Waspada, Predator Seks Anak Merajalela Lewat Media Sosial
- http://www.affaritaliani.it
VIVA.co.id – Kepolisian Republik Indonesia baru saja meringkus komplotan paedofil yang melancarkan aksi mereka melalui jejaring sosial. Tidak hanya itu. Yang mengejutkan, polisi menduga komplotan ini masuk ke dalam jaringan paedofil internasional.
KPAI mengungkapkan, pada 2013 ke 2014 ada kenaikan kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 1.297. Namun, pada 2015 turun drastis. Hal ini dikarenakan adanya Perppu Kebiri, atau regulasi yang memungkinkan jatuhnya hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak.
Ternyata eksistensi jaringan paedofil ini telah terendus lama oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pada awal 2016, Sekjen KPAI, Erlinda, pernah mengungkap kekhawatirannya. Dia mengingatkan bahaya jaringan paedofil yang sewaktu-waktu mengintai generasi bangsa. Bahkan berdasarkan hasil investigasi pihaknya, kasus kejahatan yang mengincar anak-anak ini telah melibatkan jaringan paedofil internasional.
Jaringan internasional memang sangat mudah dibentuk dengan kemudahan yang diberikan oleh internet. Bukti, empat administrator Official Candy's Group di Facebook, telah berhasil mengumpulkan lebih dari 7.000 anggota dari dalam maupun luar negeri. Begitu cepatnya tersebar walau baru beroperasi selama satu tahun. Dalam kurun tersebut, lebih dari 600 konten foto dan video pornografi anak diunggah di grup tersebut.
Seperti yang dikatakan banyak pengamat, teknologi dan internet merupakan pisau bermata dua. Oleh karena itu seseorang harus bisa bijak menggunakannya. Sedangkan dalam urusan konsumsi teknologi oleh anak-anak, orang tua dirasa cukup bertanggung jawab untuk bisa menjaga buah hati mereka bersosialisasi di dunia maya.
Selanjutnya, Bukan salah Facebook
Bukan salah Facebook
Pegiat Internet Sehat dari ICT Watch, Dewi Widya Ningrum, mengatakan jika teknologi dan Facebook tidak bisa disalahkan. Pasalnya, bagaimanapun dunia tidak bisa membendung teknologi, justru harus dimanfaatkan sepandai-pandainya. Apalagi sudah ada ketentuan dari Facebook terkait dengan syarat penggunaan.
"Facebook tidak bisa disalahkan begitu saja karena mereka hanya menyediakan layanan. Mereka juga memiliki Term of Service yang tegas dan jelas terkait usia minimal pengguna yang boleh membuat akun. Namun saya ragu, tidak semua orang tua atau anak mau membaca aturan itu. Jadi tanggung jawab terbesar untuk menghindari anak dari kejahatan internet seperti paedofil itu ada di orang tua," ujar Dewi kepada Viva.co.id.
Dikatakan Dewi, kesalahan terbesar orang tua adalah membiarkan anak menggunakan teknologi dan internet tanpa adanya pendampingan. Anak sengaja diberikan gadget hanya agar anak tidak rewel, atau sekedar ikutan tren.
"Intinya ada di edukasi literasi digital. Bekali anak dengan pengetahuan melindungi diri dari bahaya di dunia maya. Beri mereka pemahaman mengenai penyalahgunaan, resiko maupun hal-hal negatif yang mungkin timbul saat berinternet, beri tahu cara pencegahan atau cara menghindari. Yang terpenting, tekankan ke anak agar selalu berkomunikasi dengan orang tua jika melihat atau mengalami hal aneh atau tidak nyaman saat berinternet," papar Dewi.
Selain itu, lanjut Dewi, sebaiknya orang tua peka jika terkesan ada perubahan dalam perilaku anak. Untuk menghindari situs yang tidak diinginkan, orang tua juga bisa menggunakan software-software parental. Namun itu dikatakannya hanya sebagai alat bantu dan tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran orang tua dalam mengawasi anak.
"Komunikasi dua arah tetap yang utama," katanya.
Sama halnya dengan psikolog Elly Risman yang mengatakan ada tujuh hal penting yang harus diajarkan pada anak di dunia internet. Tujuh hal penting itu adalah orang tua harus siap menjadi ayah, mengasuh anak harus dilakukan berdua, Ayah harus ambil bagian juga, Komunikasi dengan anak,melindungi anak dengan pengajian yang turin. Sedangkan terakhir adalah mengajarkan anak untuk menjaga pandangan dan dipersiapkan menjelang baligh.
