Murka Sri Mulyani pada JPMorgan
- Getty Images
VIVA.co.id – Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akhirnya memutus kerja sama dengan JPMorgan Chese Bank. Keputusan itu dituangkan dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-1006/MK.08/2016 pada 17 November 2016 lalu.
Langkah pemutusan hubungan kerja sama tersebut diakui pemerintah sangat final, lantaran lembaga tersebut mengeluarkan riset yang sangat merugikan bagi ekonomi Indonesia, yaitu menurunkan peringkat surat utang RI dari overweight menjadi underweight.
Riset kontroversial yang diterbitkan JPMorgan pada 13 November 2016 tersebut, ternyata bukan yang pertama dilakukan. Sebab, pada Juli 2015, lembaga itu juga pernah mengeluarkan riset yang merugikan Indonesia dan disambut sanksi oleh menteri keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro.
Ani panggilan akrab Sri Mulyani mengakui, riset yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan asal Amerika Serikat itu berpotensi dapat mengganggu stabilitas keuangan nasional, sehingga sangat merugikan, terlebih JPMorgan miliki kesepakatan dengan pemerintah.
Ia menjelaskan, langkah yang dilakukan JPMorgan dinilai tidak baik dalam pola hubungan kerja sama, di mana seharusnya kedua belah pihak harus saling menguntungkan. Untuk itu, Ani berharap, JPMorgan bersikap profesional dan akuntabel dalam setiap langkahnya.
“Hasil riset JPMorgan tersebut, sama sekali tidak menghormati kerja sama yang dilakukan kedua belah pihak. Terlebih, hasil riset tersebut sama sekali bertolak belakang dengan kondisi perekonomian secara menyeluruh,” jelas Ani, Selasa 3 Januari 2017.
Direktur Strategis dan Portfolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Scenaider Clasein H. Siahaan mengatakan, sebagai salah satu mitra penjualan surat utang pemerintah, JPMorgan justru berkhianat atas norma perjanjian kedua belah pihak.
Tercatat JPMorgan telah berulang kali melakukan hal yang merugikan Indonesia, dan patut diduga telah membuat para investor enggan membeli surat utang pemerintah. Padahal, sebagai dealer utama, tugas JPMorgan adalah mencari para investor, bukan justru membeli surat utang pemerintah, demi meraup keuntungan lebih.
“Mana mau investor beli, kalau begitu. Kami yang rugi. Di balik itu, diam-diam dia (JPMorgan) yang beli SBN (Surat Berharga Negara) dengan murah, lalu jual lagi. Kami di sini jadi mainan dia saja,” katanya.
Adapun riset JPMorgan pada pertengahan 2015 lalu, adalah merekomendasikan pada investor, agar mengurangi kepemilikan Surat Utang Indonesia. Alasannya, ada peningkatan risiko aset portfolio yang semakin meningkat, karena devaluasi yuan dan kekhawatiran bunga utang yang meningkat.
Selanjutnya, hormati perjanjian dengan RI>>>
Hormati perjanjian dengan RI
Ani menambahkan, dengan adanya sikap pemerintah yang memutuskan kontrak kerja sama dengan JPMorgan, maka diharapkan ini menjadi sinyal bagi seluruh pemangku kepentingan terkait, agar tetap menghormati kontrak perjanjian dengan Indonesia.
Ia pun menyatakan pemerintah Indonesia saat ini sangat terbuka atas sejumlah saran dan kritik, serta tidak akan menutup diri, jika memang ada beberapa hal yang harus diperbaiki, guna menggeliatkan ekonomi.
“Kami tidak ingin menutup diri, bahkan membuka diri pada semua kritik, karena itu penting memperbaiki diri. Kami juga ingin seluruh dunia mengetahui apa yang saat ini dilakukan para menteri ekonomi Indonesia menjaga pondasi perekonomian yang mendekati kesempurnaan,” jelas dia.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo menyatakan, langkah tidak melanjutkannya kerja sama pemerintah dengan JPMorgan perlu dicermati, khususnya pada perlunya menunjuk bank persepsi lain untuk mengantikan peran JPMorgan.
Menurutnya, bank tersebut selama ini menjadi mitra pemerintah dalam melakukan transaksi internasional, bahkan sistem pembayaran pajak juga melalui bank tersebut.
Agus mengungkapkan, opsi penggantian tersebut, tentunya sangat banyak dan bisa dilakukan secara cepat oleh pemerintah dengan baik, sebab hingga saat ini terdapat 70 bank yang berfungsi sebagai bank persepsi.
Berikutnya, tak rugikan ekonomi RI>>>
Tak rugikan ekonomi RI
Selain itu, terkait dengan dampak yang dirasakan pada pemutusan kerja sama RI dengan JPMorgan, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio, memastikan keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak sampai mengganggu kinerja pasar saham di Tanah Air.
“Saya rasa enggak, tetapi saya rasa negara sebagai regulator punya hak untuk bicara dengan Morgan (JPMorgan),” ujar Tito di kantornya Selasa 3 Januari 2017.
Menurut Tito, kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga penurunan rating yang dilakukan JPMorgan tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
“Terus terang, saya terganggu (analis JPMorgan), itu tidak betul. Tetapi, kita jadi membuang waktu untuk membela diri untuk menerangkan, saya mendukung keputusan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan),” lanjut Tito.
Hal yang sama juga disampaikan Analis PT Indo Premier Securities, Chandra Pasaribu, di mana langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah sangat tepat dan tidak akan banyak mengganggu kondisi ekonomi.
Menurut dia, sudah sangat wajar jika pemerintah sebagai perekrut JPMorgan memutuskan kontrak kerja sama, terlebih servis yang diberikan oleh lembaga tersebut dinilai kurang sesuai dengan keinginan pemerintah.
Selain itu, JPMorgan bukan satu-satuanya dan segalanya dalam rekan kerja sama sebagai bank persepsi di Indonesia, karena ada bank persepsi lain seperti Citi dan lainnya yang bisa berikan servis lebih baik ke Kementerian Keuangan.
Sementara itu, Dilansir dari laman Reuters, pada Rabu 4 Januari 2017, seorang juru bicara JPMorgan pada Selasa waktu Newyork menyatakan pihaknya masih akan tetap berbisnis di Indonesia seperti biasa. Langkah yang diambil pemerintah Indonesia, berdampak minimal pada kliennya.
Kemudian, atas masalah ini, JPMorgan berdasarkan juru bicaranya akan tetap terus bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan masalah ini. “Dampak ke klien kami minimal dan kami akan bekerja dengan Kementerian Keuangan selesaikan masalah ini,” katanya di dalam sebuah email.
Menurut mereka, penurunan tingkat surat utang Indonesia dan Brasil adalah menanggapi kondisi ekonomi usai kemenangan Trump, kondisi ekonomi dan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah setempat.
Selain itu, tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah dari sektor finansial juga menjadi perhatian, terlebih kepemilikan asing pada obligasi pemerintah masih relatif tinggi dan masih rendahnya upaya pendalaman pasar yang dilakukan, sehingga rentan pembalikan arus modal. (asp)