Jalur Tengkorak Itu Bernama Selarong

Kecelakaan bus di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, Minggu (23/4/2017).
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id – Okta dan Diana tidak menyangka, Sabtu petang 22 April 2017 akan menjadi akhir pekan terakhir mereka. Keduanya tewas setelah sepeda motor yang mereka kendarai tertabrak bus HS Transport di turunan Selarong, kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat.

Detik-detik Mencekam Truk Tronton Tabrak 8 Kendaraan di Slipi hingga Tewaskan 1 Orang

Peristiwa itu terjadi saat bus yang tengah melaju kencang dari arah Jakarta hilang kendali, akibat rem blong. Bus tengah mengangkut 40 orang yang akan menghabiskan liburan di kawasan Puncak.

Beberapa saat sebelum kejadian, sopir sempat berteriak bahwa bus tidak bisa direm alias blong. "Kami yang ada di dalam bus langsung pegangan, tidak lama kemudian busnya menabrak kendaraan yang di depannya," ungkap salah satu penumpang bus, Nuryati.

Bahayanya Nyalip di Garis Marka Tidak Putus yang Sebabkan Tewasnya Pembalap Hokky Krisdianto

Selain Okta dan Diana, ada dua pengguna jalan lain yang juga tewas. Salah satunya Kepala Desa Citeko, Kecamatan Cisarua Bogor, Jawa Barat, bernama Dadang Sulaeman (45).

"Satu korban sudah dibawa oleh keluarganya atas nama Dadang Sulaeman. Dia Kades Citeko," kata Kasat Lantas Polres Bogor, Ajun Komisaris Polisi, Hasby Ristama.

Waspadai Ruas Tol Cipularang yang 'Angker' dan Rem Blong yang Kerap Hantui Kendaraan

Dia mengatakan, Kades Citeko mengendarai kendaraan roda empat dari arah Jakarta menuju Puncak. Mobil yang kemudikannya ringsek, usai ditabrak bus HS Transport.

Usai kecelakaan, sopir bus langsung diamankan oleh aparat kepolisian Polres Bogor. "Sopir bus pariwisata yang membawa penumpang 40 orang telah kami masukkan ke dalam sel," tutur Hasby.

Mobil yang terkena dalam kecelakaan bus di Megamendung, Bogor, Jawa Barat

Mobil yang ringsek akibat tertabrak bus HS Transport (Foto: Istimewa)

Dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan petugas gabungan dari Polres Bogor, Polda dan Dinas Perhubungan Jawa Barat, ditemukan fakta bahwa bus melaju dengan kecepatan tinggi.

"Kami langsung memasang sejumlah alat ukur di posisi awal tabrakan beruntun di Selarong. Sedikitnya, ada enam titik benturan terjadi menyilang sejauh lebih dari 100 meter dalam olah TKP," ungkap Direktur Lalu Lintas Polda Jabar, Kombes Pol Tomex Korniawan.

Ia mengatakan, bus yang datang dari arah Jakarta melaju kencang di jalur menurun. Padahal, batas kecepatan yang berlaku di jalanan tersebut yakni 40 kilometer per jam.

Selain itu, sopir juga diketahui tak layak mengemudikan bus, karena tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM). Saat bus diperiksa, ternyata kendaraan itu juga tidak lolos uji kir.

Selanjutnya….jalur tengkorak

Turunan Selarong memang sudah sejak lama mendapat julukan sebagai jalur tengkorak. Julukan itu diberikan karena banyak sekali kecelakaan yang terjadi di jalur tersebut.

Kondisi kontur jalan yang menanjak (dari arah Jakarta) serta berkelok membuat banyak sopir bus berusaha melalui jalur tersebut dalam kecepatan tinggi. Jika tidak, dikhawatirkan tenaga mesin tidak cukup kuat untuk menghadapi tanjakan curam.

Sayangnya, hal itu bisa fatal saat kendaraan melintasi jalur yang landai atau menurun. Kondisi jalur tersebut juga tidak ramah untuk perangkat pengereman kendaraan, terutama untuk kendaraan berukuran besar seperti bus dan truk.

