Akankah Industri Rokok Kian Tertekan?

Ilustrasi/Kegiatan Produksi Rokok
Sumber :

VIVA.co.id – Sebagai salah satu penerimaan negara, pajak dan cukai rokok berperan sebagai penopang pendapatan negara dari sektor riil. Hal inilah yang menjadikan rokok sebagai benda konsumsi yang di satu sisi membawa dampak positif bagi keuangan negara. 

Pemerintah Tarik Utang Bikin Cadangan Devisa RI Agustus 2024 Naik Jadi US$150,2 M

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan hasil tembakau, dari semula sebesar 8,7 persen menjadi 9,1 persen. Aturan ini efektif berlaku 1 Januari 2017.

Untuk diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Penyerahan Hasil Tembakau.

Target Penerimaan Pajak Tahun Depan Naik, Ini Kata Dirjen Pajak

Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Jakarta, Senin 9 Januari, PMK 207/2016 merupakan perubahan atas PMK 174/PMK.03/2015. Dalam PMK 174 Tahun 2015 sebelumnya, tarif PPN atas penyerahan hasil tembakau atau rokok ditetapkan 8,7 persen.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengungkapkan, salah satu alasan pemerintah menaikkan tarif PPN hasil tembakau adalah untuk menyetarakan tarif PPN tembakau dengan produk lain.

Pemerintah Kantongi Rp25,88 Triliun dari Pajak Digital hingga Juni 2024

Menurut dia, selama ini tarif PPN tembakau berada di bawah tarif PPN untuk produk lainnya seperti makanan dan minuman yang mencapai 10 persen. Sehingga, sudah seharusnya kenaikan tersebut tidak memberatkan kalangan industri. “Industri juga sudah tahu roadmap kami memang menuju seperti itu,” kata Suahasil saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa 10 Januari 2017.

Suahasil menambahkan, apabila mekanisme penetapan tarif PPN tembakau menggunakan skema pajak masukan dan pajak keluaran, maka tarifnya bisa mencapai 10 persen. Namun, PPN tembakau hanya dikenakan bagi produsen, sehingga dikenakan pajak final.

“Untuk rokok, dikenakan secara final di produsen. Jadi, ratenya setara dengan yang 10 persen. Ini tarif yang comparable,” katanya. Kemenkeu meyakini, peningkatan tarif PPN tembakau pun tidak akan menggerus perkembangan Indeks Harga Konsumen di tahun ini. 

Mengingat, peningkatan tarif PPN relatif rendah dari posisi sebelumnya yang hanya mencapai 8,7 persen. “Kecil. Kenaikannya itu hanya 0,4 persen,” ujarnya.

Lantas, seberapa besar potensi kenaikan PPN tembakau menggeliatkan penerimaan negara? Baik Suahasil, maupun Direktur Jenderal Anggaran Askolani enggan merinci, berapa angka pasti seberapa besar potensi kenaikan PPN tembakau, kepada penerimaan negara. Kajian mengenai hal ini pun masih berada di Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu

Sebelumnya pemerintah juga pernah menaikkan tarif cukai rokok dengan rata-rata sebesar 10,54 persen dan mengatur Harga Jual Eceran (HJE) rokok rata-rata sebesar 12,26 persen.  Kebijakan tersebut juga mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2017.

Aturan kenaikan tarif cukai rokok tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147/PMK.010/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, yang ditandatangani Menkeu pada 30 September 2016 silam. Artinya dengan kenaikan cukai rokok ditambah kenaikan PPN rokok maka harga jual eceran rokok pun dipastikan naik. 

petani tembakau

Harga akan naik 

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moeftie, mengakui seiring dengan kenaikan PPN serta kenaikan cukai produksi hasil tembakau di tahun ini akan berdampak pada kenaikan harga rokok. 

"Ya sudah jelas produsen rokok bakal melakukan penyesuaian salah satunya dengan menaikkan harga jual rokok," kata Moeftie saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa 10 Januari 2017. 

Dia menilai kenaikan PPN juga terlampau tinggi. Padahal, pembahasan terakhir dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) kenaikan PPN pada 2017 hanya 8,9 persen. Realisasinya, kenaikan tahun ini justru 9,1 persen.

"Makanya kembali pembicaraan kita dengan BKF bulan Agustus tahun lalu sebetulnya rencana kenaikannya 8,9 persen dulu, baru tahun 2018 menjadi 9,1 persen. Ya cukup berat juga, tapi sudah ditetapkan kami harus patuhi," ujar dia.

Persoalannya, menurut Moeftie, adalah karena kenaikan tersebut berbarengan dengan naiknya cukai rokok.  Ia pun mengakui jika ada kenaikan tersebut sudah dipastikan harga akan mengikuti.

"Mengenai berapa besar kenaikannya, semua tergantung dari strategi masing-masing perusahaan. Ada kenaikan cukai dan sekarang ada kenaikan PPN semuanya harus dihitung. Tapi yang pasti akan ada kenaikan harga berapa persennya tergantung masing-masing pabrikan," tuturnya. 

Namun, ia meyakini  jika pabrikan tidak akan mengurangi kualitas. "Paling yang dikurangi hanya volume saja kalau kualitas saya kira tidak akan dilakukan," katanya. 

Meski diakui Moeftie dalam tiga tahun belakangan ini terjadi penurunan produksi antara satu hingga dua persen. "Mudah-mudahan meski cukai dan PPN naik, produksi tidak akan menurun. Karena konsumsi juga masih cukup baik." 

Di sisi lain, Moeftie meminta pemerintah untuk bisa mengatasi rokok ilegal yang dikhawatirkan akan banyak beredar usai harga rokok naik. "Kami meminta pemerintah mengawasi dengan ketat peredaran rokok ilegal ini, karena ini sangat merugikan kami yang jelas sudah bayar pajak," katanya. 

Seperti diketahui realisasi sementara pendapatan negara melalui penerimaan kepabeanan dan cukai sepanjang 2016 mencapai Rp178,7 triliun. Capaian ini hanya 97,2 persen dari target yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan sebesar Rp181 triliun.

Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan, penerimaan kepabeanan dan cukai hingga akhir tahun tercatat menurun sebesar 0,5 persen, apabila dibandingkan realisasi pada tahun 2015 yang mencapai Rp179,6 triliun.

“Tetapi secara persentase, mengalami kenaikan dari pencapaian tahun sebelumnya yang mencapai 92,1 persen dari APBNP 2015,” kata Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu 3 Januari 2017.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi, menjelaskan secara rinci penyebab menurunnya penerimaan bea dan cukai tahun lalu. Salah satunya, dari turunnya produksi rokok. “Produksi rokok menurun. Tahun 2015 mencapai 348 miliar batang, menjadi 342 batang atau minus 1,67 persen,” katanya.

Sepanjang tahun lalu, otoritas bea dan cukai memang gencar memerangi peredaran rokok ilegal. Berdasarkan data, penindakan yang dilakukan DJBC selama tahun lalu mencapai 2.259 penindakan, dari yang tahun lalu hanya 1.474 penindakan. “Penurunan konsumsi rokok juga dipengaruhi oleh pembatasan uang rokok dari Kementerian Kesehatan,” ujarnya.

Ilustrasi rokok di Indonesia

Pukul daya beli

Ekonom senior dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhisrita menilai dinaikkannya PPN rokok tidak akan berdampak pada penerimaan negara yang dinilai menjaga defisit anggaran seperti yang menjadi target pemerintah.

"Mengapa demikian? Karena faktanya realisasi cukai di 2016 turun jadi 96,9 persen atau lebih rendah dari realisasi tahun 2015 yakni 99,2 persen. Itu artinya kenaikan pungutan dalam bentuk PPN bagi rokok justru kontraproduktif karena volume produksi rokok sekarang stagnan," kata Bhima, saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa 10 Januari 2017. 

Menurut dia, saat pemerintah menaikkan PPN kepada rokok ada dua konsekuensi. Pertama, harga rokok yang makin mahal sehingga membuat inflasi meningkat. "Di tahun 2016 kontribusi rokok terhadap inflasi sebesar 0,18 persen lebih besar dari kontribusi di 2015 sebesar 0,16 persen," ujar Bhima.

Kedua, rokok ilegal juga meningkat akibat harga rokok resmi lebih mahal. "Rokok ilegal sekarang sudah 11 persen lebih. Potensi kehilangan pendapatan baik cukai maupun PPN dari rokok ilegal cukup besar. Kita belum hitung detail (kontribusi ke penerimaan negara) tapi bisa di atas Rp1 triliun," tuturnya. 

Bhima menambahkan, dari kenaikan PPN lebih besar dari kenaikan cukai cuma tetap dengan Rp1 triliun pendapatan dari kenaikan PPN dampak ke inflasi, industri dan tenaga kerja lebih besar negatifnya. Bahkan per triwulan III 2016 data terakhir Badan Pusat Statistik, pertumbuhan industri pengolahan tembakau turun jadi 0,35 persen dari sebelumnya 3,62 persen.  

"Jika dilihat dari kontribusi rokok terhadap inflasi cukup besar. Perokok juga sebagian dari masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini jadi masalah baru di tengah harga BBM, listrik dan bahan pokok yang naik. Intinya kenaikan PPN rokok bisa memukul daya beli masyarakat," kata Bhima. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya