Isu Penyadapan di Tengah Kegaduhan Politik
- ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.
VIVA.co.id - Isu penyadapan atas pembicaraan Ma'ruf Amin dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghebohkan publik tanah air beberapa hari ini. Bisa dipahami jika isu tersebut kemudian ramai dan menjadi bahan perbincangan masyarakat.
Sebab, baik Ma'ruf dan SBY bukan tokoh sembarangan. Ma'ruf merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia dan juga Rais Aam organisasi Islam terkemuka di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Dan semua orang tahu, SBY adalah Presiden Indonesia ke-6, yang memimpin negeri ini selama 10 tahun, dari 2004 hingga 2014.
Tak hanya itu, SBY kini masih aktif di dunia politik. Dia menduduki posisi Ketua Umum Partai Demokrat.
Awal mula isu itu mengemuka adalah ketika pengacara Ahok, Humphrey Djemat, mencecar Ma'ruf soal pertemuannya dengan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, di kantor PBNU pada Jumat, 7 Oktober 2016. Setelah itu, Humphrey menanyakan apakah sebelum pertemuan itu ada pembicaraan dengan SBY melalui telepon pada pukul 10.16 WIB, sebelum salat Jumat.
Humphrey yang juga Ketua Tim Kuasa Hukum Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz itu menyatakan bahwa isi pembicaraan adalah soal, pertama, mengenai permintaan agar pertemuan dengan Agus-Sylvi agar diatur. Kedua, SBY meminta supaya segera dikeluarkan fatwa untuk masalah penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Mendengar pertanyaan itu, Ma'ruf menjawab tidak ada. Humphrey pun menanyakan pertanyaan tersebut hingga dua kali dan kembali dijawab tidak ada oleh Ma'ruf.
"Majelis hakim, sudah ditanya berulang kali katanya tidak ada. Untuk itu kami akan memberikan dukungannya. Ya, Majelis Hakim, andai kata kami sudah memberikan buktinya dan ternyata keterangannya ini masih tetap sama maka kami ingin menyatakan saudara saksi ini telah memberikan keterangan palsu dan minta diproses sebagaimana mestinya," kata Humphrey.
Saat giliran berbicara, Ahok menyatakan Ma'ruf menutupi riwayat hidupnya yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres SBY. Dia pun berterima kasih pada Ma'ruf yang konsisten menyatakan tidak berbohong.
"Saudara saksi, saya berterima kasih. Ngotot di depan hakim bahwa saudara saksi tidak berbohong, akhirnya meralat ini. Banyak pernyataan tidak berbohong, kami akan proses secara hukum saudara saksi," kata Ahok.
Setelah itu, Ahok menyatakan bahwa pihaknya memiliki data yang sangat lengkap. Dia pun akan membuktikan satu per satu sehingga bisa membuat Ma'ruf dipermalukan.
Adanya ancaman terhadap Ma'ruf, dan juga penegasan adanya bukti, data, yang kuat atas pembicaraan Ma'ruf dengan SBY melalui telepon segera memancing respons publik secara luas. Mereka mengecam sikap Ahok dan tim pengacaranya. Isu adanya penyadapan pun menggelinding begitu cepat.
Situasi tersebut yang juga akhirnya membuat SBY menggelar konferesi pers. Ia menyatakan bahwa penyadapan atas dirinya adalah ilegal atau tidak sah, dan melanggar hukum.
SBY juga memohon pada Presiden Jokowi agar memberikan penjelasan mengenai penyadapan tersebut. Dari mana transkrip atau sadapan itu, siapa yang menyadap.
Alasannya, penyadapan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Berdasarkan yang dia tahu, hanya institusi negara seperti Polri, BIN, atau KPK dalam konteks pemberantasan korupsi, yang berhak melakukannya.
Oleh karena itu, SBY meminta Polri bertindak. Sebab, penyadapan ilegal bukan merupakan delik aduan.
Klarifikasi BIN
Sementara itu, Badan Intelijen Negara langsung memberi klarifikasi. Isinya, menjawab isu dugaan penyadapan atas percakapaan SBY dan Ma’ruf.
Tidak biasanya BIN memberi keterangan pers secara tertulis. Namun, Kamis kemarin, beredar keterangan pers dari BIN di kalangan wartawan yang, uniknya, tanpa dilengkapi kop surat atau logo resmi lembaga dan diakhiri hanya goresan paraf mewakili “DEPUTI VI – BIN.”
Pihak BIN membenarkan bahwa mereka menerbitkan keterangan pers itu, seperti yang diutarakan Direktur Informasi Media Badan Intelijen Negara, Dawan. “Silakan diangkat,” kata Dawan saat dimintai konfirmasi oleh VIVA.co.id, Kamis 2 Februari 2017.
Dalam keterangannya itu, BIN menegaskan bahwa informasi percakapan SBY dan Ma’ruf itu bukan berasal dari lembaga mereka. Selain itu, disampaikan bahwa informasi percakapan SBY dan Ma’ruf tersebut menjadi “tanggung jawab Saudara Basuki Tjahaja Purnama dan penasihat hukum yang telah disampaikan kepada majelis hakim dalam proses persidangan tersebut,” demikian pernyataan BIN. Ini karena Ahok dan kuasa hukumnya tidak menyebutkan secara tegas apakah komunikasi itu dalam bentuk verbal secara langsung ataukan percakapan telepon yang diperoleh melalui penyadapan.
Legalitas Penyadapan
Berdasarkan penelurusan VIVA.co.id, soal penyadapan setidaknya diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada UU 36/1999, pasal 40, disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Sedangkan pada bagian penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.
Kemudian pada pasal 56, dikatakan bahwa barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Sementara itu, pada UU 19/2016, pada bab perbuatan yang dilarang, pasal 31, ayat 1, menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.
Lalu pada ayat 2, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedag ditransmisikan.
Penjelasan untuk pasal 31 ini, yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Ancaman terhadap mereka yang melanggar tertuang dalam pasal 47, yaitu setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Sedangkan mengenai siapa saja yang berwenang menyadap, situs resmi Kominfo.go.id pernah menyiarkan bahwa sedikitnya ada lima lembaga negara. Mereka antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Namun, kelima lembaga tersebut juga tidak boleh sembarangan melakukan penyadapan. Mereka bisa melakukannya jika sedang menangani suatu kasus hukum.
Rentan Disadap
Anggota Komisi I DPR, Andreas Hugo Pareira, tidak membantah keluhan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal penyadapan atas dirinya. Dia mengakui, mantan Presiden RI memang rentan disadap.
"Sebagaimana penjelasan dalam konpers, ini menunjukan rentannya sistem pengamanan kita terhadap mantan presiden," kata Andreas melalui pesan singkat, Kamis 2 Februari 2017.
Andreas mengingatkan, pada 2009, ketika masih menjabat sebagai presiden, SBY dan beberapa menterinya pernah disadap oleh badan intelijen negara tetangga yakni Australia.
"Yang kemudian dipublikasi oleh Wikileaks, yang baru ketahuan pada tahun 2013," ujar Andreas yang juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Belajar dari pengalaman tersebut, Andreas menegaskan, bahwa SBY masih bisa menjadi sasaran penyadapan. Dia pun menyerahkan kepada penegak hukum untuk mengungkap para pelakunya.
"Bisa jadi SBY masih menjadi sasaran penyadapan, bisa di dalam atau dari luar negeri," kata Andreas.
Sementara itu, Markas Besar Polri sejauh ini baru akan mencermati isu penyadapan tersebut. Namun, mereka belum memutuskan untuk bertindak.
"Nanti juga dilihat apakah informasi itu perlu diambil langkah-langkah," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar, di kantornya, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2017.
Boy menilai apa yang mengemuka sifatnya masih dugaan-dugaan. Validitas dari informasi penyadapan itu masih perlu diklarifikasi.
"Bantu kita unutk memverifikasi info yang digulirkan ke ruang publik agar tidak berdampak buruk bagi masyarakat. Teman-teman media juga punya akses untuk mengklarifikasi ini. Saya pikir ini dugaan-dugaan yang wajar untuk dicermati bersama," kata Boy.
Dalam hal menyadap, Boy mengakui Polri adalah salah satu institusi yang memiliki wewenang. Biasanya dalam mengungkap terorisme, kasus korupsi, narkoba.
Terkait permintaan SBY, Boy mengatakan bahwa semua warga negara sama di depan hukum. Sekali lagi, Polri akan mencermatinya.
"Apakah berkaitan dengan masalah hukum atau apa. Tapi sangat penting informasi itu adalah validitasnya. Informasi itu kan belum tentu benar. Jadi kita sangat (peduli), sama dengan hoax di dunia maya itu kan kita cek dulu." (ren)