'Dagelan' Angket E-KTP DPR
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id – Lagi-lagi Dewan Perwakilan Rakyat menggelar paripurna yang diwarnai kericuhan dengan aksi walk out sejumlah fraksi. Kali ini, paripurna wakil rakyat yang berlangsung kemarin, punya episode utama membahas usulan hak angket kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Sejak digulirkan, usulan angket e-KTP ini mendapat kecaman keras dari berbagai pihak terutama kalangan masyarakat aktivis. Begitupun suara internal dari beberapa fraksi yang menolak angket ini. Namun, kembali lagi, DPR memperlihatkan sikap kerasnya.
Berawal dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang mengambil alih sidang paripurna. Dalam paripurna, seperti biasa, interupsi ala anggota dewan dilakukan. Beberapa interupsi dilakukan perwakilan fraksi yang diantaranya menolak usulan angket e-KTP.
Namun, interupsi tersebut sepertinya tak digubris Fahri. Politikus PKS itu langsung bertanya kepada anggota dewan di ruang paripurna terkait persetujuan usulan angket e-KTP. Tak ada voting dan tanpa ada jawaban dari anggota dewan, Fahri langsung mengetuk palu begitu saja sebagai tanda angket e-KTP disahkan di forum paripurna.
Sontak, sikap Fahri ini memantik kericuhan. Beberapa perwakilan fraksi melakukan interupsi dengan berteriak-teriak. Suasana ricuh yang sering terjadi di paripurna dewan terulang kembali. Meski diselingi kericuhan dan aksi walk out, paripurna kembali dilanjutkan dengan mendengarkan pidato penutupan masa sidang dari Ketua DPR Setya Novanto.
"Ini lebih dari dagelan, tapi yang tidak lucu, memalukan. Diulang terus. Wakil rakyat tapi enggak mencerminkan jabatan kehormatannya. Bahas angket e-KTP yang sudah ditentang banyak pihak," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, Jumat, 28 April 2017.
Usulan angket e-KTP yang digulirkan sudah menjadi sorotan sejak awal diwacanakan. Keterangan penyidik senior KPK Novel Baswedan dalam persidangan e-KTP, akhir Maret lalu, yang mengatakan justru anggota DPR Miryam Haryani ditekan sejumlah koleganya di Komisi III DPR menjadi alasannya. Saat itu, dia menyebut sejumlah nama seperti Bambang Soesatyo, Sarifudin Suding, Masinton Pasaribu, Desmond Mahesa, dan Aziz Syamsudin.
Kesaksian Novel ini membantah keterangan Miryam yang menyebut penyidik KPK yang menekan mantan Bendahara Umum Hanura saat pemeriksaan. Pihak Komisi III DPR yang penasaran rupanya ingin meminta keterangan KPK agar bersedia membuka rekaman saat memeriksa Miryam. Forum rapat dengar pendapat antara KPK dengan Komisi III pada Selasa, 18 April 2017 menjadi ajang 'dipanaskan' lagi angket e-KTP.
Terlihat, pasca rapat dengan KPK tersebut, beberapa anggota dan pimpinan Komisi III melakukan manuvernya dengan melempar usulan angket e-KTP. Alasan utama agar KPK bersedia membuka rekaman saat pemeriksaan terhadap Miryam Haryani. Gayung seperti bersambut karena sejak awal Fahri Hamzah dari barisan pimpinan DPR mendukung angket terkait e-KTP.
"Fahri yang menjadi pimpinan rapat nampaknya begitu berkepentingan untuk merealisasikan wacana hak angket ini," ujar Lucius.
Dalam perkara korupsi e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun, seperti diketahui beberapa nama elite anggota dewan disebut dalam dakwaan. Deretan nama kader dari sembilan parpol disebut jaksa KPK dalam sidang perdana e-KTP, pertengahan Maret 2017.
"Ini terlihat bagaimana beberapa parpol tak ingin mendukung KPK dalam penuntasan kasus e-KTP. Terlihat sejak awal bagaimanana kepentingan DPR dalam perkara e-KTP ini," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Faridz kepada VIVA.co.id, Jumat, 28 April 2017.
Pihak KPK yang diwakili Juru Bicara Febri Diansyah menegaskan sikap DPR yang memaksa membuka rekaman pemeriksaan Miryam Haryani justru akan menghambat proses hukum di KPK. Tak hanya kasus e-KTP, namun potensi tersebut bisa terjadi di kasus dugaan korupsi lain.
Keinginan DPR yang seolah-olah memaksa membuka rekaman seperti intervensi politik. Membuka rekaman penyidikan tak bisa sembarangan karena ada aturannya
seperti tertuang dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
Seharusnya, jika ingin memaksakan membuka rekaman maka itu harus mengikuti proses persidangan di pengadilan.
"Kalau seperti ini ditakutkan bagaimana DPR yang punya kekuasaan. Akan terus memanggil KPK jika ada keterangan di persidangan yang menyebut nama anggota DPR," tutur Febri, Jumat 28 April 2017
Selanjutnya, Fahri Hamzah abuse of power
***
Sosok Fahri Hamzah kembali menjadi sorotan. Sikap politikus PKS yang menetapkan keputusan sepihak dalam paripurna DPR dengan agenda pembahasan e-KTP menuai kecaman.
Sikap Fahri yang memutuskan sepihak tanda adanya persetujuan anggota merupakan tindakan ilegal dan sewenang-wenang. Kewenangan pengambilan keputusan dalam paripurna bukan hak pimpinan, melainkan pada anggota.
"Ini abuse of power, merendahkan hak masing-masing anggota DPR untuk memberikan sikap atas pengajuan angket tersebut," ujar Donald Faridz.
Status hasil keputusan paripurna, Jumat kemarin pun menjadi tanda tanya. Tak hanya kalangan luar, dari internal parlemen menilai paripurna cacat hukum. Selain keputusan sepihak, tak ada proses interupsi dan lobi antar fraksi seperti mekanisme paripurna yang biasa terjadi.
"Pengambilan keputusan dalam paripurna tidak sah dan sepihak. Ini tak sesuai dengan mekanisme angket dalam pasal 199 ayat 3 Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3)," jelas Donald.
Dengan tak melakukan sesuai prosedur formal, maka hak angket e-KTP cacat hukum dan tak bisa dilanjutkan. "KPK pun tak perlu datang ke forum yang ilegal dan cacat hukum tersebut," tuturnya.
Wakil Ketua Fraksi PKB, Daniel Johan juga sependapat. Menurut dia, dalam UU MD3, hak angket DPR mendapat persetujuan dari paripurna yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR. Pasalnya, keputusan angket e-KTP diambil dengan tanpa persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR.
Paripurna yang diwarna aksi walk out ini pun disesalkan Daniel. Ia mengkritisi kejadian ricuh paripurna yang terus berulang dilakukan.
"Mekanisme paripurna ini tak dilakukan oleh pimpinan DPR. Bagaimana terjadi kericuhan, masyarakat bisa menilainya," tutur Daniel.
Penolakan dari berbagai pihak terkait angket e-KTP, namun tak digubris DPR menjadi sorotan. Pimpinan dan anggota DPR dinilai tak sensitif terhadap aspirasi publik. Padahal, penolakan sudah dilakukan tegas oleh tiga fraksi dengan melakukan walk out yaitu Gerindra, PKB dan Demokrat.
Pelaksaan paripurna penutupan sebelum reses ini pun dinilai dengan cara curang dan manipulasi.
"Ini masalah serius juga ketika DPR atas nama mekanisme prosedural mengabaikan suara wakil rakyat yang sudah menolak. Ini proses yang tidak fair," kata peneliti Formappi, Lucius Karus.
Aksi walkout tiga fraksi di paripurna DPR, Jumat (28/4/2017).
Selanjutnya, PKS dan pendukung angket
***
Aksi walk out yang dilakukan tiga fraksi dalam paripurna yaitu Gerindra, PKB, dan Demokrat menarik perhatian. Aksi ini tak diikuti dua fraksi lain yakni PKS dan PAN. Padahal, PKS dan PAN sudah menyatakan penolakan terhadap angket e-KTP.
Perhatian kembali tertuju PKS dan sosok Fahri Hamzah. Membingungkan, ketika seorang Fahri kembali lagi berbeda sikap dengan partainya. Namun, keseriusan PKS dalam penolakan angket e-KTP perlu penegasan. Hanya sehari menjelang paripurna penutupan, partai dakwah ini mengeluarkan pernyataan jika menolak angket.
Seharusnya, sebagai partai, PKS bisa menginstruksikan kadernya seperti Fahri Hamzah agar satu suara.
"Dugaan motif kepentingan kelompok atau pribadi Fahri di balik pengesahan hak angket KPK bisa kita telusuri beberapa hari terakhir," ujar peneliti Formappi, Lucius Karus.
Begitupun dengan sikap PAN. Lewat Ketua Umum, Zulkifli Hasan, PAN menolak tegas angket e-KTP. Menurut Zulkifli, instruksi partai mengarahkan kader di DPR untuk menolak berbeda dengan kenyataannya. PAN seperti bersikap 'abu-abu' dalam persoalan ini di paripurna.
Namun, barisan parpol pemerintah minus PKB dalam hal ini seperti menunjukkan kekompakannya. Mulai dari PDIP, NasDem, Hanura, PPP, dan Golkar setuju mendukung usulan angket e-KTP. Padahal, beberapa hari sebelumnya, seperti PPP yang diwakili Sekjen Arsul Sani menekankan penolakan usulan angket e-KTP. Kenyataanya di paripurna lagi-lagi beda dengan beberapa hari sebelumnya.
Suasana interupsi di paripurna angket e-KTP, Jumat (28/4/2017).
Hal serupa dikatakan Hanura. Wakil Sekjen DPP yang juga Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana mengatakan partainya tak mendukung angket e-KTP. Tapi, Hanura dalam paripurna menyatakan sikap berbeda.
Dadang Rusdiana menjelaskan alasannya mendukung hak angket e-KTP. Ia mengatakan partainya ingin mengetahui dan mendalami dugaan tekanan politik yang dilakukan anggota DPR. Apalagi, Miryam Haryani yang tersangkut e-KTP merupakan kader Hanura.
"Bener enggak ada tekanan, kami ingin tahu itu. Hanura mendukung untuk mendalami tekanan politik yang dilakukan anggota DPR," kata Dadang saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 28 April 2017.
Hanura juga menekankan hak angket ini untuk mendalami perkara e-KTP. Hal tersebut menurut Dadang harus dibuktikan penyidik KPK agar proses yang berjalan berlangsung dengan benar. Pernyataan Novel Baswedan yang menyebut sejumlah nama anggota dan pimpinan Komisi III harus bisa dibuktikan.
Keterangan Novel saat menjadi saksi dalam persidangan di Tipikor, beberapa waktu lalu diminta untuk bisa dipastikan kebenarannya.
"Kepentingannya apa? Itu yang harus dibuktikan oleh penyidik KPK sehingga ada kepastian bahwa proses penyidikan itu berlangsung benar, jangan sampai penyidik berpolitik dengan asal menyebut nama," tutur Dadang. (adi)