Tahun lalu, kecelakaan yang melibatkan bus dan truk di jalur Selarong juga terjadi akibat rem blong. Sebuah bus pariwisata dengan nomor polisi F 7575 WM bergerak dari arah Puncak menuju ke Bogor.

"Setibanya di lokasi tempat kejadian perkara, diduga rem blong," kata mantan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Polisi, Sulistyo Pudjo Nugroho.

Kemudian, mobil pariwisata tersebut hilang kendali, dan menabrak kendaraan Honda City, Kijang Innova dan Kijang Grand Extra. Selain kendaraan roda empat, bus pariwisata tersebut juga menabrak kendaraan roda dua, yaitu Honda Beat bernomor polisi F 2859 LZ, dan Motor Supra F 8145 VP. Dua orang tewas dalam kejadian tersebut.

Tahun sebelumnya, sebuah bus milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengangkut rombongan mahasiswa dari Unversitas Yarsi Jakarta, juga terlibat kecelakaan di kawasan tersebut.

Ilustrasi polisi olah TKP kecelakaan

Ilustrasi polisi olah TKP kecelakaan (Foto: VIVA.co.id/Rizki Aulia) 

kejadian bermula saat dua bus TNI melaju dengan kecepatan tinggi di jalur tersebut. Bus diduga mengalami rem blong dan langsung menyeruduk dua sepeda motor yang ada di depannya.

Setelah menabrak sepeda motor, bus juga menabrak bus TNI lainnya  yang berada di depannya, yang mengakibatkan bus tersebut terguling ke kanan.

Bus yang rem blong kembali menabrak sepeda motor Hoda Supra X dan Honda Scoopy yang terparkir di depan toko. Bus itu juga diketahui menghantam satu unit mobil yang sedang terparkir. Dalam kejadian itu, tiga orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.

Selanjutnya...masalah uji kir

Maraknya kecelakaan yang melibatkan angkutan umum dinilai karena penerapan regulasi yang diatur pemerintah, khususnya di daerah, masih sangat longgar. Contohnya, kondisi kendaraan yang buruk masih saja diberi izin beroperasi oleh otoritas yang berwenang.

Toleransi lainnya mengenai jalur operasi angkutan umum yang sudah dibekukan. Seringkali petugas di lapangan 'tutup mata' melihat ada angkutan umum yang tetap beroperasi, meski izin trayeknya sudah dibekukan.

"Toleransinya sudah sangat tinggi," kata Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan angkutan umum, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi para pemilik jasa transportasi umum. Salah satu contohnya, menggunakan sistem gaji, bukan komisi.

Selain itu, pemilik juga harus rutin melakukan perawatan berkala dan juga meremajakan armada, agar kendaraan tetap beroperasi dengan aman.

Sementara itu, pengamat transportasi lainnya, Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, apa yang terjadi pada Sabtu 22 April di Puncak adalah kelalaian dari Dinas Perhubungan (Dishub).

“Harus dilihat pelat nomornya. Kalau pelat B, artinya kelalaian Dishub Jakarta. Kalau pelat F, artinya Dishub Bogor. Masalahnya pada pengawasan. Berarti itu tidak ada pengawasan uji kir. Harusnya kan enggak layak jalan,” tuturnya saat dihubungi VIVA.co.id.

Ia juga menyoroti tanggung jawab dari pemilik armada bus. Menurutnya, pemerintah memberi sanksi tegas kepada perusahaan otobus (PO) yang lalai memantau perawatan armadanya.

“Harusnya izin perusahaan itu dicabut. Karena menyebabkan orang meninggal. Jadi, memang harus diproses secara hukum. Izin harus dicabut, karena memang sudah tidak benar,” ungkapnya.

Menhub Budi Karya Sumadi saat uji KIR di PT Hibaindo Armada Motor, Cakung.

Ilustrasi uji kir (Foto: Kemenhub)

Seperti diketahui, salah satu kendala untuk bisa mendapatkan transportasi umum yang aman adalah keberadaan calo dan oknum di lokasi uji kir. Bahkan, hal itu sempat terlihat saat Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, saat melakukan inspeksi mendadak beberapa waktu lalu.

Saat ia datang ke kantor Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) Kota Semarang, sejumlah orang yang diduga oknum calo uji kir berhamburan melarikan diri. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya