Tergerusnya Penerimaan Negara dari Sektor Energi
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengungkapkan bahwa kontribusi sektor energi, seperti minyak dan gas merosot tajam terhadap pendapatan negara. Nilai kontribusi yang terus menurun itu terlihat dari 2012.
LIPI mengungkapkan, pada 2012, porsi pendapatan sektor energi terhadap total pendapatan dalam negeri sebesar Rp305,9 miliar, atau setara 23 persen kontribusinya. Kemudian, turun kontribusinya pada 2013, menjadi 21,8 persen, atau sebesar Rp311,86 miliar.
Pada 2014, kembali turun menjadi 19,6 persen, atau setara Rp319,69 miliar. Pada 2015, turun lagi menjadi 9,8 persen, atau senilai Rp146,4 miliar. Lalu, pada 2016 hanya memiliki kontribusi sebesar 6,8 persen, atau senilai Rp122,2 miliar.
Padahal, kontribusi sektor energi terhadap pendapatan negara sempat mencatat angka 32,7 persen, atau senilai Rp208 miliar pada 2006.
"Komoditas ini sudah tidak banyak lagi memberikan darah segar bagi ekonomi kita. Kalau kita tidak dapat kelola, jadi malapetaka," ujar peneliti LIPI, Maxensius Tri Sambodo, dalam paparan Economic Outlook 2017 di kantor LIPI Jakarta pada Rabu 14 Desember 2016.
Tri menjelaskan, penurunan kontribusi dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu harga energi yang terus menurun. Kemudian, faktor produksi yang kian merosot, khususnya untuk komoditas minyak.
Sementara itu, di sisi lain, konsumsi dalam negeri terus meningkat, sehingga konsumsi energi banyak digunakan untuk kebutuhan domestik, tidak ekspor.
Dalam beberapa tahun ini, harga minyak mentah dunia telah anjlok ke level terendah hingga sempat menyentuh US$35 per barel di akhir 2015. Kini, harga minyak berada di kisaran US$50 per barel.
Padahal, harga minyak pernah menyentuh level tertinggi di atas US$100 per barel pada 2014. Saat itu penerimaan negara di sektor energi pun terdongkrak hingga mencapai sekitar Rp300 miliar.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengakui, sumber pendapatan penerimaan negara bukan pajak selama ini terkonsentrasi pada pendapatan sumber daya alam minyak dan gas. Artinya, jika kedua sektor itu tidak teroptimalisasi, tentu akan memberikan pengaruh terhadap anggaran pendapatan negara.
Ia mengatakan, pendapatan negara dari sektor minyak dan gas terus menurun. Pada 2017, bahkan pemerintah hanya memproyeksikan pendapatan migas hanya mencapai Rp63,7 triliun.
"Pada 2017, pendapatan sumber daya alam minyak dan gas bumi itu (diperkirakan) mencapai Rp63,7 triliun. Tetapi, dulu bisa Rp200 triliun lho. Ini sangat signifikan," ujar Askolani.
Askolani menjelaskan, sampai saat ini, penemuan sumber minyak relatif terbatas. Tidak adanya penemuan sumber migas baru akan mengganggu penerimaan negara di masa depan.
"Kalau tidak ada cadangan minyak baru, PNBP (pendapatan negara bukan pajak) akan tumbuh kecil. Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) harus mengupayakan investasi untuk penemuan sumber minyak baru," ujarnya.
Apalagi, lanjut Askolani, potensi penerimaan sumber daya alam minyak dan gas pun diperkirakan akan jauh lebih rendah pada 2019 mendatang. Sehingga, sektor penerimaan perpajakan memang menjadi motor utama ke depannya guna mendongkrak pendapatan negara.
"Berdasarkan informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, lifting minyak di 2019, mungkin bisa di bawah 600 ribu barel per hari. Potensinya bisa lebih kecil dalam jangka menengah," tuturnya.