Sayangnya, ICT Watch belum memiliki data spesifik mengenai jumlah kasus kejahatan internet yang melibatkan korban anak-anak. Namun begitu, Dewi mengungkap jika saat ini, ICT Watch dan beberapa organisasi masyarakat membuat lembaga gabungan dan terbuka untuk menyelamatkan anak Indonesia dari kejahatan Internet, dinamakan Indonesia Child Online Protection (ID-COP).
Dijelaskan Dewi, ID-COP dibentuk di Jakarta pada 1 Desember 2014 Â di sela pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah pihak antara lain; KPAI, ECPAT Indonesia, Nawala, Terre Des Hommes, Google Indonesia, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jakarta, Kementerian PPPA, Himpunan Psikologi Indonesia, Bareskrim Polda Metro, Yayasan Kita dan Buah Hati, ICT Watch.
"Ini semacam gerakan bersama untuk menyelamatkan anak Indonesia di internet. ID-COP diharapkan bisa berperan sebagai tim 'reaksi cepat' jika ada anak yang menjadi korban, seperti paedofilia online, cyberbully, dan lainnya," katanya.
Untuk melakukan pelaporan bisa melalui help deks di KPAI atau kirim laporan melalui email ke info@idcop.id
atau telepon KPAI: 31901446 ext 117 | 02131901446 ext 117.
Selanjutnya, Sasaran Empuk
Sasaran Empuk
Kejahatan paedofil di media sosial ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Saat melakukan pencarian di Google dengan keyword 'Facebook' dan 'paedofil', beberapa berita kejahatan seksual terhadap anak banyak bermunculan. Total ada 3,58 juta berita terkait Facebook dan Paedofilia.
Ada yang menggunakan media sosial untuk mengambil gambar anak kemudian mengeditnya sedemikian rupa demi memuaskan fantasi seks mereka. Ada juga yang sama, menggunakan grup Facebook untuk berbagi foto dan video seksual anak.
Sejatinya Facebook sudah memberikan peringatan tegas untuk penggunanya yang ingin bergabung, wajib berusia di atas 13 tahun. Dalam Terms of Service, bagian Registrasi dan Account Safety, poin 5 tertulis bahwa pengguna tidak boleh mendaftar akun Facebook juga berusia di bawah 13 tahun. Sedangkan pada poin 6 tertera jika Facebook tidak boleh digunakan oleh terpidana penjahat seksual.
Dalam sesi tanya jawab di laman media sosial dunia itu, Facebook juga menegaskan jika diketahui akun atau grup yang berisi konten aneh dan tidak membuat nyaman, maka pengguna bisa melaporkannya.
"Pelaporan bisa dilakukan dengan membuka halaman grup yang ingin dilaporkan, kemudian klik titik tiga di bawah cover foto group, klik pilihan Report Page. Setelah itu, pengguna bisa memilih kolom untuk menjelaskan mengapa grup tersebut dilaporkan," tulis pihak Facebook.
Sedangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan tegas langsung menggelar jurus andalannya dalam mengatasi konten yang melanggar, blokir.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan, para paedofil beraksi di platform yang sifatnya publik, apakah itu situs atau pun media sosial, maka Kominfo tidak menimbang apa pun untuk pemblokiran.
"Yang berkaitan dengan pornografi, tanpa ‘babibu’, tanpa harus berkoordinasi. Karena berkaitan dengan UU, kita bisa lakukan pembatasan akses atau penutupan akses," jelas pria yang akrab disapa RA itu di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis 16 Maret 2017.
Dia mengatakan, dalam kasus konten pornografi ditemukan di pesan instan WhatsApp maupun Facebook yang sifatnya privat dan lainnya, pemerintah bisa ikut campur jika sudah sudah sampai ranah hukum.
“Seperti sekarang kasus paedofil di Facebook, sudah menjadi kasus hukum, sehingga Kominfo masuk di situ bersama polisi," jelas Rudiantara.
Ini artinya, baik Facebook maupun pemerintah dan pihak berwajib telah menjalankan tugasnya untuk melindungi warganya. Tinggal bagaimana edukasi literasi digital dan pendampingan yang dilakukan oleh orang tua di rumah. Mungkin bisa dimulai dengan membatasi penggunaan gadget di rumah dan lebih sering berkomunikasi dengan anak. (ren)