Meredam Teror
- VIVAnews/Fajar Sodiq
VIVA.co.id – Serangkaian aksi terorisme menjadi warna selama tahun 2016 di Indonesia. Sepertinya, apa yang digembar-gemborkan kelompok Islam radikal di Suriah atau ISIS tentang rencana teror di Indonesia dan Malaysia pada 2015 bisa terjadi.
Atau setidaknya, kehadiran ISIS di Indonesia memang disinyalir ada, salah satunya adalah dengan klaim mereka ketika petaka bom Thamrin dengan aksi bom bunuh diri di kafe Starbucks dan kantor polisi pada Januari lalu.
Klaim itu pun tercatat dikeluarkan hanya selang beberapa jam kejadian di kawasan niaga Jalan MH Thamrin, Jakarta, yang hanya berjarak sekira 1 kilometer dari Istana negara.
"’Pejuang’ negara Islam melakukan serangan bersenjata pagi ini. Menargetkan warga asing dan pasukan keamanan yang melindungi Indonesia," tulis kantor berita Aamaaq yang dikutip Reuters, Kamis, 14 Januari 2016.
Selain itu, bukti kehadiran ISIS diperkuat dengan munculnya nama sejumlah orang Indonesia yang memang telah berada di Suriah. Orang-orang itu seperti, Salim at Tamimi atau Abu Jandal, Bahrum Syah atau Abu Muhammad Al Indonesy dan Bahrun Naim alias Abu Aisyah.
FOTO: Proses evakuasi jenazah terduga teroris yang ditembak mati kepolisian di wilayah Tangerang Selatan, Rabu (21/12/2016)
Konon, ketiga orang ini yang menggawangi pembentukan Katibah Nusantara pada 2014, yakni sebuah wadah yang menampung orang-orang dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang hendak bergabung dengan ISIS.
Dan tentu saja, Katibah Nusantara, bukan soal sepele. Kelompok ini yang menjadi wadah indoktrinasi, perekrutan, penggemblengan, pelatihan militer, dan lain sebagainya. Atas itu mengapa kemudian lulusan Katibah Nusantara lah yang akan menjadi garda terdepan dalam setiap aksi bom, khususnya bom bunuh diri dan penyerangan secara personal. Jadi jelas, Katibah Nusantara tak bisa diremehkan.
Penyebaran Doktrin
Bahrun Naim, pentolan Katibah Nusantara yang kini disebut-sebut menjadi figur penting untuk proses doktrin dan penyebaran informasi soal aksi-aksi teror ISIS di Asia Tenggara, dalam satu situs website-nya yang pernah diblokir pemerintah pernah mengungkapkan metode pergerakan teroris untuk di Indonesia.
Doktrin yang mereka ungkap itu kini ditanam dan disebar di Indonesia. Dan tentunya kini bisa ditemukan dengan mudahnya beragam aksi teror di Indonesia terlihat bermunculan di beragam tempat, dilakukan kelompok kecil dan menyasar beberapa objek yang terbilang vital.
Contohnya, Bom Thamrin, Bom bunuh diri di Mapolresta Solo Surakarta, Bom Gereja Medan, Bom Gereja Oikumene di Samarinda, Bom Panci di Bekasi dan terbongkarnya aksi untuk Natal dan Tahun Baru 2017 ketika penangkapan kelompok teroris di Waduk Jatiluhur, Tangerang Selatan, dan Deli Serdang baru-baru ini.
Atas itu, mahfum kemudian jika aksi terorisme di Indonesia bak jamur di musim hujan. Mati satu tumbuh seribu. Sekuat apa pun Densus 88 Antiteror menyergap dan menangkap gejala teror, sekuat itu juga sel-sel teroris berbiak.
Dan yang paling mengkhawatirkannya adalah, aksi itu kini menjadi masif tanpa harus menunggu perintah sang Amir (pemimpin) sebagaimana gaya aksi teror pada beberapa tahun sebelumnya.
'Ide perlawanan' yang sejak awal diinginkan Katibah Nusantara lewat sosok Bahrun Naim pun meluas dan menyentuh siapa pun. Jadi, singkatnya bukan soal kelompok siapa lagi. Tapi, soal kesamaan ide dan mimpi untuk mewujudkan rencana ISIS yakni negara yang memiliki asas Daulah Islamiyah.
Contoh yang paling nyatanya adalah Dian Yulia Novi (DYN), perempuan asli Cirebon mantan tenaga kerja wanita yang tertangkap hendak meledakkan diri di kawasan Istana Negara pada Sabtu 10 Desember 2016.
FOTO: Dian Yulia Novi (DYN) pelaku bom bunuh diri di kawasan Istana Negara saat diamankan kepolisian, Sabtu (10/12/2016)
Istri kedua dari Nur Solihin yang ikut ditangkap bersamanya ini jelas mengakui bahwa ia bukan kelompok siapa pun dan tidak didoktrin siapa pun. Dian mengakui bahwa ia termotivasi dari bacaan di internet dan jejaring sosial.
"Saya tidak terlibat kelompok apa pun. Saya hanya membaca dari internet dan Facebook," ujar Dian dalam sebuah wawancara di tvOne beberapa waktu lalu usai ditangkap.
Ya, singkatnya kini untuk berbuat teror di Indonesia tidak perlu lagi masuk kelompok 'radikal' terlebih dahulu dan kemudian menunggu titah Amir untuk berbuat teror. Tapi, cukup dengan membaca dan menanam doktrin sendiri untuk melakukan perlawanan. .
Apa yang kita bisa?
Sejauh ini, harus diakui penanganan aksi terorisme di Indonesia memang diakui dunia. Fakta menunjukkan beberapa rencana serangan teror yang menargetkan objek vital negara berhasil dipatahkan terlebih dahulu.
Tak cuma itu, puluhan orang yang terindikasi akan berbuat teror juga berhasil digulung oleh aparat. Daftarnya pun tidak sedikit.
Terlepas dari sisi persepsi ‘buruk’ sebagian orang terkait penangkapan para terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror, saat ini Indonesia relatif terkendali dibanding negara lain di dunia yang kelabakan ketika bom meledak, dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit dan berulang.
Atas itu, wajar kemudian jika ada anggapan bahwa pelaku teror di Indonesia kini mulai frustrasi untuk bergerak. Indikasinya, seperti yang dipaparkan pengamat terorisme Indonesia yang juga mantan instruktur bom Jemaah Islamiyah Wakalah Jawa Timur, Ali Fauzi Manzi, yakni adanya kecerobohan para kelompok teroris.
"Polisi kini sangat mudah melacak dan aksi teror berhasil dicegah," kata adik kandung dari bomber Bali tersebut.
Lalu, apa tindakan konkret yang bisa dilakukan militer dan pemerintah saat ini untuk membendung aksi terorisme di Indonesia yang seolah seperti jamur di musim hujan? Hingga kini secara kebijakan, Rancangan Undang Undang Terorisme masih terus dalam penggodokan masif DPR.
FOTO: Tim Densus 88 melakukan penangkapan terhadap terduga teroris
Rencananya, UU baru ini akan lebih memberikan gerak dan ruang untuk memberantas beragam tindakan terorisme di Indonesia. Meski masih dalam debat pro dan kontra, kini ada langkah yang lebih maju yakni telah terbentuknya komitmen bersama seluruh penegak hukum yang digawangi oleh Badan Intelijen Negara (BIN) bersama seluruh lembaga penegak hukum soal terorisme.
Dan kemudian penguatan program deradikalisasi kepada seluruh orang yang pernah terlibat aksi teror. Lalu terakhir, langkah di luar kebijakan yakni membuat pagar awal dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, bahwa aksi teror adalah tindakan merugikan dan patut dikecam.
"Yang paling penting bagaimana mengimunisasi warga masyarakat (yang rawan) dari ideologi radikal agar mereka kebal," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian beberapa waktu lalu.
Lalu cukupkah ini? Jelas ini menjadi tantangan besar seluruh orang di Indonesia. "Yang terpenting untuk mencegah terjadinya aksi teroris adalah dengan memastikan konflik antaragama tidak terjadi lagi di Indonesia," kata pengamat terorisme yang juga Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones beberapa waktu lalu.