Genjot produksi minyak
Direktur Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara menambahkan, penurunan produksi minyak nasional menjadi penyebab utama menurunnya pendapatan negara dari sektor energi. Diutarakannya, produksi minyak nasional pada 1998, sempat mencapai 1,6 juta barel minyak per hari, namun sekarang hanya sekitar 800 ribu barel per hari.
Menurutnya, untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor migas, pemerintah harus meningkatkan produksi minyak nasional dengan melakukan metode enhanced oil recovery terhadap sumur-sumur yang sudah ada. Selain itu, pemerintah harus mencari alternatif sumber pendapatan baru, terutama dari sektor pajak.
"Pajak, kita bisa lihat rasio pajak terhadap PDB (produk domestik bruto) kita masih sekitar 12 persen, masih kecil dibanding negara lain. Kalau negara maju sampai 20-an persen, di Malaysia sekitar 15 persen, Singapura mungkin 18 persen," ujarnya.
Wakil Ketua Umum bidang Energi dan Migas Kamar Dagang dan Industri, Bobby Gafur Umar, menanggapi penurunan kontribusi energi tersebut ditunjang, karena ada perubahan paradigma untuk pemanfaatan hasil sumber daya energi.
Pemerintahan Joko Widodo, menurutnya, semakin menekankan hasil sumber daya energi diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, bukan lagi ekspor.
Ia mengatakan, Indonesia saat ini perlu berbenah dengan tidak bergantung pada perdagangan migas untuk mendongkrak pendapatan negara. Sudah kurang lebih 20 tahun, pendapatan negara Indonesia selalu bergantung pada migas.
"Sekarang ini, kontribusi energi, atau migas ini makin kecil terhadap pendapatan negara. Seharusnya pemerintah bangun industrinya, agar migas diolah dalam negeri untuk dua kebutuhan. Yaitu pertama, sumber energi pembangkit listrik dan sebagainya. Kedua, untuk pengembangan industri berbahan baku migas," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah dapat mencari cara, atau skema yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi eksplorasi dalam negeri, agar pengusaha tidak tergiur dengan kegiatan ekspor energi mentah dan tetap dapat berikan kontribusi kepada pendapatan negara.
Kontrak gross split
Salah satu cara pemerintah untuk mencegah penerimaan migas semakin tergerus adalah membuat sistem kontrak migas baru dan menghapus skema cost recovery.
Cost recovery, merupakan pengembalian biaya operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi dari pengurangan bagian hasil migas antara pemerintah dan perusahaan.
Selama ini, biaya cost recovery dinilai membebani keuangan negara, sehingga menyebabkan rendahnya penerimaan hasil migas pemerintah dari kontraktor.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kini tengah menyiapkan skema kontrak bagi hasil baru, yakni gross split. Gross split, merupakan bentuk kontrak kerja sama di bidang migas yang pembagian hasilnya ditetapkan berdasarkan hasil produksi bruto (gross) migas.
Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengungkapkan, skema kontrak bagi hasil ini dikaji untuk bisa meminimalisir perdebatan antara kontraktor kontrak kerja sama dengan pemerintah terkait biaya yang dapat dikembalikan oleh cost recovery.
“Kami akan coba untuk KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) ke depannya adalah dengan skema gross split, jadi sudah tidak ada ribut lagi terkait cost recovery. Terserah, bagaimana cara kerja KKKS, yang penting beres, pas hitungan gross split-nya,” kata Jonan.
Dengan mekanisme gross split, potensi kerugian pemerintah dari perhitungan cost recovery dinilai bisa ditekan, karena perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah dilakukan saat awal pembahasan kontrak. Kontrak bagi hasil migas dengan skema gross split ini diperkirakan mulai berlaku pada kontrak-kontrak migas baru mulai tahun depan.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja menegaskan, skema gross split diharapkan bisa menjadi jalan keluar dan solusi pemerintah untuk menekan potensi kerugian, karena mekanisme ini dinilai lebih efisien dari sisi biaya dan waktu negosiasi. (asp)