Prancis dan Serangan Teror Tanpa Akhir

Perempuan Muslim dengan dua Bendera Prancis di Paris.
Sumber :
  • REUTERS/Charles Platiau

VIVA.co.id – Kenyamanan Champs-Elysees, wilayah favorit turis yang berada tepat di jantung kota Paris, Prancis, terkoyak. Ratusan warga dan turis yang sedang menikmati suasana di Champs-Elysees pada Kamis malam, 20 April 2017, berhamburan setelah suara rentetan senapan terdengar. Semua orang berebut menyelamatkan diri.

Tembakan tersebut  menewaskan satu polisi dan melukai tiga lainnya. Pelaku berusaha melarikan diri, sambil tetap melepaskan tembakan. Pelaku berhasil dilumpuhkan dan kini  berada dalam penanganan  kepolisian.  Mengutip laporan Reuters, 21 April 2017, teror penembakan itu dilakukan seorang pria yang membawa senapan mesin. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Prancis Pierre Henry Brandet menyebutkan, serangan itu  diduga memang ditujukan untuk petugas polisi. "Senjata mesin digunakan untuk menembaki aparat," ujarnya.

Hanya hitungan jam, kelompok militan ISIS mengklaim bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Melalui buletin Amaq, buletin yang mereka kelola, kelompok ini mengakui serangan itu. "Serangan tersebut dilakukan  Abu Yussef. Ia adalah seorang Belgia, dan dia pejuang ISIS," tulis mereka.  Pengakuan ISIS juga segera ditanggapi Presiden Prancis Francois Hollande. Ia membenarkan serangan tersebut terkait dengan terorisme.

Serangan terhadap mobil polisi itu menjadi serangan terbaru di Prancis. Sejak 2015, Paris telah menjadi sasaran serangan teror. Diawali pada Januari 2015, ketika tiga orang bersenjata menyerang kantor majalah Charlie Hebdo, sebuah majalah satir yang sempat menerbitkan edisi yang melecehkan Nabi Muhammad SAW. Akibat serangan itu 17 orang tewas seketika.

Kemudian pada Juni 2015, serangan teror kembali terjadi. Para teroris berusaha  meledakkan pabrik gas di Saint Quentin, Fallavier, tenggara Prancis. Disebutkan, salah satu korban tewas karena  dipenggal dan sejumlah lainnya terluka. Kepala korban dipenuhi oleh tulisan berbahasa Arab dan ditancapkan di  pagar kawat di depan pabrik.

Belum hilang luka akibat serangan brutal di Charlie Hebdo dan Saint Quentin, bulan November tahun 2015 mungkin menjadi mimpi buruk bagi rakyat Prancis. Pada 13 November 2015, dalam waktu bersamaan, terjadi ledakan bom dan penembakan di beberapa tempat  berbeda. Aksi terkoordinasi itu menewaskan 258 orang dan sekitar 350 orang luka-luka.

Sepanjang 2016, Prancis kembali mengalami serangan teror. Di bulan Juni 2016, seorang penyerang membunuh komandan Polisi Prancis dan istrinya di kediaman mereka. Pelaku berhasil ditembak mati oleh petugas lainnya. Kelompok ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu.

Lalu pada 15 Juli 2016, ketika rakyat Prancis sedang merayakan Hari Nasional Prancis yang dikenal sebagai Bastille Day, serangan teror kembali terjadi.  Pelaku teror bernama Mohamed Lahouaiej Bouhlel, berusia 31 tahun. Dengan menggunakan truk besar merek Renault Midlum, pelaku tunggal itu nekat menerobos kerumunan 30 ribu massa. Tak ayal, 84 orang tewas seketika dan 150 orang lainnya luka-luka.


Jelang Pemilu

Prancis Latih Burung Elang untuk Lawan Drone

Aksi teror terakhir ini terjadi menjelang pemilihan Presiden Prancis yang akan digelar pada Minggu, 23 April 2017. Menurut Reuters, pemilihan presiden kali ini sangat sulit diprediksi. Dari 11 kandidat yang mengikuti pilpres, empat kandidat teratas bersaing ketat dengan selisih suara sangat tipis antar mereka. Dua kandidat peraih suara terbanyak akan diadu lagi pada putaran kedua yang akan digelar pada 7 Mei 2017.

Diberitakan oleh France24, penembakan pada polisi ini terjadi saat seluruh kandidat capres sedang melakukan kampanye program di stasiun televisi. Seharusnya, masih ada satu putaran kampanye lagi sebelum pemilihan presiden dilakukan. Namun sebagian besar kandidat sepakat untuk membatalkannya.  

Kronologi Penyerangan Tentara di Museum Louvre

"Dalam konteks aksi teror terbaru, tidak ada alasan untuk melanjutkan kampanye. Kita harus menunjukkan solidaritas kita dengan kepolisian," tutur kandidat konservatif, Francois Fillon seperti dikutip Reuters, Jumat, 21 April 2017.

Fillon termasuk salah seorang kandidat yang juga populer. Posisinya berada di peringkat ketiga setelah Emmanuel Macron dan Marine Le Pen.  Fillon selalu mengampanyekan sikap anti-terorisme. Ia mengatakan,  pertarungan melawan "totaliterisme Islam" harus menjadi prioritas presiden Prancis berikutnya.

Kisah Algojo ISIS Tobat dan Serahkan Diri ke Polisi

"Pertarungan untuk kebebasan dan keamanan orang Prancis ini harus menjadi prioritas pemerintah berikutnya, ini akan memerlukan tekad yang pantang menyerah dengan kepala tetap dingin. Radikal Islam menantang nilai dan kekuatan karakter kita," ujarnya.

Fillon, yang selama kampanye selalu mengedepankan keamanan negara dari kelompok garis keras, menegaskan, "Kami berperang, tidak ada alternatif, ini kami atau mereka." Dengan tegas ia bahkan menyatakan, bahwa jika ia menjadi presiden, maka  prioritas kebijakan luar negerinya adalah menghancurkan ISIS.

Presiden AS Donald Trump bahkan mengatakan, aksi teror ini akan memberi pengaruh besar pada proses pemilihan Presiden Prancis.


Mengapa Prancis?

Dibanding negara Eropa lainnya, Prancis menjadi negara yang paling sering menjadi sasaran teror. Kepala Eksekutif Intelligent Risks Group, Neil Fergus, mengatakan, alasan Prancis menjadi target utama karena negara itu melambangkan “mercusuar kebebasan”.

Diberitakan ABC, menurutnya, nilai-nilai kebebasan, persaudaraan, dan persamaan dalam kemanusiaan adalah nilai-nilai Eropa yang ditentang  kelompok militan seperti ISIS, di mana mereka mengharamkan nilai dan peradaban yang dianut Barat.

“Egalite (persamaan), Fraternite (persaudaraan), dan Liberte (kebebasan). Prancis adalah jantung filosofi kesucian Barat atau episentrum. Inilah yang dijadikan alasan bagi kelompok-kelompok mainstream untuk melakukan kekejian,” kata Fergus.

Jika benar apa yang disampaikan Fergus, maka teror terhadap Prancis, negara yang menjadi lambang mercusuar kebebasan mungkin tak akan pernah terhenti. Prancis, dengan keterbukaannya, akan selalu menjadi sasaran menarik pada kelompok garis keras untuk meluapkan kebencian mereka pada kebebasan, yang direpresentasikan oleh Prancis.

Nilai-nilai kemanusiaan yang dianut  Eropa sepertinya sulit bisa meluluhkan kebencian kelompok garis keras itu.  (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya