai aturan.
Senada seirama, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Said Aqil Siroj menilai, aksi 505 tak penting dan hanya menghabiskan energi dan waktu. Dia menekankan untuk menyampaikan aspirasi dan kritikan tidak dengan cara demonstrasi. Sebab, unjuk rasa dianggap hanya akan mengganggu banyak hal. "Di Islam tidak ada demo-demo itu," ujarnya.