Pesan Damai di Pidato Perpisahan Obama
- Reuters/John Gress
VIVA.co.id – Pria berbadan gelap itu berjalan di atas panggung dengan dada membusung dan kepala tegak. Ia tersenyum lebar menyambut sekitar 18.000 pendukungnya yang terus berteriak, bertepuk tangan dengan gemuruh, dan meneriakkan namanya. Hari itu, 11 Januari 2017, atau 10 Januari 2017 waktu AS, Barack Obama menyampaikan pidato terakhirnya sebagai presiden Amerika Serikat. Ia memilih McCormick Place, Chicago, sebagai tempatnya menutup jabatan.
Bukan sembarangan Obama memilih Chicago sebagai tempat menyampaikan pidato terakhir. Setelah Hawaii, Chicago adalah rumahnya, tempat ia meniti karier sebagai politikus Partai Demokrat. Di kota tersebut, Obama pernah bekerja sebagai pengacara dan mengajar mata kuliah hukum di Fakultas Hukum, Universitas Chicago, selama 1992 hingga 2004.
Di kota ini, ia pernah menetap lama beserta istri dan dua anaknya, menjadi aktivis Partai Demokrat, lalu terpilih menjadi senator, hingga akhirnya menjabat sebagai Presiden ke-44 AS. Delapan tahun lalu, pada 4 November 2008, di Chicago pula ia naik panggung untuk menyampaikan pidato kemenangannya sebagai presiden Amerika Serikat.
Dan kemenangan Obama menjadi sejarah, karena untuk pertama kalinya warga AS memiliki presiden dari kalangan Afrika-Amerika.
Selama delapan tahun kepemimpinannya, Obama menyatakan bahwa negara yang kerap menjuluki dirinya sebagai globo cop itu, sudah mengalami pencapaian yang luar biasa. Mulai dari kesetaraan perkawinan, memulihkan kembali ekonomi AS yang sempat terjerumus ke dalam resesi, menewaskan pemimpin teroris, dan mengakhiri program nuklir Iran.
Menurut Obama, Amerika Serikat saat ini menjadi sebuah tempat yang lebih kuat dibandingkan ketika dia mulai memerintah.
Untuk itu, ia menyampaikan rasa terima kasih pada rakyat AS, yang menurutnya telah membuat dia menjadi seseorang yang jujur dan terilhami. "Rakyat Amerika telah membuat saya menjadi seorang presiden, dan seorang laki-laki yang lebih baik, dan itu terjadi karena semua orang, karena peran warga AS," ujarnya seperti dikutip dari VOA, 11 Januari 2017.
Ia juga tak lupa menyinggung keberhasilan Amerika menjaga keamanan negaranya. "Kita harus bersikap keras terhadap agresi dari luar. Kita harus mempertahankan nilai-nilai yang menjadikan kita sebagai bangsa Amerika. Karena itulah, dalam delapan tahun masa kepresidenan, saya melakukan perang melawan terorisme berdasarkan landasan hukum formal yang kokoh," ujarnya.
Obama juga mengatakan, berlandaskan itulah maka ia melarang penyiksaan, menutup kamp tahanan, mereformasi hukum yang mengatur pengawasan terhadap hak-hak kebebasan sipil dan ruang-ruang pribadi. "Karena itulah saya menolak diskriminasi terhadap Muslim Amerika yang sama patriotiknya dengan kita semua," tutur Obama yang segera disambut dengan tepukan tangan yang begitu gemuruh dan panjang.
Di antara belasan ribu pendukung yang hadir, terlihat istri Obama, Michelle, berdiri bersama Wakil Presiden Joe Biden beserta istrinya, Jill Biden, dan anak pertama Obama, Malia. Sementara itu, anak kedua Obama, Sasha, berhalangan hadir karena akan menghadapi ujian sekolah.
Di tengah-tengah pidatonya, pria yang kini berusia 55 tahun itu sempat terlihat emosional dan tak mampu menahan tangis. Ia tak mampu menguasai diri ketika mengingat janji-janjinya semasa delapan tahun berada di Gedung Putih.
"Potensi besar Amerika akan terwujud jika demokrasi kita bekerja. Hanya jika politik kita mencerminkan kesopanan dari kita semua. Jika kita semua, terlepas dari afiliasi partai atau kepentingan tertentu, membantu memulihkan tujuan bersama kita," katanya, seperti dikutip dari BBC, 11 Januari 2017.
Keluar dari Zona Nyaman
Obama, yang sempat tinggal dan bersekolah di Jakarta itu lalu mengajak rakyat AS untuk keluar dari zona nyaman, yang ia ibaratkan sebagai 'gelembung,' dan mulai mencoba untuk memahami mereka yang berbeda pemikiran dan ide.
"Kita terlalu nyaman dalam 'gelembung' kita. Sehingga kita hanya bersedia menerima informasi yang kita suka dan sesuai dengan pandangan kita, dan dikelilingi oleh orang-orang dengan pandangan politik yang sama, dan tak pernah bersikap kritis pada pandangan kita sendiri," ujarnya.
Untuk bisa memahami orang lain, Obama menambahkan, maka setiap orang harus belajar untuk bisa berpikir dengan cara pandang orang lain.
Bukan Obama jika tak piawai bicara. Di atas panggung, ia juga tak lupa memuji kepolisian dan militer AS. Bagi Obama, karena keberanian luar biasa dari mereka, karena kecekatan anggota intelijen dan kekuatan hukum yang berjalan serta diplomat yang mendukung tentara AS, maka selama delapan tahun terakhir tak ada lagi organisasi teroris yang sukses merencanakan dan melakukan eksekusi di tanah Amerika.
Sepuluh hari lagi Obama akan meninggalkan Gedung Putih. Ia akan melepas jabatan sebagai orang pertama AS dan menyerahkan posisi tersebut pada Donald Trump. Dengan mantra "Yes We Can" yang terkenal seantero jagat, Obama menutup pidatonya. Melalui kalimat itu, ia kembali menegaskan pada seluruh warga AS untuk tetap menjaga nilai-nilai AS dan menolak diskriminasi.
Kepada Donald Trump, Obama menjanjikan, pihaknya akan melakukan transisi jabatan yang halus. “Sebagaimana yang dilakukan Presiden Bush pada saya,” ujarnya. Ia juga meminta seluruh warga AS, terutama pendukung Partai Demokrat, agar tetap mendukung penuh kepemimpinan Donald Trump.
“Dukungan kepada kepemimpinan yang baru menunjukkan demokrasi yang sejati dari bangsa Amerika,” ujarnya.