Integrasi Tarif Tol, Solusi atau Merugikan?
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
VIVA.co.id – PT Jasa Marga Tbk telah melakukan sistem integrasi jalan tol Jakarta-Tangerang-Merak dengan menghilangkan gerbang tol Karang Tengah sejak Minggu 9 April 2017. Kebijakan ini dilakukan oleh operator jalan tol bertujuan untuk mengurai kemacetan jalan tol Jakarta-Tangerang di jalur menuju gerbang tol Karang Tengah, yang antre hingga lima kilometer di jam-jam sibuk.
Pemberlakuan integrasi jalur tol ini, berdampak pada mekanisme pembayaran tol. Pembayaran tol dari Karang Tengah kini bergeser ke gerbang tol Cikupa, dan pemberlakuan sistem tol terbuka Tomang-Cikupa, serta sistem tol tertutup Cikupa-Merak.
Dampak lain dari pemberlakuan aturan ini adalah penerapan tarif baru bagi pengguna jalan tol Jakarta-Tangerang-Merak. Operator menerapkan satu tarif atau tarif datar bagi pengguna jalan tol dari Simpang Susun Tomang hingga gerbang tol Cikupa.
Tarif datar berlaku bagi pengendara jarak jauh maupun dekat yaitu Rp7.000 untuk kendaraan Golongan I, Rp9.500 untuk kendaraan Golongan II, Rp12.000 untuk Golongan III, Rp16.000 untuk Golongan IV, dan Rp20.000 untuk Golongan V.
Sementara itu, bagi pengguna jalan yang keluar dari segmen Balaraja Timur-Merak, dikenakan tarif integrasi ditambah tarif tol Tangerang-Merak sesuai dengan jarak tempuhnya. Transaksi dilakukan sekaligus di gerbang tol tujuan.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol, Herry T. Zuna, menegaskan, tujuan besar integrasi ini adalah efisiensi dan mengurai kepadatan Jalan Tol Jakarta-Tangerang karena simpul kepadatan di Gerbang Tol Karang Tengah telah dihilangkan, sehingga lalu lintas terdistribusi di beberapa titik.
"Kaitannya dengan efisiensi, justru ini lah jawabannya. Jadi kalau yang jarak dekat harus dibuat keseimbangan. Tapi untuk yang jarak jauh di jalan utamanya itu relatif lebih lancar kalau pagi," ujarnya.
Selanjutnya, Perubahan Tarif
Perubahan Tarif
Proses integrasi pembayaran tarif tol ini memiliki dampak terhadap kenaikan tarif. Kenaikan tarif cukup signifikan, seperti misalnya para pengguna tol yang ingin masuk ke Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) dari arah Tomang. Jika sebelumnya mereka hanya harus membayar Rp12 ribu, kini naik menjadi Rp16 ribu.
Banyak pengguna jalur tol yang mengeluhkan adanya kenaikan tarif dari harga tarif yang biasanya harus mereka bayar selama ini. Pengguna jalan tol jarak pendek pun harus membayar lebih mahal.
Herry menyatakan, penerapan integrasi sistem jalan tol ini menggunakan skema subsidi silang antara pengendara jarak dekat dan jarak jauh. Pengguna jalan tol jarak dekat menyubsidi pengguna jalan jarak jauh.
"Ada subsidi silang antara (pengguna jalan yang) satu sama yang lain. Artinya, (pengguna jalan tol) jarak jauh akan tersubsidi oleh (pengguna tol) yang jarak dekat. Harusnya pengguna jarak jauh bayar Rp8.500, sekarang jadi Rp7.000," kata Herry.
Skema subsidi silang pada tarif tol dinilai merugikan, karena menyebabkan pengguna jalan tol berjarak pendek harus membayar lebih mahal, demi menyubsidi pengguna jarak jauh. Namun, Herry berkelit bahwa penerapan tarif baru ini bukan upaya untuk mencari keuntungan bagi operator jalan tol, melainkan demi mengurai simpul kepadatan kendaraan, dan mendistribusikan transaksi jalan tol di sejumlah titik.
Ia juga mengatakan, dengan diberlakukannya integrasi tarif tol ini, maka tahun depan tidak perlu ada lagi kenaikan biaya tarif tol. Integrasi ini juga sebagai upaya pemerintah dalam melakukan perubahan mekanisme sistem transaksi semacam itu.
Herry mendesak Jasa Marga dan PT Marga Mandalasakti, selaku operator jalan tol Jakarta-Tangerang-Merak, untuk segera memperbaiki serta meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Termasuk, di dalamnya berupa perbaikan kualitas jalan, penyediaan layanan informasi mengenai kondisi jalan tol bagi masyarakat, hingga kepada pemasangan CCTV, guna pemantauan kondisi lalu lintas di sepanjang jalur tol Jakarta-Merak tersebut.
"Saya mendorong dengan keras (kepada pihak operator), agar aspek pelayanan juga bisa ditingkatkan, baik dari segi kondisi maupun yang sifatnya responsif. Termasuk, pelayanan dalam konteks informasi," kata Herry.
Pihak operator jalan mengklaim integrasi jalan tol Jakarta-Tangerang-Merak akan menghilangkan kemacetan dengan meniadakan transaksi di gerbang tol Karang Tengah, yang kerap memicu kemacetan hingga lima kilometer.
"Diharapkan pelayanan dapat ditingkatkan dan kepadatan, khususnya segmen simpang susun Tomang-Tangerang Barat-Cikupa dapat dikurangi," kata Humas PT Marga Mandala Sakti, Indah Permanasari.
