Equinox, Mitos Telur dan Hari Tanpa Bayangan
VIVA.co.id – Tiap tahun selalu ada fenomena alam yang berulang. Selama ini kita hanya kenal fenomena alam seperti hujan meteor dan gerhana bulan atau matahari. Padahal salah satu fenomena alam menarik lainnya adalah equinox.
Fenomena equinox terjadi dua kali setiap tahun. Tahun ini equinox pertama akan terjadi hari ini, 21 Maret 2017 dan yang kedua 23 September 2017 nanti. Saat equinox terjadi, matahari berada tepat di atas khatulistiwa. Cahaya matahari pun memancar lurus ke arah bumi sehingga siang dan malam memiliki durasi yang sama, 12 jam.
Pada dasarnya, bumi kita berputar mengelilingi matahari dengan posisi yang sedikit miring terhadap bidang lintasannya, sekitar 23,5 derajat. Akibatnya, sinar matahari memancar tidak selalu tepat di bagian tengah bumi atau garis khatulistiwa. Selama enam bulan, matahari berada di belahan bumi utara dari khatulistiwa, sedangkan enam bulan berikutnya berada di sisi selatan. Tidak heran jika bumi memiliki banyak musim. Inilah yang menyebabkan sebagian wilayah bumi memiliki musim yang berbeda dibanding wilayah lainnya.
Meski posisi matahari terbagi setiap setengah tahun, namun ada suatu masa ketika matahari tegak berada di khatulistiwa. Peristiwa inilah yang kerap disebut dengan equinox.
Equinox diambil dari bahasa latin, aequus atau equal (sama) dan nox (malam). Itu artinya, equinox bisa diartikan sebagai malam yang sama. Sama yang dimaksud adalah durasi waktu dari 24 jam terbagi dua, siang dan malam, 12 jam. Namun itu berlaku hanya bagi negara dengan dua musim panas dan dingin, seperti Indonesia dan beberapa di Asia. Tidak berlaku bagi negara dengan empat musim.
Dilansir melalui Earth Observatory milik NASA, penghuni bumi dengan dua musim mungkin tidak akan merasakan perbedaan malam 12 jam. Namun bagi yang menghuni wilayah empat musim, pada musim dingin, malam akan terasa lebih panjang. Sedangkan pada musim panas, justru sebaliknya.
Equinox Tak Istimewa
Equinox sebetulnya tidak istimewa sekali. Isu yang mengiringinyalah yang memicu kekhawatiran di masyarakat. Isu yang beredar, saat equinox terjadi, suhu udara akan mencapai 40 derajat Celcius. Namun ini sangat tidak berdasar. BMKG dan BPPT memberikan bantahannya terkait isu heatwave (gelombang panas ini).
Menurut Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT, Tri Handoko Seto, saat equinox terjadi, sudut matahari terhadap Bumi, khususnya di ekuator, akan lebih tegak sehingga berpotensi meningkatkan suhu udara. Namun suhu udara juga dipengaruhi banyak hal, tak hanya posisi matahari tapi juga awan dan emisi karbon, serta ketinggian permukaan laut.
“Kemungkinan suhu paling tinggi berada di kisaran 33 sampai 36 derajat, untuk dataran rendah. Untuk dataran tinggi, masih tetap dingin. Rasanya terlalu ekstrim jika bicara suhu 40 derajat di Indonesia. Hampir tidak pernah ada data historis suhu 40 derajat akibat equinox," kata Seto.
Dijelaskan kepala BMKG, Andy Eka Sakya, equinox bukan merupakan fenomena seperti HeatWave yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah, yang dapat mengakibatkan peningkatan suhu udara secara besar dan bertahan lama. Oleh karena itu, Andy mengimbau agar masyarakat tak perlu khawatir akan dampak Equinox, apalagi sampai menyebarkan berita hoax.
"Secara umum kondisi cuaca di wilayah Indonesia cenderung masih lembab atau basah. Beberapa wilayah Indonesia saat ini sedang memasuki masa transisi atau pancaroba. Maka ada baiknya masyarakat tetap mengantisipasi kondisi cuaca yang cukup panas dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan tetap menjaga kesehatan keluarga serta lingkungan," katanya.
Sama halnya dengan yang dikatakan Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan (Lapan), Thomas Djamaluddin. Kepada Viva.co.id, dia menyebut jika media membesar-besarkan soal equinox dan cuaca panasnya.
“Equinox itu, wilayah di belahan utara dan selatan, akan menerima cahaya yang sama. Pengaruh panasnya biasa saja. Normal aja karena matahari, terutama di ekuator , tepat di atas kepala. Itu kan hal yang biasa, tidak signifikan mengubah suhu. Jadi isu panas di media sosial itu bohong, hanya hoax,” ujar Thomas.
Telur dan Bayangan
Ada beberapa tradisi menarik yang biasa dilakukan saat fenomena equinox terjadi. Ini berhubungan dengan bayangan dan telur. Keduanya merupakan tradisi yang berbeda karena yang satu mitos, dan lainnya adalah ilmu pengetahuan.
Mitos yang berkembang. Saat equinox terjadi, beberapa masyarakat percaya jika telur mentah bisa berdiri tegak. Selama ini kenyataannya, telur mentah memang sulit untuk ditegakkan di atas permukaan datar. Kondisi dalam telur yang cair membuatnya sulit untuk berdiri tegak dan kerap terjatuh saat dicoba.
Sejatinya, kata Andy Eka, telur yang matang, kapan pun bisa ditegakkan. Sedangkan untuk telur mentah memang sulit ditegakkan. Namun mitos mengenai telur itu pun tidak ada hubungannya dengan equinox.
Meskipun begitu, Tri Handoko tidak membantah jika hal itu bisa dilakukan di lintang nol Pontianak. Menegakkan telur, kata dia, bisa dilakukan setiap hari di wilayah itu. Namun tetap saja, dia menyebutnya, tidak ada hubungan dengan equinox.
“Bentuk bumi itu kan elips. Bisa setiap hari dilakukan di garis khatulistiwa itu, di tengah-tengah garis yang membagi dua bumi menjadi utara dan selatan. Lebih mudah menempatkan telur secara seimbang, jadi bisa berdiri,” ujar Tri.
Secara ilmiah, Thomas juga membantah mitos tentang telur dan equinox itu. Menurut dia tidak benar jika fenomena equinox mampu membuat telur mentah berdiri tegak. Semua itu hanya berkaitan dengan gravitas bumi.
“Itu kaitannya dengan gravitasi. Gravitasi lebih banyak karena bulan, bukan matahari. Terlalu jahat,” kata Thomas.
Sedangkan peristiwa menarik lainnya adalah ketika bayangan benda di bumi hilang saat equinox terjadi. Fenomena aneh ini hanya terjadi di posisi tengah bumi, atau khatulistiwa. Di Indonesia, tepatnya di lintang nol, Pontianak. Thomas mengungkap jika pada hari equinox terjadi, disebut juga dengan hari tanpa bayangan.
“Matahari itu melintasi ekuator, maka di daerah ekuator itu, ketika tengah hari, matahari diatas kepala, misal Kita mempunyai benda tegak, spt gedung, matahari di atas, jadi bayangan di kaki,” ujar Thomas.
Berniat mengunjungi Pontianak hari ini dan membuktikannya? Jika tak sempat, masih ada kesempatan pada 23 September nanti.