RI Mau Jadi Lumbung Pangan Dunia, untuk Siapa?
- ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
VIVA.co.id – Tahun 2050 diperkirakan ada 9,3 miliar orang akan bermukim di bumi. Di tahun itu juga diprediksi permintaan pangan akan meningkat drastis. Setiap orang akan mengkonsumsi sekitar 14 persen lebih banyak kalori tulis laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO). Lalu siapa yang menyiapkan pangan untuk orang sebanyak itu?
FOTO: Petani mengeringkan gabah padi hasil panen mereka
Krisis pangan sudah menjadi masalah dunia. Beberapa belahan negara masih dilanda kelaparan. Indonesia pun tak luput dari kemungkinan ini.
Dengan laju konversi lahan pertanian yang mencapai 100 ribu hektare per tahun. Bukan tidak mungkin ke depan negara ini akan kelabakan mencari lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.
Kondisi ini pun dibenarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam data mereka, bahwa memang ada penyusutan sejumlah lahan penyedia pangan dalam lima tahun terakhir, 2010 hingga 2015.
Kacang tanah misalnya, dari 620.563 hektare kini tinggal 454.349 hektare. Lalu ubi jalar, dari 181.073 hektare kini menjadi 143.125 hektare. Kemudian kacang hijau dari 258.157 hektare menjadi 229.475 hektare.
Lalu panen jagung dari 4.131 juta hektare menjadi 3.787 juta hektare. Selanjutnya kedelai dari 660.823 hektare menjadi 614.095 hektare. Cuma lahan panen padi yang tercatat naik dari 13.253 juta hektare menjadi 14.116 juta hektare.
Ya, singkatnya lahan pangan Indonesia kini berkurang. Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 240 juta orang dan sedikitnya pekerja di sektor pertanian. Maka ancaman rawan pangan nyata sudah di depan mata.
Kerawanan pangan
"Tidak rutin (pasokan pangan). Kadang masuk sebulan sekali, dua minggu sekali," ujar Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Abdullah Mansuri, Jumat, 3 Februari 2017, menjawab soal ketersediaan pangan di wilayah Sulawesi Utara tepatnya yang berbatasan langsung dengan Filipina.
Apa yang dilontarkan Abdullah adalah fakta kekinian. Bahwa memang ada wilayah di Indonesia yang selalu dilanda kesulitan pangan.
Sulitnya topografi dan rentang jarak yang luar biasa membuat mereka terjebak dalam situasi pangan yang menyedihkan.
Sebab itu, kata Abdullah, kadang mahfum mereka yang tinggal di perbatasan akhirnya mengandalkan pasokan pangan justru dari negara lain. Dan jelas hal itu seolah membuka borok bahwa Indonesia seolah mengabaikan mereka yang berada jauh di perbatasan.
"Kalau kita terbiasa ambil dari luar negeri, tentu akan diragukan kedaulatan pangan kita oleh negara lain," ujar Abdullah.
FOTO: Petani kentang mengangkut hasil panen mereka
Diakui, merujuk pada data Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2015 yang diluncurkan oleh World Food Programe. Tercatat bahwa ada 15 persen dari 398 kabupaten di Indonesia memang dalam kondisi rentan rawan pangan.
Penyebabnya adalah kemiskinan, akses kelistrikan dan infrastruktur. "Ada 30 kabupaten dalam kondisi mendesak. Yakni di Papua, sebagian Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kata Direktur Eksekutif The World Food Programe Ertharin Cousin.
#FACT: 80% of world's food insecure people live in countries prone to disaster & environmental degradation: https://t.co/rXepyQvfuJ pic.twitter.com/fuVve7pBTa
— World Food Programme (@WFP) 15 Januari 2017
Lalu apa respons Indonesia soal fakta ini? Presiden Joko Widodo sepertinya menindaklanjuti baik kondisi itu. Hal ini tertuang dalam cita-citanya untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan.
Tak tanggung, Jokowi mengklaim tahun 2045 Indonesia akan jadi lumbung pangan dunia. Yah, mimpi besar yang menjadi tantangan sekaligus masalah baru di tengah kondisi berkurangnya lahan pertanian dan menipisnya orang-orang yang hendak berjuang di sektor pertanian.
"Kita masih memiliki banyak peluang untuk menjadi lumbung pangan dunia. Masih banyak sekali peluang," kata Jokowi akhir November lalu.
Peluang atau ancaman?
Mimpi menjadi lumbung pangan dunia yang diinisiasi Jokowi, sejauh ini memang belum terukur. Ia baru menetapkan target-target prioritas seperti, tahun 2016 swasembada padi, bawang merah, dan cabai.