Pihak Jasa Marga pun mengakui bahwa dengan dibukanya Gerbang Tol Karang Tengah ini, dampaknya bisa mengurai kemacetan yang kerap mengular di jam-jam sibuk di kedua arah baik Jakarta maupun Merak.
"Yang sebelumnya dari arah Merak ke Jakarta bisa menyebabkan antrean sepanjang lima kilometer, sekarang sudah enggak ada lagi," ujar Kepala Sub Bagian Humas PT Jasa Marga, Wisnu Priyambodo, saat meninjau pembebasan gerbang tol Karang Tengah beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, Rugikan Konsumen
Rugikan Konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI mengkritik operator jalan tol atas langkah integrasi sistem jalan tol ini, dengan tarif datar menggunakan skema subsidi silang. Sebab, pengguna jalan tol berjarak pendek harus membayar lebih mahal dari biasanya, demi menyubsidi pengguna jarak jauh.
YLKI menilai hal itu jelas-jelas dinilai merugikan konsumen. Konsumen merasa dirugikan akibat adanya kenaikan tarif melalui skema subsidi silang tersebut.
"Sebenarnya ini kan integrasi sistem pembayaran, mestinya tidak berdampak ke kenaikan tarif. Jadi kalau yang dilakukan Jasa Marga itu bukan perubahan sistem pembayaran sebetulnya, tapi perubahan tarif," kata Wakil Ketua Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 13 April 2017.
YLKI juga mempertanyakan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM), yang telah diberikan pihak operator jalan tol, ketika ingin memberlakukan kenaikan tarif atas dalih subsidi silang tersebut. Sudaryatmo juga mengkritik Badan Pengatur Jalan Tol, yang seharusnya berdiri di pihak konsumen, dengan mengevaluasi kinerja Jasa Marga terkait pemenuhan delapan indikator SPM yang harus dipenuhi oleh pihak operator jalan tol tersebut.
"Prinsipnya kan tarif yang dibayar konsumen itu harus berbanding lurus dengan keuntungan, dan manfaat yang diberikan pihak operator. Jadi kalau ada kenaikan tarif, mestinya ada penjelasan mengenai bentuk-bentuk apa saja dari pelayanannya yang bertambah," tuturnya.
Diketahui, delapan indikator SPM yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 16 Tahun 2014 adalah mengenai kondisi jalan, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan/penyelamatan, bantuan pelayanan, kebersihan lingkungan, serta kelayakan tempat istirahat dan pelayanan.
Pengamat transportasi, Arista Atmadjati mengatakan, penerapan subsidi silang dengan membebani pengendara jarak pendek tarif lebih mahal, guna menyokong pengendara jarak jauh, tidak logis sama sekali. Kebijakan ini jelas merugikan bagi pengguna jalan tol.
"Saya dapat laporan dari teman saya yang rumahnya di sekitaran Joglo, Jakarta Barat. Dia bilang biasanya tarif tol yang dilaluinya itu hanya Rp2.500, tapi sekarang naik sampai Rp5.000. Bahkan katanya ada juga yang naik sampai Rp7.000. Nah itu kan jelas sangat merugikan," kata Arista saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 13 April 2017.
Selain itu, dia menyoroti kemampuan operator jalan tol dalam mengurai kepadatan kendaraan di pintu-pintu tol. "Masalah kesiapan pintu tolnya itu kan juga masih kurang optimal, sehingga saat ini antrean panjang juga tetap terjadi, hanya berpindah saja ke exit tol masing-masing," katanya.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menambahkan, penerapan integrasi tarif baru jalur tol Jakarta-Tangerang-Merak sama saja dengan kenaikan tarif. Dia menolak adanya kenaikan tarif bagi pengguna jalan tol berjarak pendek.
"Karena, kalau saya melihat aturan itu enggak betul. Harusnya, ini kan hanya perubahan sistem pembayaran dari misalnya dua gerbang jadi satu gerbang. Jadi, tidak harus ada kenaikan tarif sebenarnya," kata Agus saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 13 April 2017.
Dia juga mendesak Jasa Marga transparan dalam perhitungan tarif tol dengan jarak tempuh kendaraan. Berapa tarif yang seharusnya dibayar oleh pengendara jarak dekat atau pengendara jarak jauh, sesuai jarak tempuh.
Dia juga menilai integrasi jalur tol Jakarta-Tangerang-Merak dengan menghilangkan gerbang tol Karang Tengah kurang efisien untuk mengurai kepadatan kendaraan di jalan tol. Sebab, dengan makin banyaknya volume kendaraan, hal itu justru dinilai hanya akan memindahkan antrean dari GT Karang Tengah, ke masing-masing pintu tol keluar yang menjadi tujuan dari para pengguna jalan tol tersebut.
Karena itu, Agus mengaku telah lama mengusulkan, agar setiap transaksi di gerbang tol sudah harus menggunakan sistem on board unit, atau OBU, agar setiap transaksi lebih efisien dan antrean panjang dapat dihindari.
"Dari awal, saya katakan bahwa transaksi jalan tol itu seharusnya enggak ada lagi yang pakai uang tunai. Semua harus pakai kartu dan OBU. Jadi, mobil enggak perlu berhenti, jalan saja terus. Teknologi semacam itu juga akan membantu proses operatornya," kata Agus.
Kondisi itu lah yang harus dilakukan Jasa Marga, daripada memberlakukan aturan yang malah akan menaikkan tarif, sedangkan kemacetan malah tidak diatasi dengan optimal. Persoalan kenaikan tarif masih menjadi hal utama yang harus dihindari, karena umumnya masyarakat anti dengan kenaikan tarif. (art)