Lalu pada tahun 2017 Indonesia harus bisa swasembada jagung. Selanjutnya di 2019 swasembada gula konsumsi, 2020 swasembada kedelai. Lalu pada 2025 swasembada gula industri, 2026 swasembada daging sapi, 2033 swasembada bawang putih dan terkahir pada tahun 2045 menjadi lumbung pangan dunia.
Sejauh ini, untuk tahun 2016, diakui memang terjadi swasembada padi menurut pengakuan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Data tercatat tahun 2016, ada kenaikan produksi padi mencapai 79,14 juta ton gabah kering atau meningkat 3,74 ton dibanding tahun 2015. "FAO secara resmi mengakui Indonesia swasembada beras," kata Amran pada akhir Desember 2016.
FOTO: Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman ikut menyemai bibit padi bersama para petani
Lalu bagaimana dengan yang lain? Ini jelas tantangan besar dan bukan tidak mungkin juga menjadi ancaman. Sebabnya, ada kecenderungan demi target ini, pemerintah akhirnya memaksakan mendirikan lumbung pangan di sejumlah wilayah perbatasan, namun mengabaikan apa yang menjadi produk asli wilayah itu.
Papua, misalnya. Dengan sagu sebagai makanan utama mereka, kini justru wilayah ini 'dipaksa' menanam padi yang bukan menjadi menu utama di meja makan mereka. Begitu pun di Nusa Tenggara Timur dan Barat. Sorgum yang sedianya menjadi isi perut kembali diganti dengan beras.
Kondisi inilah yang dikhawatirkan akan membuat kegagalan proyek besar lumbung pangan tersebut. Penolakan dan konflik di daerah akan muncul ketika apa yang biasa dimakan sejak lahir justru harus diubah atau digantikan dengan makanan yang datang dari luar.
"Pemerintah harusnya memetakan terlebih dahulu potensi pertanian lokal. karena jangan sampai biaya produksi besar justru tak seimbang potensi hasil," kata pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas, Jumat 3 Februari 2017.
Dwi pun mencontohkan sejumlah kasus di daerah. Di Ketapang Kalimantan Barat contohnya, ketika itu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah pernah menargetkan akan ada 100 ribu hektare lahan pertanian. Namun, faktanya hanya ada 100 hektare yang ditanam dan itu cuma 2.000 hektare saja yang bisa berproduksi.
Kemudian terjadi juga di Nusa Tenggara Timur. Tepat pada tahun 2016, muncul konflik lahan antara petani sorgum dan padi. Petani sorgum kini merasa terusir akibat dipaksa ada penanaman padi secara massal.
Akibat itulah akhirnya justru memunculkan kerugian. Estimasi kasar terbilang ada Rp5 juta per hektare dari setiap proyek pertanian yang dipacu untuk lumbung pangan pemerintah. "Jadi hati-hati tentang ini (Proyek pengembangan pertanian)," kata Dwi.
Dan bagaimana sesungguhnya mimpi Jokowi ini hendak diwujudkan? Dalam pernyataannya, Jokowi mengaku hendak mengubah pola sistem pertanian di Indonesia dengan secara terpadu. Bentuknya bisa melalui sistem korporasi petani.
Ia pun mencontohkan Filipina dan Thailand, dimana dua negara ini telah mengkorporasikan para petaninya. "Kita harus bisa mengkorporasikan petani," kata Jokowi pada Kamis, 5 Januari 2017.
Bagaimana mengkorporasikan ini, Jokowi mengaku akan melibatkan seluruh komponen milik pemerintah mulai dari Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Desa yang kini telah tersebar di seluruh wilayah.
"Harus ada manajemen modern yang mendampingi mereka. Entah korporasi BUMN atau Bumdes. Produksi dan pemasarannya akan dilakukan dengan cara moderen," kata Jokowi.
FOTO: Warga di Kalimantan Barat mengolah pohon sagu untuk konsumsi
Apa pun itu, mimpi lumbung pangan ini memang perlu diapresiasi. Namun juga penting diwaspadai. Tidak semua daerah cocok dengan bibit pertanian yang hendak diswasembadakan.
Pemaksaan tanaman yang bukan lahir dari kultur historis dan isi perut daerah target justru akan menjadi ancaman masalah pangan baru bagi warga yang terimbas proyek lumbung pangan.
Bukan tidak mungkin mereka justru kelaparan, meski pun padi melimpah. Maklum, perut mereka baru dirasa kenyang ketika sagu telah dikunyah. Jadi bukan tidak mungkin juga akan muncul pendapat, bahwa mimpi lumbung pangan ini untuk siapa? "Ketika agroklimat tidak memenuhi, ya tidak perlu dipaksakan. Selain cost sangat tinggi juga risiko kegagalannya juga tinggi," ujar Dwi Andreas. (ren)